Kamis, 08 Februari 2018

KEMULIAAN ALLAH PADA WAJAH KRISTUS



Di era eforia media sosial online salah satu kecenderungan penggunanya adalah membaca berita sesingkat mungkin. Alasannya, selain ogah membaca paparan panjang, ada banyak hal menarik lainnya yang mencuri perhatian. Dari cerita sepenggal itu, para warga duniia maya seringnya hanya membaca judulnya saja dan orang lebih tertarik pada komentar-komentar di bawahnya. Yang lebih celaka lagi, banyak orang memercayai berita sepenggal itu sebagai sebuah fakta yang benar dan kemudian menyebarkannya. Inilah yang oleh para psikolog disebut dengan prasangka kognitif (Jocelyn David). Prasangka kognitif adalah bagian dari titik buta manusia. Salah satu gejalanya adalah "penjangkaran", yaitu kecenderungan seseorang untuk mengikat suatu keputusan dengan terlalu kuat hanya berdasarkan sepotong informasi yang baru saja diterimanya. Bukankah sepotong berita saja pada saat ini dapat digunakan untuk membakar emosi sebuah komunitas?

Prasangka kognitif mendorong kita kecendurang memandang segala sesuatu di dunia ini sebagai alat untuk tujuan memperoleh apa yang kita inginkan ketimbang membiarkannya sebagai subyek pada dirinya (fungsional fixedness). Martin Heidegger, seorang filsuf abad kedua puluh menyebutnya readiness - to - hand dan ia berpendapat, "inilah cara manusia melihat dunia". Jadi, manusia melihat segala sesuatu tidak lebih sebagai alat untuk mencapai sesuatu yang diingininya. Sebagian besar waktu kita bergerak dengan bahagianya seraya asyik dengan "peralatan" kepercayaan kita, sehingga kita menggenggamnya tetapi tidak memahaminya.

Agama, katanya sering dipakai sebagai "alat" untuk menggapai sesuatu yang kita ingini. Sampai batas-batas tertentu ada benarnya. Ya, agama bukan Tuhan. Namun, melalui agama kita dapat belajar mengenal Tuhan. Menjadi, keliru apabila kita menjadikan agama sebagai alat politik dalam merebut kekuasaan. Dan, sudah pasti orang-orang yang menggunakannya tidak memahami agama itu dengan utuh. Lihatlah, kasus-kasus perebutan kekuasaan di tanah air. Sangat jauh dari esensi ajaran agama itu sendiri. Orang merasa beragama, bahagia dengan itu, menggenggamnya dengan asyik namun tidak memahami esensi yang sebenarnya.

Bisa jadi ketakjuban Petrus dan dua temannya adalah prasangka kognitif dalam titik buta. Mereka begitu takjub melihat Sang Guru berubah rupa. "Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat " (Markus 9:2b-3a) ditambah dua orang tokoh Perjanjian Lama yang sangat dihormati; Musa dan Elia hadir berbincang-bincang dengan Guru mereka, makin lengkaplah keterpesonaan mereka. Dalam ketakjuban yang tiada tara menyaksikan peristiwa itu, Petrus berkata kepada Yesus, "Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." (Markus 9:5). Ini makin menegaskan bahwa Petrus sedang masuk dalam wilayah "titik buta: prasangka kognitif". Petrus sebenarnya tidak tahu dengan apa yang dikatakannya itu (Markus 9:6).

Beruntunglah titik buta prasangka kognitif Petrus ditanggapi Suara Langit. Pernyataan Surgawi itu tidak hanya mengungkapkan identitas Yesus (Anak yang Kukasihi), melainkan juga bagaimana caranya Ia disembut: bukan dengan mendirikan kemah dan menahan rasa "bahagia" itu. Melainkan dengan cara "dengarkanlah Dia!". Yesus digelari "Anak-Ku yang terkasih", rumusan yang mengacu kepada Raja Mesias dalam Mazmur 2:7 ("Anak-Ku engkau), dan kepada anak tunggal yang akan dipersembahkan oleh Abraham ("anakmu yang kekasih," Kejadian 22:2). Ungkapan ini seperti, anak satu-satunya yang dikasihi Abraham harus disembelih dan dikembalikan kepada Allah di gunung Moria, demikian juga Anak Tunggal Allah yang terkasih harus dibunuh di Yerusalem.

Selanjutnya, suara Surgawi itu memerintahkan "Dengarkanlah Dia!". Ini menegaskan Yesus sama dengan Nabi yang dinubuatkan Musa. Kita biasa menafsirkan bahwa kehadiran Musa melambangkan wibawa Taurat dalam Perjanjian Lama. Namun, dalam konteks ini akan terasa lebih pas bahwa kehadiran Musa itu mengingatkan orang Yahudi bahwa dahulu TUHAN pernah berbicara kepada Musa tentang, "Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu: dialah yang harus kamu dengarkan." (Ulangan 18:15). Jadi, suara Surgawi dan hadirnya Musa ditambah perubahan rupa Yesus sesungguhnya hendak menegaskan kepada Petrus, Yakobus dan Yohanes (akhirnya kepada semua kita) bahwa Yesuslah Nabi, Mesias dan Anak yang terkasih yang dinubuatkan itu!

Lalu, bagaimana kita menanggapi Suara Surgawi itu? Apakah akan melakukan hal yang sama seperti Petrus? Kalau Yesus memang Nabi yang dijanjikan, Mesias, Anak Allah, maka perkataan-perkataan-Nya perlu didengar. Dalam tradisi umat TUHAN, mendengar itu berarti satu paket dengan melakukan apa yang didengar. Ajaran-Nya tidak boleh diabaikan, juga tidak kalaupun bertentangan dengan nalar kognitif kita, seperti misalnya dalam hal melayani, memikul salib, mengampuni, kehilangan nyawa demi Injil, dan seterusnya!

Kenyataannya: Petrus adalah gambaran kita. Kita lebih suka melestarikan gambaran Yesus yang mulia, dan menutup mata bagi jalan yang kurang menyenangkan. Bukankah pendirian kemah yang diinginkan Petrus pada hakikatnya adalah dalam rangka menahan "kemuliaan" Yesus itu hanya bagi mereka saja. Mendirikan kemah itu berarti juga menghambat perjalanan-Nya menuju Yerusalem. Padahal, Yesus, Anak Allah yang kekasih itu harus menanggung salib, menderita dan mati. Kemuliaan-Nya diperoleh melalui ketaatan viadolorosa  dan menyerahkan diri dalam kematian. Itulah kemuliaan Yesus yang sesungguhnya. Kemuliaan yang terjadi pada Yesus mestinya menjadi bagian dari orang yang percaya kepada-Nya.

Tidak mustahil saat ini kita sedang mengalami titik buta: prasangka kognitif. Kita seperti Petrus dan teman-temannya. Mengikut Yesus dengan sebuah harapan - yang meminjam istilah Martin Heidegger:  readiness - to - hand. Yesus sebagai "alat" untuk menggapai yang aku ingini dan tidak membiarkan Dia sebagai "Subyek" pada diri-Nya sendiri. Manakala kita menempuh jalan terjal kehidupan, alih-alih melihat dan meneladani ketaatan Yesus, kita cenderung marah, kecewa dan mempertanyakan realitas TUHAN. Tidak pada tempatnya menjadikan Yesus sebagai "alat". Kitalah yang menaklukan diri untuk menjadi "pendengar" setia dan menjadikan-Nya benar-benar Tuhan atas hidup dan kehidupan kita.

Tranfigurasi Yesus adalah gambaran rupa kemuliaan-Nya. Peristiwa ini terjadi hanya selang enam hari dari pemberitahuan tentang penderitaan-Nya. Seakan peristiwa ini mau menyatakan: "Lihatlah Aku yang menderita dan mati, kelak akan tampil dengan tubuh kemuliaan seperti ini!" Kemuliaan Yesus yang utuh bukan terjadi di atas gunung itu, melainkan ketika Ia menyelesaikan seluruh amanat Bapa. Kemuliaan di atas gunung itu hanya sebentar, tetapi kemuliaan setelah peristiwa salib: Ia bangkit, naik ke Surga, kekal selamanya.

Bukankah kita menghendaki kemuliaan itu kekal dan sejati? Cara satu-satunya adalah mengikuti apa yang disampaikan suara Surgawi itu: Percaya bahwa Dialah Nabi yang dijanjikan kepada Musa, Anak Allah yang terkasih, Mesias dan melakukan apa yang dikatakan-Nya apa pun risikonya.

Jakarta, Transfigurasi 2018

Jumat, 02 Februari 2018

TUHAN HADIR DI TENGAH HIDUP YANG GETIR



"Teori-teori kosmologi membawa kita ke batas, ke suatu tepi cakrawala. Di batas paling jauh dari yang bisa kita raih, di tempat hal-hal tidak bisa diselesaikan lagi dengan berpikir, di situlah ada tahap iman." Karlina Supelli.

Tak banyak orang berkesempatan menjalani hidup seperti Kalina Supelli. Ia harus meninggalkan seluruh cita-citanya ketika keberhasilan tinggal selangkah lagi. Di tengah kesendirian, ia kelihangan kakak yang amat dicintainya. Belum selesai masa berkabung, enam bulan kemudian Karlina didiagnosa dokter terkena kanker. Dari suatu kematian yang riil, ia menghadapi risiko lain yang berujung sama.

Penderitaan yang bertubi-tubi itu tidak membuat Karlina luruh. Bekal ilmiahnya membantu untuk bangkit. "Nalar berpikir menuntun saya memilih mana yang harus diselesaikan secara teknis, mana yang perlu dipikirkan mendalam, dan mana yang memerlukan rasa perasaan", kata Karlina.

Namun, ketika nalar berpikir tak lagi mampu menjangkau, hanya iman yang bisa menuntun. Iman pula yang bisa membuatnya berserah. Seperti pasien-pasien kanker lainnya, kemoterapi merontokkan fungsi pertahanan tubuhnya. Ia tidak boleh bertemu banyak orang karena kondisinya amat rentan. Rambutnya yang tebal mengurai berguguran. Ia sangat lemah. Hanya otaknya yang bergerak bebas, berkelana ke ranah-ranah yang jauh. Dalam kesakitan yang panjang ia bangkit menyelesaikan pikiran utama dalam buku, "Dari Kosmologi ke Dialog, Mengenal Batas Pengetahuan, Menentang Fanatisme." (Desember 2011)

Karlina lahir di Jakarta, 15 Januari 1958, lulus dengan predikat cum laude sebagai sarjana bidang astronomi di Institut Teknologi Bandung. Sempat ke Inggris untuk mewujudkan cita-citanya menjadi ilmuwan kosmologi. Jalan hidupnya berubah total ketika harus kembali ke Indonesia sebelum waktunya. Ia sempat merasa buntu, tetapi kemudian dia sadar bahwa hidup tidak semua pintu tertutup dan tidak semua jendela terbuka. "Selalu ada jalan, asal mau melangkah," katanya. (Diringkas dari tulisan Kompas, Maria Hartingsih & Agnes Aristiarini dalam blog Halaman Kebudayaan Indonesia).

Saya percaya apa yang difahami oleh Karlina bukanlah sebuah pemisahan antara ilmu pengetahuan, nalar dengan iman atau kepercayaan. Namun, iman itulah yang menopangnya manakala jangauan ilmu pengetahuan tidak lagi sanggup menjawab kegelisahannya. Iman memampukan seseorang untuk tetap berbaik sangka dan berpengharapan di tengah kegetiran hidup walau nalar mengatakan, "no way".

Ada banyak penyebab kita berada dalam pusaran kegetiran hidup. Bisa karena bencana, sakit penyakit, berada pada situasi dan kondisi yang tidak tepat, difitnah, dianiaya, dan dipersalahkan. Pendek kata situasi itu membuat hidup menjadi tidak enak, jauh dari damai sejahtera. Dalam situasi seperti ini sangat mungkin kita berkata seperti umat Israel ketika berada dalam tekanan Nebukadnezar, "Hidupku tersembunyi dari TUHAN, dan hakku tidak diperhatikan Allahku..." (Yesaya 40:27). Ketika badai hidup menerpa, bagi sebagian besar orang tidak lagi mampu menggunakan nalarnya dengan baik, sebaliknya menjadi baperan: sangat sensitif, mudah marah, berprasangka buruk dan cenderung mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan atau pihak-pihak lain ketimbang  memaknai dan mencari solusi. Bukankah Israel mestinya menyadari bahwa sebelum terjadi kegetiran itu, TUHAN sudah dengan pelbagai cara melalui para nabi-Nya mengingatkan mereka?  

Beruntung, TUHAN menjawab, "Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu dan menyuruh segenap tentara keluar, sambil memanggil nama mereka sekaliannya?..." (Yesaya 40:26). Dalam jawaban ini, tampaknya TUHAN mengajak Israel  memakai panca indra, narasi histori dan nalar mereka untuk memahami kegetiran itu sambil mengakui kedaulatan TUHAN dan keterbatasan mereka. TUHAN mengajak umat-Nya untuk tidak sekedar menuntut dan hidup dalam kenyamanan, melainkan bertanggung jawab dan menemukan rancangannya.

Mencari solusi dan memecahkan masalah tentu lebih mudah jika penyebab masalah itu diketahui. Sebagaimana dokter menolong orang sakit. Ia akan lebih mudah mengobati ketika mengetahui penyebab sakit itu. Yesus berhadapan dengan banyak orang yang sedang mengalami kegetiran: kemiskinan dan sakit penyakit. Minggu kelima setelah epifani, bacaan Injil masih berkisah tentang  pelayanan Yesus yang memulihkan banyak orang. Injil Markus 1:29-39 bercerita tentang pemulihan ibu mertua Petrus yang sakit demam dan banyak orang sakit lainnya di sekitar Kapernamun dan Galilea. Dalam Perjanjian Baru terdapat tiga kisah penyembuhan dari demam (Markus 1-30, Yohanes 4:52 dan Kisah rasul 28:8). Menurut Injil Lukas yang sejajar dengan kisah ini, demam ibu mertua Simon itu serius. Demam menurut ilmu medis saat ini bukanlah "sakit", melainkan tanda (simptom) di mana suhu tubuh meingkat, badan menggigil, kepala pusing dan lainnya. Demam adalah tanda yang menunjukkan bahwa dalam tubuh ada sesuatu yang tidak beres: ada infeksi atau virus. Tentu saja pemahaman seperti ini belum ada pada zaman Yesus.

Penderitaan, sakit dan dalam kasus ini demam menurut pemikiran orang Yahudi pada zaman itu terjadi karena dua hal: kuasa roh jahat atau hukuman Allah. Menurut Ulangan 28:22, demam termasuk kutukan yang ditimpakan Allah atas Israel yang tidak setia dalam perjanjian. Maka kehadiran dan pemulihan yang dilakukan Yesus terhadap ibu mertua Petrus dipandang sebagai pengangkatan segala macam kutuk.

Sepertinya, berita pemulihan ini tersebar di kampung itu. Maka berduyun-duyunlah orang datang kepada Yesus untuk dipulihkan dari sakit dan kelemahan mereka. Yesus yang menyembuhkan banyak orang, jangan dipandang sebagai tabib atau dukun. Profesi-Nya bukan itu! Ia menyembuhkan orang sakit dan membebaskan orang dari gangguan roh jahat, bukan untuk menyelesaikan seluruh masalah gangguan kesehatan di Kapernaum, melainkan untuk menunjukkan belas kasihan Allah yang mengalahkan kuasa-kuasa jahat yang merusak kehidupan manusia. Mujizat yang Yesus lakukan adalah tanda-tanda kecil yang berbicara tentang sesuatu yang lebih besar, yakni Kerajaan Allah. Allah sendiri, melalui Yesus Kristus hadir dan membarui dunia. Mujizat tidak diberikan hanya untuk kenikmatan diri sendiri. Anugerah keselamatan yang Tuhan berikan kepada kita hendaknya dijawab dengan kesediaan melayani Tuhan melalui sesama, seperti yang dicontohkan sendiri oleh ibu mertua Petrus. Setelah disembuhkan dari demamnya, ibu ini melayani mereka.

Bisa jadi pada saat ini kita sedang mengalami kegetiran hidup seperti pengalaman Karlina Supelli, Israel pada masa Nebukadnezar atau seperti ibu mertua Petrus dan orang-orang sakit di kampung Kapernaum. Adalah lebih bijak untuk tidak hanya sekedar menyalahkan keadaan, orang lain, atau bahkan menyalahkan Tuhan. Karlina berhasil menemukan kehadiran Tuhan di mana batas cakrawala berpikirnya sudah berhenti. Iman yang memampukannya untuk merasakan kehadiran-Nya untuk menopang dalam meneruskan langkah kehidupannya. Yesaya menyatakan bahwa Allah tidak pernah melupakan umat-Nya. Ia selalu hadir dan kehadiran-Nya mengenyahkan kegetiran umat itu. Demikian juga dengan dengan kehadiran Yesus, Ia menyatakan Kekuasaan dan Kerajaan Allah itu benar-benar nyata.

Nah, saat ini marilah kita yakini bahwa kehadiran-Nya bukan saja ketika kehidupan serba menyenangkan, melainkan juga Ia bisa hadir di tengah kegetiran hidup kita. Ia mampu mengubahkan kondisi itu menjadi kebaikan dan berkat. Ada tugas menanti yang harus dilakukan oleh setiap orang yang telah merasakan kehadiran-Nya, yakni melayani Dia melalui sesama seperti yang diperagakan oleh ibu mertua Yesus. Siapa tahu justeru dengan pelayanan tulus yang kita berikan terhadap orang lain, di situlah kita menjadi alat untuk jawaban doa dari kegetiran orang lain.

Jakarta, Epifani V 2018