Jumat, 02 Maret 2018

YESUS BAIT ALLAH YANG SEJATI



Dalam kajian sosiologis, setiap komunitas punya "axis mundi". Axis mundi merupakan situs atau tempat yang diyakini oleh setiap anggota komunitas sebagai pusat dunia, di situlah poros metafisik terhubung dengan kosmik: surga dan bumi bertemu. Gunung Puji bagi orang Jepang, Ka'bah bagi setiap Muslim, Black Hill bagi kaum Sioux, mungkin juga Keraton Jogja bagi orang Jawa merupakan axis mundi. Pusat bumi, tempat berpadunya yang transenden dengan imanen dan dari situlah peradaban tersebar ke pelbagai penjuru dunia.

Yerusalem merupakan kota axis mundi bagi setiap orang Yahudi. Di situ ada Bait Allah. Bagi mereka, di sanalah Allah berkenan bersemanyam dan dapat ditemui. Bait Allah adalah tempat surga dan bumi terhubung. Maka hal ini, mewajibkan umat untuk memelihara ritus dan ritual. Persembahan dan korban-korban bakaran harus terus ada. Paskah, Pentakosta, Pondok Daun mewajibkan setiap orang Yahudi dewasa dalam radius tertentu wajib kembali ke axis mundi itu!

Axis mundi, Yerusalem itulah tempat pertama yang dikunjungi Yesus, tempat di mana Yang Ilahi dengan yang insani berpadu. Bagi Yesus, tempat itu adalah "rumah Bapa-Nya". Apa yang dijumpai-Nya di sana? Jelas, ada pelbagai ritual dan segala macam penunjangnya. Dalam pandangan Yesus, orang-orang telah mengubah rumah Bapa-Nya itu menjadi tempat berdagang. Mereka bukan lagi menolong sesamanya untuk dapat berjumpa dengan Sang Mahakudus, melainkan sebagai peluang bisnis! Mereka menjual binatang korban dengan harga yang tidak wajar. Jika membawa hewan kurban sendiri ada berbagai alasan untuk ditolak, tidak memenuhi kriteria "cap halal" dari pejabat Bait Allah.

Para penukar uang mencari keuntungan terlalu besar, membuat semakin miskin orang-orang yang sudah miskin karena pajak Bait Allah mengharuskan orang-orang membayarnya dengan mata uang Bait Suci (mata uang Tyria), bukan mata uang Romawi. Oleh karena itu banyak pedagang valas. Para pedagang dan penukar uang ini tentu saja harus membayar pajak kepada para penguasa Bait Allah. Imam besar dan keluarganya makmur dari praktik bisnis seperti ini. Uang mendatangkan kuasa dan kuasa mendatangkan uang. Inilah pernikahan dari penguasa dan pengusaha! Uang telah mengambil alih posisi sentral Sang pemilik rumah.

Di sepanjang zaman manusia dikepung oleh kultur uang. Uang tidak digunakan untuk menolong orang agar berkembang dan memperoleh akses kepada sumber kehidupan dan memperbaiki kualitas hidup mereka. Namun, dijadikan tujuan pada dirinya.  Ancaman bagi dunia sekarang ini, dengan ekonomi globalnya bukan hanya kapitalisme yang tidak terkendali, tetapi komersialisasi yang keterlaluan. Iklan dan bidang hubungan masyarakat berusaha untuk membentuk budaya, pikiran, imajinasi, dan hidup kita. Gambar-gambar dan kata-kata klise yang menyesatkan dan dipelajari dengan sungguh-sungguh, digunakan untuk menawarkan dan menjual barang-barang. Rumusan misi suatu perusahaan menegaskan bahwa mereka harus menimbulkan keinginan dan kebutuhan akan "barang-barang yang bukan kepentingan dasar: mudah dipakai, sulit ditolak" Perusahaan-perusahaan tidak berusaha menjual yang paling baik bagi perkembangan orang menuju kematangan pribadi sebagai manusia. Mereka menjual apa saja yang dapat mendatangkan uang, apa saja yang dapat menambah keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham...,lebih, lebih, dan lebih lagi... (Jean Vanier). Uang telah menjadi yang paling penting dalam budaya di seluruh dunia.  

Di axis mundi yang telah mengubah Allah dan menggantikannya dengan uang sebagai pusatnya, kita dapat memahami bagaimana kemarahan Sang Anak! Yesus membuat cambuk, mengusir para pedagang, menghamburkan uang di tanah, membalikkan meja-meja penukar uang itu, menyuruh para pedagang merpati untuk mengambil jualan mereka dan pergi, serta untuk tidak menjadikan rumah Bapa-Nya sebagai ladang mengeruk uang. Yesus bertindak sebagai seorang Anak yang ingin mengembalikan rumah Bapa-Nya pada fungsi yang seharusnya.
Kita dapat membayangkan keributan, teriakan, suara binatang, dan suara gemerincingnya koin-koin yang jatuh ke lantai. Para penukar uang, pedagang binatang mencoba memertahankan bisnis mereka dan berteriak marah. Pasti, semua kacau-balau di tempat pertemuan Surga dan bumi itu. Dalam kemarahan mereka, para pedagang dan penukar uang itu segera menemui para imam Bait Suci.

Para imam segera datang dan menemui Yesus lalu menginterogasi-Nya. Mereka bertanya, "Dengan kuasa atau wewenang dari mana Engkau bertindak seperti ini?" Yesus menjawab mereka, "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali!" Mereka menanggapi jawaban Yesus ini dengan mengejek-Nya, "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait ALlah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" (Yoh.2:18-20). Yesus berbicara dalam tataran spiritual, bukan bangunan fisik. Namun, para imam itu hanya memahami sebatas harfiah. Yang dimaksud Yesus dengan membangun Bait Allah dalam tiga hari tidak lain diri-Nya sendiri.

Para murid baru memahami perkataan Yesus ini setelah kebangkitan-Nya. Yesus menggeser pembicaraan dari kesucian bangunan fisik Bait Allah kepada kesucian tubuh-Nya sendiri. Axis mundi sekarang bukan lagi Yerusalem dan Bait Suci yang ada di sana melainkan diri-Nya. Di dalam Dia nyata bahwa hidup dan kasih, kesembuhan dan pengampunan, damai sejahtera yang tidak berkesudahan akan terpancar terus. Di dalam Yesus, Surga dan dunia bertemu; Yang Ilahi dan insani berpadu, Dialah sabda yang menjadi daging! Yesus adalah pusat jalan hidup yang baru, bukan lagi Bait Suci di Yerusalem.

Di dalam Yesus, Allah tidak lagi jauh tak terjangkau di surga, yang dilambangkan oleh keindahan dan keagungan Bait Suci di Yerusalem. Allah telah memasang kemah di antara kita. Allah adalah kawan satu peziarahan dengan segala kelemahan manusia, berjalan melewati padang gurun kehidupan bersama kita. Tempat suci ini tidak dibuat dengan batu-batu yang berharga, tetapi dengan daging dan darah. Sosok suci ini memungkinkan terjadinya perjumpaan, suatu kehadiran bagi manusia, kehadiran yang akan menjadi relasi, persekutuan hati, suatu komunitas.

Yesus yang terluka dan menjadi marah karena pelecehan terhadap Bait Allah di Yerusalem, pastilah juga akan marah karena ketidakhormatan kita kepada tubuh kita - yang oleh Paulus dipahami sebagai Bait Suci (1 Kor.6:19-20). Kita yang mengenal-Nya sebagai "Bait Suci yang Hidup" seharusnya terpanggil juga untuk menjadikan diri, tubuh dan hidup kita sebagai Bait Suci-Nya. Di mana setiap orang yang berjumpa dengan kita akan merasakan perjumpaan dengan-Nya.

Etty Hillesum, seorang perempuan Yahudi di Belanda yang dibunuh dalam rumah gas oleh Nazi di Auschwitz, mempunyai kepekaan yang tajam akan arti setiap pribadi sebagai "rumah" Allah. Pada suatu saat, ketika ia berada di Westerbork, sambil menunggu saat deportasi terakhir ke Auschwitz bersama dengan orang Yahudi lainnya, ia menulis dan menyatakan bahwa satu-satunya keinginannya adalah membantu orang untuk menemukan kekayaan pribadi mereka masing-masing, bahwa setiap pribadi dipanggil untuk menjadi "rumah Allah".

                "Dan saya berjanji, ya saya berjanji kepada-Mu, ya Allah, bahwa saya akan berusaha untuk            menemukan "rumah" dan atap bagi-Mu di sebanyak mungkin rumah. Ada begitu banyak         rumah kosong. Ke tempat itu saya akan membawa-Mu sebagai tamu kehormatan."

Banyak di antara kita yang tidak sadar akan adanya ruang suci dalam diri kita, tempat di mana kita dapat merenung dan berkontemplasi. Dari tempat itu dapat mengalir rasa kagum kalau kita memandang gunung, langit, bunga-bunga, buah-buahan, dan semua yang indah di dunia ini. Di tempat itu kita mengerti kebenaran, kepedulian, keadilan dan cinta kasih. Tempat ini adalah batin kita yang paling dalam. Tempat di mana Allah mau tinggal. Di tempat inilah kita menerima cahaya kehidupan dan bisikan Roh-Nya. Di tempat itu pula kita menentukan pilihan-pilihan hidup kita, dari tempat itulah mengalir kasih kita kepada orang lain.

Ruang ini bisa kehilangan kesuciannya, dan menjadi seperti pasar, tempat belanja, yang dibanjiri dengan segala macam keinginan yang tidak penting dan segala macam yang remeh-temeh. Lebih parah lagi, kita dapat melenyapkan kesucian tubuh orang lain hanya karena uang dan pementingan diri. Dalam pra-paskah ke-3 ini, biarlah hati nurani dan mata bathin kita terus mau dibersihkan oleh-Nya. Jangan marah seperti para pebisnis di Bait Allah, namun bersyukurlah sebab di ujungnya nanti, suara-Nya akan jernih terdengan!

Jakarta, Pra-paskah ke-3 '2018

Selasa, 20 Februari 2018

IMAN YANG PENUH KEBERANIAN



Apa yang terbaik untuk menjual koran, majalah atau berita? Mainkan rasa takut masyarakat, tetapi dalam batasan yang masih bertanggung jawab. Anda mungkin pernah mendengar, "Tahi lalat di lengan Anda suatu waktu akan menjadi bom waktu yang dapat menghancurkan hidup Anda." Atau, "Jika tidak memilih saya, bencana akan melanda daerah Anda!"

Media mempermainkan rasa takut kita untuk meningkatkan rating pembaca atau penonton dan akhirnya berujung pada onzet penjualan. Uang! Scott Bader- Saye (pengajar etika dan teologi moral di Southwest Seminary) menyebut manipulasi ini sebagai sindrom "ketakutan demi keuntungan". Pemilik media, pengiklan, dan politisi mengunakan rasa takut untuk memotivasi atau tepatnya memanipulasi publik demi apa yang disebut keuntungan. Barry Glasner (sosiolog Amarika Serikat) menjelaskan lebih vulgar, "Berita televisi hidup melalui rasa takut. Dalam berita lokal, para produser menggunakan diktum, 'jika ada darah, tayangkan!' begitu juga berita narkoba, kriminal, dan bencana mengisi sebagian besar ceruk tayangan berita." Bad news is good news!

Dalam sorotan sosiologis, agama sering memainkan hal serupa yang disebut oleh Scott Bader - Saye atau Barry Glasner, mainkan ketakutan dan kami menjual penawarnya! Mainkan ketakutan dan ancaman, maka kami akan mendapatkan keuntungan. Bukankah ini yang terjadi, ada banyak orang yang merasa diri sebagai pemuka agama menebarkan ketakutan dan ancaman untuk menjaring pengikutnya. Neraka, hidup tidak diberkati, bencana, penderitaan, sakit penyakit - bukankah itu semacam senjata ancaman bila seseorang tidak mau menjadi pengikut faham mereka. Sebaliknya, janji-janji surga, hidup sukses, lepas dari persoalan, hidup bahagia, diberkati, dan sederet lagi kata-kata manis dijanjikan bagi siapa saja yang mau mengikuti ajaran mereka. Hidup mudah dan simpel: asal berdoa saja, rajin perpuluhan, giat melayani maka kehidupan yang menyenangkan menjadi imbalannya. Simpel!

Agama, atau lebih tepatnya orang yang sedang mengajarkan faham seperti ini tidak lebih dari bandar narkoba yang sedang merayu calon korbannya. Agama sebagai candu! Jelas hidup ini, tidak sesederhana berdoa atau mengucapkan sebuah ikrar bagai mantera! Hidup ini harus dihadapi dengan pergulatan dan perjuangan yang tidak hanya membutuhkan keberanian tetapi juga stamina.

Yesus yang diwartakan sebagai Mesias seringkali direduksi oleh para pewartanya menjadi sosok sang adi jaya, adi luhung, adi kuasa, ksatria sakti mandraguna. Bagi orang Kristen, lebih daripada manusia biasa, lebih daripada seorang nabi. Ia adalah Mesias yang diutus Allah untuk membuka zaman keselamatan. Ia adalah seorang Mesias pembebas, penyembuh, pengusir setan, seperti yang digambarkan dalam paruh pertama Injil Markus. Tidak salah, namun belum lengkap!

Orang suka membayangkan Mesias menurut pikiran, keinginan, dan bayangannya sendiri. Gelar-gelar dalam rumusan ajaran dan pengakuan iman kita bisa tepat. Namun, pemahaman kita terhadap ajaran dan pengakuan iman itu bisa saja tidak jauh berbeda dengan faham orang banyak dan Petrus dalam bacaan Injil Pra-paskah ke-2 ini (Markus 8:31-38). Karena itu, Yesus tidak ingin segera diri-Nya diumumkan sebagai Mesias.

Bukankah tidak berlebihan memandang Yesus sebagai sosok ideal, Mesias yang diimpikan umat Israel itu? Dalam paruh pertama Injil Markus, setidaknya sampai Markus 8:26 mencatat kehebatan Yesus yang ditunjukkan lewat pelbagai tanda dan mujizat. Maka wajarlah kalau kemudian Petrus berkesimpulan bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk.8:29) ketika Yesus bertanya tentang siapakah diri-Nya. Namun, mengapa setelah pernyataan Petrus ini, Ia melarang untuk mempublikasikannya (ay.30)?

Markus 8:32 menyatakan, untuk pertama kalinya Yesus berbicara secara terus terang mengapa kemesiasan-Nya tidak boleh dibicarakan kepada orang lain. Alasannya ialah: Pekerjaan Yesus belum selesai! Ia masih harus banyak menanggung penderitaan, ditolak oleh tua-tua, imam-iman kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah hari ketiga. Ini jelas berbeda dari harapan bangsa Yahudi tentang Mesias termasuk harapan para murid yang diwakil oleh Petrus. Yesus, seolah-olah mau berkata, "Tadi Aku melarang kalian membicarakan identitas-Ku. Sebab, Aku sendiri selama ini belum memperkenalkan diri-Ku yang sebenarnya. Kalau kalian tidak tahu siapa Aku, apa yang mau atau dapat kalian katakan kepada orang lain tentang diri-Ku. Tetapi, ada hal yang sangat penting yakni, Allah mau menyelamatkan manusia. Adakah yang mampu memahami rencana ini?"

Yesus dan para murid-Nya hidup dalam tradisi Yahudi, pastilah juga mereka belajar dari Kita Suci tentang kedatangan Mesias. Nabi Yesaya sejak dahulu menggambarkan Mesias sebagai hamba Tuhan yang akan dibunuh dengan keji demi menyelamatkan manusia (Yesaya 53). Namun, anehnya orang-orang Yahudi tidak pernah membicarakan kemungkinan bahwa Mesias akan dibunuh oleh bangsa-Nya sendiri. Keanehan ini ditunjukkan oleh keterkejutan para murid dengan pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa dirinya harus menderita, tertolak dan dibunuh. Mereka kehilangan referensi tentang Mesias yang begini. Oleh karena itu segeralah Petrus menegur Yesus dengan keras memakai kata-kata yang biasa ditujukan ketika seseorang mengusir setan.

Bagaimana reaksi Yesus? Bukan Guru yang harus mengikuti murid, tetapi murid yang harus mengikuti Guru. Reaksi tegas Yesus menunjukkan betapa seriusnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus. Kesengsaraan, penolakan dan pembunuhan terhadap diri-Nya adalah rangkaian ketaatan kepada kehendak Bapa. Itu semua bukan untuk dihindari. Mencoba menghindarkan dan membalikkan dari via dolorosa searti dengan menggoda Dia supaya tidak taat kepada Allah. Sumber godaan seperti ini tidak lain berasal dari Iblis yang dulu pernah mencobai-Nya di padang gurun. Lewat cobaan itu, murid-murid mengganggu kedatangan Kerajaan Allah. Selain itu, mereka juga mungkin ketakutan bahwa nasib serupa akan menimpa mereka, sehingga mereka marah ketika Yesus menyatakan hal itu.

Reaksi Petrus membuka selubung keyakinan para murid. Selama ini kriteria duniawi menentukan pola pikir, keinginan, dan langkah hidup mereka. Mereka sama sekali tidak peduli terhadap pikiran dan rencana Allah. Petrus menjadi juru bicara musuh terbesar Allah. Teguran keras tidak tertuju kepadanya saja tetapi kepada semua murid, bahkan kepada semua orang yang ingin mengikut Yesus (ayat 34).

Dari awal bagian kedua Injil Markus (Stefan Leks) terlihat suatu garis pemisah yang jelas. Yesus, Sang Mesias menanggung sengsara dan kematian dalam melaksanakan kehendak Allah. Akibatnya, murid-murid sampai akhir menolak mengakui Yesus sebagai Mesias. Sikap mereka itu secara khusus akan menjadi nyata dalam kisah sengsara. Bukan hanya Yudas Iskaryot, melainkan Petrus juga, Yakobus dan Yohanes, akhirnya semua murid meninggalkan Yesus sendirian. Dari sudut ini, para murid tidak tampak lebih baik dari orang-orang biasa lainnya.

Bila seseorang tidak mau menerima Juruselamat yang menderita, maka ia menolak kehendak Allah, satu-satunya pribadi yang berhak menetapkan cara untuk mengatasi dosa dan kedurhakaan manusia. Yesus begitu yakin akan hal ini, sehingga Ia tidak merasa perlu menjelaskan rencana Allah lebih lanjut. Ia hanya membenarkan bahwa jalan salib adalah kehendak Allah.

Yesus menolak orang mengenal diri-Nya hanya sepenggel, yakni cerita tentang keperkasaan dan kehebatan-Nya dalam menaklukkan kuasa jahat. Masih ada serangkaian kisah pahit yang harus dijalani-Nya melalui via dolorosa itu. Yesus ingin orang mengenal dan mengikuti-Nya secara utuh. Yesus ingin orang beriman bukan dalam sekeja, melainkan berjalan bersama-Nya melalui alur penderitaan. Yesus ingin kita punya iman yang otentik. Iman yang berani memercayakan diri kepada Allah sekalipun jalan hidup tidak selalu menyenangkan. Keberanian iman bukanlah ditunjukkan dengan percaya kepada kemudahan hidup saja melainkan iman itu mampu menopang kita mana kala Tuhan mengizinkan kita melewati pekatnya gelap malam dan lembah air mata!

Jakarta, Pra-paskah ke-2, 2018