Kamis, 15 Februari 2018

PEMBARUAN HIDUP



Berbicara tentang pembaruan, mau tidak mau menghantar kita pada apa yang namanya perubahan. Pembaruan hidup selalu diikuti oleh perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Bukan kosmetik atau aksesoris, namun berasal dari sumber esensi prilaku yakni, hati. Maka tidaklah mengherankan kalau nabi Yoel menyerukan, "Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,.." (Yoel 2:13). 

Mengoyak berarti: mencabik, merobek, memecahkan, atau merusak. Seorang dokter bedah akan mengoyak bagian tubuh tertentu manakala hasil diagnosa menunjukkan ada masalah yang harus diangkat di bagian itu. Tentu menimbulkan luka irisan, pedih, menyakitkan dan membutuhkan kerelaan serta kesabaran untuk pulih. Pemulihan pasti melalui proses tidak nyaman. Namun, ketika pemulihan terjadi maka kita akan dapat mensyukuri proses yang menyakitkan itu.

Sebuah pertobatan selalu menyakitkan. Ketika Tuhan meminta mengoyakkan hati dan bukan pakaian maka itu berarti pertobatan itu dilakukan bukan dengan kepura-puraan. Hati yang sudah nyaman dan aman dengan pelbagai aktivitas bentuk kesalehan yang sudah dikerjakan kini dirobek, dicabik-cabik. Benarkah selama ini kita menjalani kehidupan ini sesuai dengan kehendak-Nya? Ataukah justeru kita menggunakan segala aktivitas kesalehan hanya sebagai topeng kebusukan moral? Tidak semua orang bersedia dicabik-cabik hatinya, karena menyakitkan. Hanya sedikit saja yang bersedia membayar harga untuk itu.

Setelah menyelesaikan ritual tobat, Roh yang turun ke atas Yesus di tepi sungai Yordan itu segera mendesak-Nya menuju padang gurun. Padang gurun bukan tempat tinggal ideal bagi manusia. Namun, padang gurun bagi umat Perjanjian Lama dapat mengingatkan kembali masa lalu mereka. Empat puluh tahun mereka berada di padang gurun; ditempa dan belajar berani mempercayakan hidup mereka kepada Allah. Padang gurun mengajarkan disiplin dan memusatkan mata batin kepada Allah semata jika ingin sampai tiba negeri perjanjian. Padang gurun adalah tempat sepi, hening dan ini ideal buat seseorang yang ingin intim dengan Allah. Yesus berkali-kali dalam pelayanan-Nya menarik diri, mencari tempat sunyi untuk bersekutu dengan Bapa-Nya. Pada pihak lain, padang gurun merupakan tempat yang mengerikan "Ia berada di sana di antara binatang-binatang liar..." (Markus 1:13). Gambaran ancaman kasat mata, namun di padang gurun itu tersembunyi ancaman dasyat yakni, kuasa-kuasa jahat: iblis!

Setelah ritual baptisan tobat itu, Yesus menindaklanjutinya dengan perjalanan menuju padang gurun. Di situlah jalan pertobatan diejawantahkan. Artinya, Ia sadar bahwa sesuai dengan seruan Yohanes Pembaptis manusia harus berani memerangi musuh Allah. Keputusan-Nya itu mau tidak mau membawa konfrontasi dasyat dengan musuh Allah yang berusaha membelokkan dari misi-Nya dan dari ketaatan-Nya kepada Bapa. Di gurun inilah Yesus berhadapan dengan Iblis (Satana) dalam Perjanjian Lama searti dengan penuduh, pendakwa, atau lawan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, kata Iblis mengacu kepada majikan segala kuasa jahat, lawan Allah dan manusia.

Yesus berada di gurun itu selama empat puluh hari. Bisa berarti harafiah, namun lebih bermakna simbolis. Dalam tradisi Perjanjian Lama, empat puluh hari melambangkan waktu yang cukup lama agar sesuatu mencapai kematangannya. Karena itu empat puluh hari yang disebut sebagai lamanya Yesus di gurun itu tidak hanya dipandang sebagai sebuah periode yang selesai dengan berlalunya waktu itu saja. Sesungguhnya Yesus mengalami "gurun" sepanjang karya-Nya. (Stefan Leks).

Empat puluh hari semacam angka khusus bagi orang Yahudi. Musa tinggal di Gunung Sinai, sambil berpuasa selama empat puluh hari. Perjalanan Elia lewat gurun menuju Gunung Horeb berlangsung selama empat puluh hari. Selama itu Elia diberi makan secara ajaib. Perlu disadari bahwa baik Musa maupun Elia adalah orang-orang padang gurun, sebelum maupun sesudah dipanggil oleh Allah. Kisah empat puluh hari Yesus di gurun seolah menegaskan kesinambungan orang-orang dipercaya Allah untuk mengemban tugas-Nya.

Injil Markus tidak merinci bentuk-bentuk pencobaan yang dilakukan Iblis kepada Yesus. Markus lebih menitik beratkan adanya dua figur selain Yesus yakni, Iblis dan Malaikat-malaikat. Iblis sebagai penggoda dan para malaikat yang melayani Dia. Bukankah kisah umat Allah di padang gurun itu juga mirip-mirip seperti ini. Ada kekuatan jahat yang berupaya menggagalkan mereka untuk sampai di negeri perjanjian. Namun, ada malaikat yang memimpin dan menolong mereka. Artinya, baik Allah (melalui para malaikat) maupun Iblis (lewat binatang-binatang liar dan pencobaan) mengerahkan seluruh kekuatan mereka pada umat atau Yesus di gurun itu.

Kisah pencobaan Yesus versi Markus ini cukup singkat. Namun, justeru lewat kisah singkat ini kita memahami maksud penulisnya. Markus meyakini bahwa Yesus memahami seruan Yohanes Pembaptis secara lebih mendalam. Israel harus kembali ke padang gurun untuk membarui diri, untuk hidup sebagai anak Allah, dan membuktikan niat itu dengan baptisan dan melanjutkan ketaatan-Nya. Karena itu, walaupun suara Langit telah menegaskan bahwa Yesus adalah Anak Allah yang terkasih, Ia tetap tinggal di gurun: belajar dari dan di gurun. Ia benar-benar menjadi Anak yang taat kepada Roh yang tidak mengizinkan-Nya untuk meninggalkan gurun begitu saja. Akibat ketaatan-Nya itu, Ia harus berkonfrontasi dengan Iblis, mengalami cobaan, hidup bersama dengan binatang-binatang liar dan menerima pelayanan malaikat. Semua unsur ini berhubungan erat dengan tradisi padang gurun yang dikenal dalam Perjanjian Lama dan sekaligus memperjelas makna gurun itu. Di gurun itu Yesus membuktikan diri-Nya sebagai manusia yang taat kepada Allah. Di tempat bangsa Israel kalah total, Yesus justeru berhasil. Yesus bertahan, supaya kelak terciptalah Israel baru.

Bukankah kita sering mendengar atau mengatakan dunia ini sebagai "padang gurun kehidupan"? Di sinilah kita diperhadapkan kepada kuasa si penggoda itu. Injil Markus tidak merinci bentuk-bentuk penggodaan yang dapat membelokkan kesetiaan Yesus. Pada masa kini, jika kita merinci bentuk-bentuk penggodaan itu tentu sangat banyak: ada yang berbentuk kesenangan, hedonisme, kekuasaan, ketenaran, dan kejayaan. Namun, bisa juga berbentuk kesulitan, pergumulan, penderitaan, kemalangan hidup dan seterusnya. Hanya satu saja kunci keberhasilan melawan pelbagai cobaan itu yakni ketaatan kepada Bapa!

Belajar dari Yesus, Ia tidak hanya memahami ritual pertobatan sebagai seremonial belaka. Ia menindaklanjuti-Nya dengan kembali ke gurun, bukan untuk menjadi orang yang anti sosial atau eksentrik melainkan sebagai bentuk nyata dari sebuah ketaatan. 

Kembali pada esensi pembaruan hidup yang meminta syarat yakni, sebuah perubahan, kita dapat mencontoh dari apa yang dilakukan Yesus di padang gurun. Pertobatan dimaknai bukan sekedar simbolis ritual formal ibadah atau menorehkan abu di jidat lalu berhenti dan di situ kita merasa sudah berbeda dari yang lain. Bukan itu! Melainkan sebuah tahap yang harus dibuktikan lewat tindakan nyata. Setelah penorehan abu, kita bersama memasuki masa pra-paskah yang sering diisi oleh pelbagai macam bentuk kesalehan: puasa atau pantang dan banyak berdoa. Empat puluh hari kita diajak untuk setia seperti Musa, Elia dan Yesus setia kepada tugas panggilan Allah. Sekali lagi, sama seperti penorehan abu di dijat akan menjadi tanda mubajair jika tidak dilanjutkan dengan perubahan sikap sebagai orang yang bertobat, demikian juga empat puluh hari menjadi waktu yang percuma, hanya mendapat lapar dan haus, apabila puasa yang kita lakukan tidak berdampak pada pemulihan dan perubahan sikan iman yang lebih baik. Menjadi sia-sia bahkan dikecam oleh Yesus, apabila bentuk-bentuk kesalehan itu hanya sekedar kosmetik dan alat pamer kesalehan!

Jakarta, Minggu Prapaskah I,  2018

Rabu, 14 Februari 2018

AKU DEBU, DEBU ITU AKU

Seorang dermawan membuat pengumuman bahwa dirinya hendak membagi-bagikan berkaleng-kaleng susu bubuk kepada warga di pemukiman kumuh. Para warga miskin nan kumal telah mengantri. Kaleng-kaleng susu bubuk telah disusun di luar...dan para duafa itu tidak sabar lagi untuk menerima pembagian susu itu. Namun, sang dermawan tak kunjung segera membagi-bagikan susu itu.

Lima menit telah berlalu berganti setengah jam, sampai akhirnya satu jam dari waktu yang telah ditentukan. Para warga mulai resah. "Mengapa susu itu belum juga dibagikan?" tanya mereka.

Jawaban yang diberikan terdengar tidak masuk akal bagi mereka, "Juru fotonya belum datang!"

Sang dermawan yang murah hati itu berharap agar ketika ia membagi-bagi kaleng susu, menyapa dan bersentuhan dengan si jelata, saat itu juga tertangkap kamera dan menjadi viral. Dan ia juga sangat berharap bahwa si juru foto itu dapat mengambil gambar se-"natural" mungkin, seolah-olah dirinya tidak tahu bahwa ia sedang dipotret.

Memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa adalah tiga aktivitas kesalehan. Sejatinya, kesalehan itu benar-benar sebuah tindakan tulus yang keluar dari niatan yang baik yakni, ibadah. Bentuk-bentuk kesalehan itu tidak lain agar hati kita selaras dengan yang kita sembah. Namun, sangat disayangkan ketiga aktivitas keagamaan itu sering dipakai sebagai alat untuk menyombongkan diri dan banyak juga yang memakainya sebagai topeng untuk menutup tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Ini sebenarnya yang disebut kesalehan palsu atau kemunafikan. Yesus mengingatkan, jika mereka ingin membuat orang lain terkesan, maka "mereka telah mendapatkan upahnya. Kata Yunani untuk "upah" berada dalam bentuk singular, yang mengindikasikan bahwa upah ini hanya sekali saja. Mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka menginginkan pujian, bukan keintiman dengan Allah.

Kita sering seperti itu, melakukan aktivitas keagamaan agar dilihat sebagai sebuah prestasi rohani dan membuat orang berdecak kagum. Jika tujuannya itu, kita dapat mendapatkannya di dunia ini. Namun, risikonya kehilangan keintiman dengan Allah. Lihat, apa yang terjadi dengan umat Allah dahulu. Mereka lebih gemar mendadani diri dengan kesalehan palsu, iman yang kosmetik. Mereka memelihara hari-hari perayaan ibadah, menyiapkan pelbagai korban persembahan, memelihara Taurat dengan akurat. Nyatanya, itu semua tidak berpengaruh terhadap moralitas dan karakter kekudusan yang Allah inginkan. Meski rajin beribadah tetapi gemar menindas dan berbohong. Meski memberikan persembahan dan sedekah namun korupsi, manipulasi dan markup jalan terus. Setiap Sabat dikhususkan untuk ibadah namun tidak memberi kesempatan kepada para budak mereka untuk sejenak beristirahat!

Sekembalinya dari pembuangan di Babel, kehidupan religius umat Israel cukup kuat dikuasai oleh para imam. Bait Allah telah dibangun kembali sebagai tempat beribadah. Situasi keamanan negara terkendali. Bangsa Israel hidup dalam semangat beribadah yang tinggi. Ini ditunjukkan melalui semaraknya aktivitas agama. Namun, perkembangan kemudian legalisme dan formalitas agama menjadi semakin mengkristal. Mereka terjebak menjadi kaku dan bisu terhadap masalah-masalah sosial di depan mata mereka. Agama tidak menolong mereka bertindak seperti yang Tuhan inginkan. Dan tindakan seperti itu ternyata berdosa di hadapan Allah.

Yoel mengingatkan bahwa dosa akan membawa kepada penghukuman, "Dengarlah ini, hai para tua-tua, pasanglah telinga, hai seluruh penduduk negeri! Pernahkan terjadi seperti ini dalam zamanmu, atau dalam zaman nenek moyangmu? Ceritakanlah tentang itu kepada anak-anakmu, dan biarlah anak-anakmu menceritakannya kepada anak-anak mereka, dan anak-anak mereka kepada angkatan yang kemudian. Apa yang ditinggalkan belalang pengerip telah dimakan belalang pindahan, apa yang ditinggalkan belalang pindahan telah dimakan belalang pelompat, dan apa yang ditinggalkan belalang pelompat telah dimakan belalang pelahap." (Yoel 1:2-4). Inilah bencana kelaparan yang bakal melanda umat Allah itu. Hukuman yang mengerikan!

Yoel mengajak umat untuk menyikapi perkara ini dengan serius. Tidak ada lagi waktu bermain-main. Ia mengajak umat untuk bertobat sesuai dengan pesan Ilahi, "berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya." (Yoel 2:12-13). Yoel mengajak umat untuk tidak main-main dengan Allah meskipun Dia pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Pertobatan yang dikehendaki adalah bukan pertobatan semu atau lahiriah saja (mengoyakkan pakaian) melainkan dari hati dan niatan yang tulus (koyakkanlah hatimu).

Sayangnya, hampir empat ratus tahun kemudian apa yang diingatkan Yoel ternyata terus berulang. Umat TUHAN kembali menggunakan aktivitas keagamaan bukan sebagai sarana menjalin keintiman dengan Allah, melainkan sebagai alat untuk pamer kesalehan. Manusia kembali menjadi sombong rohani. Apa solusi atas kesombongan?

Yesus mengkritik praktek kesalehan orang-orang Yahudi yang sering dipakai menjadi alat untuk sombong rohani. Yang Yesus ajarkan bukanlah soal bagaimana cara memberi, berdoa, atau berpuasa, melainkan apa tujuan dari itu semua. 

Tentang memberi sedekah. Yesus mengajarkan bahwa ketika memberi sedekah, janganlah tangan kiri kita mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan (Mat.6:3). Beberapa pakar PB menduga bahwa ketika Yesus mengatakan hal ini, Ia sedang berada di sebelah kanan pintu masuk Bait Suci, yang berarti persembahan akan diberikan dengan tangan kanan.  Gambaran ini menunjukkan bahwa ketika kita melakukan perbuatan baik (memberikan uang kita kepada yang memerlukan) dengan sikap bahwa tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanan. Jika kemudian ada orang bertanya, "Apakah kamu baru saja memberikan uangmu kepada orang miskin itu?" Anda harus menjawab, "Hmm. O, ya? Saya tidak ingat," dan Anda memang benar-benar tidak mengingatnya. Benar, ini perkara yang tidak mudah: memberikan kebaikan kepada orang lain lalu melupakannya. Tidak ada alasan untuk Anda menanamkan hutang budi kepada orang yang Anda beri itu. Di sinilah berlaku Anda memberi "untuk Tuhan". Begitu jugalah yang kita lakukan ketika memberi persembahan di gereja. Kita mendoakan dan menyerahkannya kepada Tuhan sambil meminta bahwa persembahan itu dikuduskan oleh-Nya. Anda dan saya tidak perlu mengingat-ingat, apalagi merasa berjasa. Mengapa? Sederhana saja, karena itu semua berasal dari Tuhan. Pada pihak lain, orang yang menerima, ia tidak tahu dari mana asalnya pemberian itu. Dari ketidaktahuan itu, ia akan merasakan bahwa yang diterimanya adalah benar-benar berasal dari Tuhan saja. Dan, tentu saja tidak perlu rikuh atau merasa berhutang budi terhadap Anda!

Hal kedua sebagai alat pamer rohani adalah doa. Yesus mendorong kita untuk menutup dan mengunci pintu kamar ketika kita berdoa. Doa adalah sesuatu yang bersifat personal dan rahasia. Kamar yang dimaksud oleh Yesus bisa jadi adalah gudang, karena di zaman itu hanya gudanglah yang bisa dikunci. Kita harus mengunci pintu untuk memastikan bahwa tidak ada yang melihat ketika kita sedang berdoa. Privaisasi inilah yang membuat kita "tidak terlihat" oleh orang lain tetapi bisa intim dengan Allah. John Chrysostom menulis, mengapa kita harus berdoa? "Bukan untuk menyuruh Allah, melainkan untuk menang bersama-Nya; untuk dekat dengan-Nya, dalam keberlangsungan doa permohonan; untuk menjadi rendah hati; untuk mengingatkan dosa kita." Doa seperti ini tidak bisa dilakukan dengan pamer, melainkan dengan "rahasia".

Ketiga, Yesus mengajarkan bahwa puasa harus dilakukan tanpa memberitahu orang lain. Ketika kita berpuasa, kita tidak boleh mengenakan pakaian kabung dan mengusap debu di wajah agar semua orang tahu bahwa kita sedang berpuasa. Penampilan kita harus normal. Mencuci wajah dan memakai minyak adalah budaya umum Yahudi. Membuat orang lain tahu bahwa kita sedang berpuasa menunjukkan motivasi kita adalah untuk membuat orang lain terkesan, dan bukan mendisiplinkan diri serta mendekatkan diri kapada Allah.

Rentang zaman Yoel sampai pada zaman Yesus lebih kurang  empat ratus tahun. Rentang waktu ketika Yesus mengingatkan bahwa sedekah, doa dan puasa bukan sebagai alat pamer kesalehan sampai pada masa kini sekitar dua ribu tahun. Sangatlah mungkin kita mengulangi praktek-praktek kesalehan agar dilihat dan dikagumi orang lain. Kita telah memahami bahwa praktik alih-alih mendekatkan kita dengan Allah, justeru sebaliknya semakin menjauh dan Allah tidak menyukainya.

Hari ini, kita memasuki masa raya Paskah dengan Rabu Abu, mengingatkan kembali kita yang berasal dari debu, diciptakan dari debu tanah dan kelak akan kembali menjadi debu. Pergunakanlah kesempatan yang ada - sebelum menjadi debu - untuk melakukan pertobatan yang sesungguhnya. Tidak cukup dengan tanda-tanda lahiriah saja, melainkan "koyakkanlah hatimu!"

Jakarta, Rabu Abu 2018