Jumat, 16 Maret 2018

MENGIKUT JALAN KEMULIAAN YESUS


Undang-undang yang baru tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) baru saja diketok oleh DPR. Dalam beberapa diskusi yang ditayangkan oleh sejumlah televisi nasional, para anggota dewan menegaskan bahwa mereka memerlukan revisi undang-undang MD3 agar kehormatan anggota dewan yang mulia itu tidak dengan mudahnya difitnah, dilecehkan dan dihina. Minimal ada tiga pasal untuk menjaga kemuliaan lembaga-lembaga - dan tentunya anggota-anggotanya. Pasal-pasal itu adalah:

Pasal 73, Polisi diwajibkan membantu pemanggilan paksa bagi pihak yang diperiksa DPR                 namun enggan datang.
               
Pasal 122 huruf "K", di mana Mahkamah Kemhormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR baik sebagai lembaga maupun anggota.

Pasal 245, yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus melalui pertimbangan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.

Pengesahan undang-undang  MD3 ini menuai polemik dan penolakan oleh banyak kalangan, terutama mahasiswa. Dasar penolakan itu oleh karena nantinya DPR baik sebagai lembaga maupun anggotanya tidak lagi bisa dikritik. Undang-undang itu akan memperkuat hak imun mereka. Setiap kritik dan masukan bisa saja ditafsirkan sebagai pelecehan atau penghinaan terhadap anggota dewan yang terhormat itu dan untuk itu pelakukan bisa dikenakan tindak pidana. Di lain pihak, mereka bisa menyeret - bahkan menggunakan alat negara, dalam hal ini polisi - setiap orang yang dinilai tidak kooperatif dan melecehkan anggota dewan ini.

Tentu sebagian masyarakat kecewa. Logika berpikir seharusnya adalah bahwa hehormatan anggota dewan bukanlah diraih dengan cara membuat sejumlah undang-undang agar mereka imun (tidak bisa dipidanakan) dan membungkam suara-suara sumbang masyarakat tentang kinerja dan moralitas mereka. Sebagian rakyat menghendaki mereka yang terhormat itu menunjukkan fungsi mereka benar-benar wakil rakyat. Memberi contoh dalam tranparansi anggaran, menjadi teladan dan benteng moral, panutan dalam berdemokrasi, menyelesaikan tugas pokok mereka sebagai pembuat undang-undang. Nyatanya, target penyelesaian undang-undang dari tahun ke tahun tidak pernah selesai. Bangku-bangku dalam ruangan yang berfasilitas bintang lima hampir selalu tidak kourum dalam setiap persidangan. Sebagian banyak terjerat kasus korupsi, narkoba dan tindakan ilegal lainnya.

Setiap orang tentu ingin dihormati dan diberi tempat mulia. Tidak salah! Namun, masalahnya apakah pantas sebuah tuntutan setinggi langit hanya dibayar dengan sebuah produk undang-undang? Tidakkah seharusnya penghargaan itu berbanding lurus dengan komitmen pada integritas dan kerja keras yang dihasilkan?

Menanggapi sebuah peristiwa yang menggegerkan di Betania, para anggota Mahkamah Agama berkumpul. Dalam sidang itu mereka membahas bagaimana memertahankan kemuliaan dan kewibawaan mereka. Kewibawaan dan ajaran mereka kini terancam. Sebabnya, ada seorang yang terus-menerus melakukan pengajaran disertai tanda-tanda mujizat! "Apa yang harus kita buat? Sebab orang itu membuat banyak mujizat. Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma akan datang dan akan merampas tempat suci kita serta bangsa kita." (Yohanes 11:48). Lalu bangkitlah pemimpin mereka, imam besar Kayafas. Ia menyatakan bahwa lebih baik satu orang mati dari pada seluruh bangsa binasa. Bungkam dan enyahkan orang yang merongrong kekuasaan itu! Sejak peristiwa Lazarus yang dibangkitkan itu, mereka mencari jalan untuk membunuh baik Lazarus maupun Yesus.

Bagaimana Yesus menghadapi ancaman ini? Ancaman tidak bisa menghentikan kiprah-Nya. Ia memaknainya bahwa kesengsaraan dan bahkan kematian di tiang salib itu justeru menggenapi kedatangan-Nya (Yoh.12:27). Yesus memberi makna baru terhadap kematian yang mengerikan itu: ditinggikan dan dimuliakan! Yesus yang terlihat nantinya digantung di tiang salib itu, justeru di situlah letak kemuliaan sesungguhnya. Kemuliaan yang seperti apa? Ya, Ia menyelesaikan tugas dengan setia sampai akhir! Kemuliaan Yesus telah tampak dari seluruh karya-Nya. Ia menerjemahkan kalam ilahi menjadi nyata dalam hidup: dalam darah dan daging-Nya, dalam ucap dan perbuatan-Nya dan puncaknya adalah ketaatan di atas kayu salib itu!

Yesus menyatakan kematian-Nya sebagai kematian butir gandum yang memang harus jatuh dan mati untuk menghasilkan banyak buah. Pernyataan Yesus tentang gandum ini tidak hanya berlaku bagi Yesus, tetapi juga setiap orang yang ingin mengikuti-Nya. Yesus mengundang para murid untuk menempuh cara hidup yang sama, yakni tidak menyayangkan nyawa mereka untuk sebuah kemuliaan yang sesungguhnya: untuk sebuah kehidupan kekal. Orang yang tidak menyayangkan - nyawa sekali pun - di dunia ini adalah seperti gandum yang ditabur di tanah kemudian mati, tetapi pada akhirnya menghasilkan butir-butir gandum yang baru. Orang yang mencintai nyawanya adalah bagaikan bulir gandung yang tidak mau mati sehingga akhirnya tinggal sebiji saja.

Biji gandum harus mati agar menghasilkan banyak buah. Kita dipanggil untuk mati terhadap keegoisan kita. Kehilangan "nyawa" bukan hanya hidup psikis, tetapi hidup menurut nilai-nilai duniawi. Dunia yang tidak memberi tempat kepada Allah tetapi penuh dengan berhala: keserakahan atu nafsu terhadap kuasa, harta, seksualitas, dan penaklukan. "Nyawa" juga menyangkut kecenderungan-kecenderungan psikologis kita: untuk dicintai, dihargai, diakui oleh kelompok, dan untuk mengontrol orang lain. Bukankah keinginan-keinginan seperti ini bukan hanya milik anggota dewan terhormat, atau mahkamah Sanhedrin? Keinginan-keinginan ini ada dalam diri kita!

Kita dapat merasakan keinginan untuk dikagumi, untuk menjadi pribadi rohani yang paling unggul dan mendambakan punya otoritas mengontrol orang lain. Kita dapat menciptakan topeng intelektual, religius, atau mencitrakan diri sebagai tokoh filantropis, itulah "nyawa" atau spirit dari hampir setiap orang. Seolah Yesus mau menegaskan, "barang siapa mencintai dan memertahankan 'spirit' hidup seperti ini, maka ia akan kehilangan 'nyawa' yang sebenarnya!"

Mati terhadap diri sendiri dan bangkit dalam kasih akan terjadi ketika kita berusaha membuka genggaman kita: keegoisan dan keserakahan. Kita berani untuk meninggalkan ruang nyaman kita dan menyentuh serta merawat tubuh-tubuh yang rentan dan menderita. Seperti Yesus menyentuh si kusta, mencelikan si buta, dan memanggil Lazarus dari kuburnya. Kemuliaan yang seharus diidamkan oleh murid Yesus bukanlah kemuliaan semu; bukan pula penghargaan decak kagum dunia. Melainkan datangnya dari Allah sendiri ketika kelak Ia menyambut kita, "baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia..."

Yesus telah terlebih dahulu menuju jalan kemuliaan itu. Ia memberi contoh dan teladan, maka ketika kita menyatakan diri menjadi murid-murid-Nya, kita pun seharusnya berada pada jalan yang sama. Mengikuti apa saja yang sudah dilalui-Nya hingga sampai pada titik akhir!

Jakarta, Pra-paskah V '2018

Kamis, 08 Maret 2018

ANUGERAH ALLAH MEMBERI KEHIDUPAN



Belakangan ini serangkaian kecelakaan proyek infrastruktur terjadi diberbagai tempat. Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan mau tidak mau mensyaratkan perbaikan dan pengadaan infrastruktur yang memadai. Sayangnya, pengejaran target penyelesaian sebuah proyek tidak selalu diimbangi oleh perhitungan yang matang dari sisi keselamatan kerja dan kualitas bangunan yang dihasilkan. Alhasil korban pun banyak berjatuhan.

Contoh, kecelakaan proyek pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) pada Selasa, 20 Februari yang lalu yang meminta tujuh orang korban luka-luka. Kecelakaan ini mestinya bisa dihindari kalau saja semua perhitungan konstruksi dan keselamatan kerja dipatuhi. Fakta di lapangan menunjukkan tiang penyangga tol PCB 34 di depan Institut Bisnis Nusantara, Jalan DI Panjaitan, Cawang, menunjukkan kerangka tiang dari baja meleyot akibat tidak kuat menahan beban. Penggunaan empat batang baja dengan diameter 19-25 milimeter untuk mengikat penyangga, cukup menjadi petunjuk mengapa tiang itu ambrol dan menimpa ketujuh pekerja di bawahnya. Berdasarkan dokumen Metode Improvement Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, seharusnya tiang penyangga itu berjumlah 12 batang baja berdiameter 32 milimeter sehingga mampu menyangga beton seberat 326 ton.

Pengurangan kualitas dari yang semestinya dan pengabaian standar keamanan sering dilakukan manusia, tidak hanya dalam proyek infrastruktur tetapi juga hampir di semua bidang kehidupan, tujuannya tidak lain untuk menekan biaya tinggi dan mengejar keuntungan dari sebuah proyek. Akibatnya kecelakaan dan kematian yang tidak seharusnya terjadi. Keserakahan, mengejar keuntungan dan ambisi untuk menjadi nomor wahid membuat manusia buta dan tidak lagi mengindahkan aturan dan kaidah moral.

Manusia sering membutakan diri terhadap norma, kaidah dan ketetapan yang berlaku demi mengejar ambisi. Israel contohnya: Peperangan baru saja mereka menangkan. Raja negeri Arad yang tinggal di tanah Negeb telah ditaklukan orang Israel dan kota-kotanya berhasil ditumpas binasa. Baru saja mereka berangkat dari gunung Hor itu dan berjalan menuju Laut Teberau untuk mengelilingi Edom, mereka mulai bersungut-sungut lagi tentang roti dan air. Mereka tidak puas dengan apa yang sudah didapat. Mereka menuntut lebih, mereka serakah lalu mereka melawan Allah dan Musa. Hukum-hukum Allah diabaikan dan kini mereka memberontak. Akibatnya, tragedi dan kematian yang harus mereka terima. "Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel mati." (Bilangan 21:7). Atas tragedi ini, mereka bertobat. Lalu Musa berdoa untuk bangsa itu. Dan TUHAN memerintahkan Musa membuat "ular" tedung dari tembaga. Meletakkannya pada sebuah tiang agar mudah dilihat orang. ketika seseorang dipagut ular dan ia memandang kepala ular tedung tembaga itu, mata ia tetap hidup.

Ular tedung dari tembaga adalah sebuah simbol. Ia bukan berhala yang harus disembah dan kemudian kuasa mujarabnya terpancar, dapat menyembuhkan. Hukum Allah harus ditegakkan dan tidak ada kompromi dengan dosa keserakahan manusia. Namun, di sisi lain Dia juga TUHAN yang penuh rakhmat. Bukan ular tembaganya yang sakti, namun spiritualitas di balik seseorang memandang ular tembaga itu. Ular-ular tedung adalah alat di tangan Tuhan untuk mengingatkan dan menghukum mereka yang tidak taat. Ular tembaga yang dibuat Musa juga adalah sarana di mana manusia yang sadar akan kesalahannya segera berhenti sejenak dan memandang ular tembaga itu. Bukan sekedar memandang, tetapi bagi yang telah terluka oleh gigitan ular tedung, mereka mempunyai keyakinan bahwa dengan memandangnya, arah pikiran mereka tertuju kepada Allah, mereka akan selamat. Jadi yang memulihkan adalah pusat perhatian mereka kepada Allah. Ular tembaga itu hanyalah syareat untuk mengingatkan kesalahan manusia sekaligus sarana pemulihannya.

Sejarah kehidupan spiritualitas kita mirip-mirip dengan perjalanan pembebasan Israel dari tanah perbudakan di Mesir menuju tanah perjanjian. Dalam konteks ini kita semua seperti orang Israel yang melawan Allah dan akibatnya dihukum dengan gigitan ular tedung, lalu mati. Kita telah jatuh di dalam dosa. Tidak ada seorang pun yang bebas dari dosa (I Yohanes 1.8) dan upah dosa itu adalah maut. Memang kita tidak langsung mati secara fisik, namun mengalami kematian rohani. Jika pada zaman Musa, Allah meminta Musa membuat  ular tembaga, supaya dengan media itu orang yang seharusnya mati karena gigitan ular tedung tidak mengalami kematian. Kini kita percaya bahwa Allah juga  menyediakan jalan pemulihan untuk kita sekarang, Yohanes 3:14,15 mengatakan: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Allah menyediakan jalan itu oleh karena begitu besarnya kasih Allah (Yohanes 3:16) dan manusia pada dirinya sendiri –seperti orang yang digigit ular tedung-  tidak dapat menolong dirinya sendiri.

Sama seperti ular yang dibuat Musa tidak mempunyai kekuatan magis apa-apa di dalamnya. Hanya dibutuhkan ketaatan dan keyakinan. Maka hal serupa juga mestinya terjadi ketika kita memandang dan meninggikan Salib Yesus. Bukan an sich salibnya yang mempunyai daya magis atau kekuatan supranatural yang luar biasa, melainkan makna di balik salib itu. Maka salib tidak boleh diberhalakan. Salib menurut tradisi Injil Yohanes adalah jalan kemuliaan bagi Yesus di dalam menuntaskan karya keselamatan bagi umat manusia. Memandang dan meninggikan Salib berarti yakin dan percaya bahwa melalui karya penderitaan Yesus itulah dosa manusia ditebus.

Kata kerja “meninggikan” dalam bahasa Yunani adalah hupsoun. Dalam hubungan dengan karya Yesus, kata ini dikaitkan dengan dua peristiwa. Pertama, kata itu dipakai ketika Yesus diangkat di kayu salib (Yohanes 8:28; 12:32). Kedua, kata itu dipakai untuk Yesus yang diangkat atau ditinggikan ke dalam kemuliaan-Nya (Kisah Rasul 2:33, 5:31; Filipi 2:9). Bagi Yesus salib adalah jalan menuju kemuliaan. Percaya kepada salib Yesus itu berarti menjadikan salib itu hidup dalam diri orang yang mempercayainya, bukan percaya seperti pada berhala. Melalui salib, kita belajar dari Yesus tentang kerendahan hati dan ketaatan. Salib pada awalnya adalah hukuman yang memilukan dan memalukan namun, di tangan Yesus, salib telah menjadi mulia.

Manusia ingin dihormati dan dimuliakan. Tidak ada yang salah. Wajar! Yang salah adalah pemahaman tentang apa yang membuat orang dihormati dan ditinggikan. Saat ini umumnya orang beranggapan dengan uang dan kuasalah maka ia ditinggikan dan dihormati. Maka kuasa dan kekayaanlah yang dikejar manusia sampai mati. Dalam Yesus kita belajar, kemuliaan didapati justeru dengan kerendahaan hati dan ketaatan. Orang yang menghayati dan percaya akan karya salib Kristus mau tidak mau di dalam hidupnya terjadi perubahan.

Dalam kisah Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Kekal bukan selalu harus dipahami sebagai kehidupan di seberang kematian. Hidup kekal adalah hidup ilahi yang dianugerahkan kepada kita sekarang ini juga.  Ini adalah hidup Dia Yang Abadi yang berkenan mengisi ruang bathin kita. Ketika kita masuk dalam relasi dengan Yesus dan tinggal di dalamnya, saat itu juga kita mempunyai relasi dengan-Nya, terhubung dengan sumber kekekalan. Di sanalah kita akan mengalami transformasi dan pembaruan hidup yang sesungguhnya. Sesudah diperbaharui, kita dapat mengerjakan hal-hal - yang menurut perhitungan manusiawi - tidak dapat dilakukan dengan kekuatan sendiri seperti: mencintai musuh, mengampuni tanpa batas, berbagi hidup dengan mereka yang papa dan murah hati seperti Bapa murah hati!

Perubahan itu nyata, dapat dilihat, dirasakan dan menginspirasi orang lain seperti apa yang dilakukan oleh Paulus (Efesus 2:1-10). Paulus mengingatkan jemaat di Efesus bahwa mereka, sama seperti dirinya dahulu adalah orang berdosa yang menuruti nafsu duniawi, berpikiran jahat dan selayaknyalah dimurkai tetapi oleh karena Allah di dalam Kristus yang penuh rahmat telah mengampuni dan memulihkan maka ia mengajak mereka untuk  mengerjakan pekerjaan baik yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Bagaimana dengan kita? Apa yang sekarang sedang kita kejar dan kerjakan? Apakah pekerjaan-pekerjaan Allah atau keserakahan dan nafsu kita?


Jakarta, Pra-paskah IV 2018