Kamis, 28 Desember 2017

MENYONGSONG TAHUN BARU SEBAGAI ANAK-ANAK ALLAH

Mujizat dan berkat tampaknya tidak pernah lekang dicari orang. Sampai hari ini, tema-tema khotbah atau lebih tepatnya KKR banyak menawarkan dan menyajikan mujizat dan berkat. Ada mujizat kesembuhan, pemulihan keluarga, berkat usaha, kesuksesan, umur panjang dan sebagainya. Tentu bukan sesuatu yang keliru kalau orang mengharapkan hidup penuh mujizat dan diberkati. Bukankah dambaan setiap orang jika kantong tebal, badan sehat, pikiran waras dan punya banyak relasi? Namun, yang sering dilupakan adalah proses dalam mendapatkan itu semua. Ada yang menekuni dengan berjerih lelah sambil menjaga ketaatan kepada Tuhan. Sebaliknya, tidak sedikit yang hanya mengandalkan doa dan KKR dan dalam sekejap segalanya dapat berubah sesuai dengan yang dikehendakinya.

Dalam Perjanjian Lama, sumber berkat adalah Allah sendiri. Berkat Allah secara spesifik digambarkan dengan menganugerahkan keturunan yang akan menjadi bangsa yang besar dan kuat, kekayaan, tanah, kesehatan, dan kehadiran di tengah-tengah umat-Nya. Mereka yang berada "dekat" dengan Allah akan dilindungi. Berkat Tuhan memberikan gambaran tentang apa yang paling dibutuhkan oleh manusia, yakni suasana penuh perlindungan dan keamanan, kasih karunia, dan damai sejahtera, juga gambaran kasih Allah yang semakin lama semakin dalam.  Sayangnya, manusia cenderung dekat dengan Allah hanya karena ingin berkat dan mujizat-Nya. Akibatnya, Sang Pemberi berkat sering terabaikan. Orang menjadi lupa apa yang harus dilakukan  terhadap Sang Pemberi berkat itu.

Dalam Perjanjian Lama, secara khusus Allah telah memerintahkan Musa agar Harun dan keturunannya sebagai imam menyampaikan berkat-Nya. Dari sisi ini sangatlah jelas bahwa tidak usah diminta pun TUHAN menjamin berkat bagi umat-Nya. Ucapan berkat imam yang tercatat dalam Bilangan 6:24,25 terdiri dari tiga bagian. Pertama-tama, "TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau." DI sini tergambar bahwa Allah memelihara dan menjamin umat-Nya dengan penuh, baik apa yang dibutuhkan untuk keperluan kehidupan mereka maupun perlindungan dari segala sesuatu yang jahat. Kedua, "TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia." Ini menyiratkan tanda bahwa TUHAN berkenan atas diri seseorang. Dengan demikian orang itu boleh merasa yakin bahwa Allah akan mendengar doa-doanya dan menyelamatkan dia dari musuh, penyakit dan dosa. Tidak ada satu pun kekuatan jahat yang tahan berhadapan dengan "SInar Wajah Allah". Berkat ketiga, "TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera." Ini menyatakan manifestasi kuasa yang memelihara manusia untuk menjaganya dalam keadaan damai sehjatera, hidup dalam syalom Allah. Ketika Allah berkenan memandang seseorang, hal itu berarti Ia berkenan atas orang itu dan akan menyelamatkan dia dari segala kesukaran (bnd. Mzm.33:18; 34:16).

Dalam Perjanjian Lama, berkat TUHAN tidak dapat dipisahkan dari ketaatan manusia kepada-Nya. Artinya, berkat itu akan "mengalir" dalam kehidupan seseorang jika orang tersebut berlaku setia terhadap Allah. Sebagai tanda kesetiaan, umat mau dengan sukacita hidup dalam hukum-hukum-Nya. Allah telah melengkapi umat itu dengan Taurat, agar dengannya mereka belajar taat dan setia. Dahulu sekali, sebelum Taurat diberikan TUHAN kepada umat-Nya, sunat merupakan tanda dari ikatan perjanjian itu. Abram menerima janji-janji berkat dari TUHAN, sejak saat itu namanya menjadi Abraham dan kemudian ia diperintahkan untuk disunat. Selanjutnya, setiap anak laki-laki yang berumur delapan hari dari keturunannya turun-temurun harus disunat (Kejadian 17:1-27). Itulah tanda kesetiaan dari orang yang kepadanya Allah mengikat janji.

Ketaatan keturunan Abraham ini masih terlacak sampai orang tua Yesus; Yusuf dan Maria. Mereka menyunat dan memberi nama Anak mereka Yesus pada usia delapan hari (Lukas 2:21). Peristiwa ini menandakan bahwa inkarnasi: Firman yang menjadi Manusia itu total, tidak setengah-setengah. Yesus masuk menembus tradisi dan ketaatan manusia dalam ikatan perjanjian berkat dengan Allah. Dalam diri Yesus, Allah bukan hanya berada di antara manusia, melainkan benar-benar menjadi seorang manusia. Dalam penyunatan ini, Yesus Kristus mengidentifikasikan diri-Nya dengan umat manusia yang ditebus-Nya.

Lukas mengisahkan sunat Yesus dari sudut pandang seorang bukan Yahudi kepada seorang bukan Yahudi (dalam hal ini Teofilus), ceritanya, "sesudah delapan hari anak yang bernama Yesus itu disunat, dan sesudah empat puluh hari, ia dibawa ke dalam Bait Suci sebagai tanda bahwa Ia diserahkan kepada TUHAN Allah. Andaikata Lukas menulis untuk orang-orang Yahudi, mungkin saja penjelasannya seperti ini,"upacara tradisi itu memperlihatkan bahwa Yesus takluk kepada hukum Taurat." Sejak permulaan Dia telah memenuhi segala ketetapan  Taurat dan dengan demikian telah membebaskan kita dari Taurat itu (Galatia 4:4-5). Di dalam Surat Galatia ini, Paulus menyebutkan bahwa Yesus Kristus takluk kepada Hukum Taurat untuk "menebus mereka yang takluk kepada hukum Taurat." Hasil dari karya penebusan ini pun disebutkan dengan jelas; "kita diterima menjadi anak" (Gal.4:5b) dan dapat berseru kepada Allah, "ya Abba, ya Bapa" (Gal.4:6). Artinya, di dalam Yesus kita dapat melihat ketaatan-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa yang berdampak tidak hanya memulihkan hubungan, melainkan lebih dalam, yakni hubungan yang sangat dekat (anak-Bapa). Sekaligus juga memberikan contoh dan teladan tentang ketaatan itu.

Di dalam Yesus Kristus kita menyapa Allah sebagai Bapa. Hal ini menandakan bahwa kita adalah anak-anak-Nya. Ya, anak-anak TUHAN! Lalu, apakah cukup hanya sekedar pengakuan dogmatis saja? Status anak bukan hanya penanda bahwa kita adalah pewaris segala kasih karunia-Nya. Melainkan, sebuah identitas yang menyiratkan ketaatan dan kesetiaan. Percuma saja kita mengaku dan yakin sebagai anak-anak TUHAN apabila tutur kata dan prilaku kita jauh dari apa yang dikehendaki Bapa! Tidak ada gunanya embel-embel anak TUHAN kalau iri, dengki, sombong dan arogan masih mewarnai kehidupan kita!

Dalam menyongsong tahun baru, jelas ada banyak tantangan. Namun, tidak sedikit juga harapan. Ya, harapan akan berkat-berkat TUHAN. Sejak dari zaman Perjanjian Lama, Allah telah menjamin berkat bagi kehidupan manusia. Berkat itu telah ada sebelum kita memintanya. Kini, giliran kita yang harus hidup penuh komitmen sebagai anak-anak Allah. Anak-anak yang semakin hari semakin banyak kemiripannya dengan Sang Bapa yang dicontohkan oleh Yesus Kristus. Permulaan tahun baru adalah saat yang tepat untuk kita membuat komitmen dan resolusi agar hidup sebagai anak-anak TUHAN lebih baik lagi. Songsonglah tahun baru dengan optimis sebagai anak-anak Allah! 

Jakarta,  jelang Tahun Baru 2018

Rabu, 27 Desember 2017

BERKAT KESELAMATAN YANG TAK TERKIRA

Alkisah, seorang profesor dari sebuah universitas ternama memiliki hasrat menggelora untuk menemukan dan mendapatkan keinginannya yang terakhir. Selain terkenal di seantero dunia sebagai pakar arkeologi suku Maya, dia juga mengarang beberapa buku, menerbitkan hasil risetnya dalam jurnal-jurnal bergengsi, dan sering menjadi pembicara pada banyak konferensi internasional. Namun, itu semua belum cukup. Dia telah menemukan banyak artefak berharga yang kini  sudah banyak tersimpan di pelbagai museum. Dia telah menemukan banyak pengetahuan tentang suku Maya, tetapi hal ini lagi-lagi belum cukup. Yang paling dia dambakan adalah mendapatkan apa yang menurut koleganya, sebuah mitos, sebuah rumor, sebuah petunjuk sederhana tentang sesuatu yang mungkin ada dan mungkin juga tidak.

Tulisan-tulisan kuno yang dia pelajari seolah meyakinkannya bahwa siapa pun yang mampu menemukan dan memiliki sebuah guci wasiat, maka segala keinginannya akan terkabul. Inilah yang menjadikan ambisinya begitu menyala. Keyakinan itulah yang menyebabkannya menyatakan, "Saya tidak pernah akan merasa bahagia hingga berhasil menemukan guci wasiat suku Maya itu!"

Dokumen-dokumen dari suku Maya yang ada padanya tidak memberikan referensi tempat benda yang menjadi obsesinya tersebut berada, kecuali keterangan singkat bahwa guci tersebut disimpan di sebuah kuil khusus yang belum diketahui. Kini, sang Profesor itu memutuskan untuk terbang dengan pesawat ringan melintasi hutan-hutan di Amerika Tengah, angin yang kuat menerbangkan pesawatnya keluar jalur. Sambil memandang ke bawah untuk menentukan di mana posisinya, mata arkeologisnya yang terlatih melihat sebuah bukit berbentuk kerucut di sebuah tempat terpencil. Bukit itu muncul menyembul di tengah hutan. Jantungnya berdebar keras. Bagi orang lain mungkin bukit tersebut tak lebih dari sebuah bukit kecil simetris yang indah. Bagi profesor ini, bukit tersebut adalah sebuah kuil asing yang belum pernah dikenal.

Dengan harapan yang membuncah, cepat-cepat dia membentuk tim ekspedisi lintas darat. Dia memastikan menyewa asisten yang sering dia ajak bekerja sama, yaitu seorang pria yang sudah faham betul seluk-beluk daerah itu. Dia bisa dipercaya, pekerja keras, dan setia, tetapi punya kelemahan, yakni pecandu alkohol. Untuk menjamin kesetiaan dan kejujurannya, sang arkeolog berupaya keras memastikan bahwa tidak ada minuman memabukkan yang dimasukkan ke dalam suplai bahan makanan untuk ekspedisi tersebut.

Membuka jalan melewati hutan yang begitu lebat dan menggali kuil yang sudah berabad-abad dilupakan sungguh merupakan kerja keras. Cuacanya panas sekali. Kelembabannya begitu tinggi, dan asistennya jelas terlihat ingin minum. Sesudah bekerja keras seharian, hanya ada satu yang ada dalam pikirannya. Minum! Secara tak sengaja, dialah yang pertama kali berlari memasuki ruang kuil bagian dalam. Hidungnya dengan cepat mendeteksi bau wiski yang paling lezat. Dia mengikuti bau tersebut menyeberangi ruang bagian dalam kuil menuju sebuah altar yang di atasnya terdapat sebuah guci. Dia membuka sumbat leher guci dan menenggak wiski yang menurutnya paling lezat daripada yang pernah dia minum sebelumnya. Sang profesor berada tidak jauh darinya. Dia mengira si asisten itu telah menyembunyikan beberapa botol wiski ke dalam suplai makanan mereka. Di tengah geramnya, sang profesor melihat guci yang ada di atas altar, tepat di tempat asistennya menemukannya lebih dahulu.

Sepintas guci itu tidak ada bedanya dengan hasil karya suku Maya lainnya, sebuah guci keramik berwarna putih susu dihiasi gambar jaguar suci, matahari, dan dewa bulan. Meskipun begitu, dia tahu inilah guci yang dia cari. Seperti asistennya, sang arkeolog ini membuka sumbat leher guci, namun dia tidak mencium bau alkohol. Ketika guci itu diguncang, ternyata tidak ada isinya. Dengan hati-hati dia mengepaknya untuk dibawa pulang. Dia tidak sabar ingin memberitahu koleganya yang skeptis bahwa, guci itu ada dan dia sudah menemukannya. Dia sangat bahagia!

Sudah dua atau tiga hari perjalanan dan rasa penasaran sang profesor itu kian meningkat dan tidak dapat ditahan lagi. Benarkah guci ini dapat mengabulkan semua permintaannya? Apakah guci tersebut bisa memberikan sesuatu yang paling diinginkannya? Apakah guci itu memiliki kekuatan dan keajaiban seperti yang dijelaskan dalam pahatan-pahatan batu yang dia pelajari dahulu? Akhirnya, pada suatu malam, saat bulan purnama, dia mengambil kotak tempat guci tersebut disimpan dan duduk bersandar pada sebuah pohon. Dia membuka harta bendanya yang paling berharga dan memutuskan untuk menguji kemampuan guci ajaib itu. Dia membuka sumbat guci tua itu. Sambil memeganginnya di bawah sinar bulan, dia mengucapkan permintaan utamanya, "Saya ingin bebas dari luka, rasa sakit, tragedi, dan kesedihan. Saya ingin kebahagiaan total!" Kepandaian akademis dan kepakaran sang profesor tenggelam dalam obsesi dan ambisinya. Dia tidak mau merenungkan dahulu apa yang dia minta. Luka, derita, dan ketidakbahagiaan adalah bagian dari pengalaman semua orang.

Benar, baru saja dia mengucapkan permintaannya, keinginannya terkabul. Dia jatuh dan mati di samping guci tersebut, bebas dari luka, sakit, dan kesedihan. Keesokan paginya, asistennya bangun dan keluar dari tendanya. Dia menyiapkan makan pagi dan membawanya ke tenda sang profesor. Dia heran karena tidak menemukan sang profesor. Ia mencarinya dan akhirnya menemukan majikannya duduk di bawah pohon sudah tak bernyawa dan di sampingnya tergeletak guci wasiat!

Ada kemiripan Simeon dengan sang profesor arkeolog dalam cerita kita. Simeon seorang yang sedang mencari dan menanti-nantikan Mesias. Betapa bahagianya dia ketika berjumpa dengan Yusuf dan Maria yang mengendong bayi Yesus menuju ke Bait Suci. Siapa Simeon? Injil Lukas (Lukas 2:25-35) tidak menjelaskan apakah Simeon itu imam dan berapa umurnya. Tetapi Lukas langsung menegaskan bahwa ia tinggal di Yerusalem. Simeon dikenal sebagai seorang yang benar dan saleh dan ia menantikan penghiburan bagi Israel. Kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus bahwa ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan" (Luk.2:25-26).

Simeon mengakhiri hidupnya setelah mengalami perjumpaan dengan Sang Mesias. Kebahagiaan yang sepenuhnya itu ditandai dengan penyerahan hidup, "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang datang dari-Mu..." (Luk.2:29). Berbeda dari sang profesor itu, Simeon benar-benar bahagia karena ia melihat sendiri janji Allah itu. Oh, bukan karena usianya sudah renta dan banyak mengalami kelemahan tubuh yang menyebabkan ia meminta untuk segera pergi dari dunia. Bukan, bukan itu! Melainkan, karena sudah tidak ada lagi yang dapat membahagiakan dirinya ketimbang melihat Sang Mesias itu. Tentu, tidak semua orang dikaruniai kebahagiaan seperti Simeon. Namun, setidaknya kita bisa mencontoh dari kehidupan seorang Simeon.

Simeon disebutkan seorang yang hidupnya benar (dikaios) dan saleh (eulabes) di hadapan Allah. Kata dikaios dapat berarti "benar" dan "adil" sedangkan eulabes berarti : hidup saleh dan sangat berhati-hati serta takut akan Tuhan. Simeon dikatakan benar dan saleh, hal itu menunjukkan bahwa ia senantiasa berlaku benar, adil, sangat berhati-hati, hidup saleh, dan takut akan Tuhan. Arah hidupnya hanya ditujukan kepada penantian akan datangnya Mesias yang diutus Allah. Tidak mengherankan jika kehidupannya dikuasai oleh Roh Kudus. Jadi, seseorang akan berjumpa dengan kebahagiaan sejati bukan melalui benda ini dan itu, atau kuasa-kuasa yang selalu diperebutkan orang. Melainkan, hanya dengan hidup saleh dan benar.

Beberapa jam lagi kita akan mengakhiri tahun 2017. Bagaimana kita mengakhiri tahun ini? Apakah penuh dengan rasa syukur dan bahagia? Ataukah sebaliknya, diwarnai oleh kelu kesah, ketidakpuasan dan beban berat serta penderitaan? Seharusnya, perjumpaan kita dengan Sang Mesias membuahkan kebahagiaan sejati dan menolong kita untuk hidup benar dan saleh di hadapan Allah. Hal ini akan menjadi modal buat kita - dengan memertahankan hidup saleh dan benar - menyongsong kedatangan-Nya kembali sehingga kebahagiaan itu benar-benar paripurna! Selamat mengakhiri tahun 2017 dengan sukacita!

Jakarta, Penghujung tahun 2017