Kamis, 17 September 2015

DI ANTARA DUA PILIHAN : ALLAH ATAU DUNIA

Kita sering dibuat terkaget-kaget oleh berita di media masa. Pasalnya orang-orang yang justeru kepada mereka kita letakan kepercayaan, kehormatan dan tanggungjawab, pada akhirnya terbukti melakukan hal-hal yang jauh dari harapan kita. Mereka membuat kegaduhan, berbuat asusila, melawan hukum, menimbulkan perpecahan, melakukan penghasutan, korupsi dan sederet lagi prilaku yang tidak pantas disebutkan. Apa yang kurang? Dalam pendidikan pasti mereka lebih dari rata-rata pendidikan anak bangsa ini, gelarnya hebat-hebat; dalam status sosial, jangan ditanyakan lagi mereka berasal dari kalangan terpandang; kehidupan beragama, mereka menyebut pakarnya! Pasti ada yang keliru. Ilmu dan hikmat serta kedudukan mereka ternyata tidak sinkron dengan kenyatan hidup sehari-hari.

Predikat, gelar atau apa pun yang disandang seseorang seharusnya menyatu dengan prilaku sehari-hari. Yakobus pernah menantang kehidupan orang-orang Kristen pada zamannya yang seringkali tidak menjadi contoh yang baik. Banyak yang mengaku diri beriman kepada Kristus namun prilaku mereka jauh dari figur dan teladan Yesus, maka Yakobus mengatakan,”tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak.2:18). Sebab dalam pemikiran Yakobus, iman yang benar itu pasti akan tercermin dalam keseharian hidup orang itu. Perkara iman bukan sekedar pengakuan atau teori. Demikian juga dengan orang yang meganggap diri pandai dan berhikmat, logikanya  pastilah akan tampak dalam perbuatan dan tutur katanya.

Yakobus menantang orang yang mengaku diri bijak, berhikmat dan pandai, mereka ingin selalu didengar dan dihormati, katanya,  Siapa di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan” (Yak. 3:13). Mengapa Yakobus menantang mereka untuk membuktikan hikmat dan kepandaian itu dalam kehidupan perilaku sehari-hari? Oleh karena pada kenyataannya mereka yang menyatakan diri berhikmat dan pandai itu justeru, dengan perkataan (lidah) mereka sering menimbulkan perpecahan, fitnah dan provokator, dan akhirnya menimbulkan onar serta perpecahan dalam jemaat. Di samping itu sikap hidup mereka yang mementingkan diri sendiri, iri hati yang sangat tidak sedap dipandang mata. Nah, apakah pantas orang-orang seperti ini disebut berhikmat?

Yakobus menantang orang bijak untuk menunjukkan bahwa mereka telah menerima karunia kebijaksanaan, “Let him show by his good behavior his deeds!” Yakobus menggunakan kata kerja imperatif δείκνυμι - deiknumi yang secara literal berarti “as drawing attention to something point out, show, cause to see.” Supaya mereka yang bijak dan berpengertian menegaskan hal tersebut melalui perilaku sehari-hari. Apa yang dimaksudkan Yakobus dengan mendemonstrasikan hikmat dalam kehidupan sehari-hari? Penekanan dalam Yakobus 3:13 adalah “hikmat yang lahir dari kelemahlembutan”. Kelemahlembutan yang dimaksudkan Yakobus adalah sikap rendah hati yang muncul bukan dari keterpaksaan karena tidak ada pilihan. Lemah lembut bukan berarti sikap orang lemah.  Lemah lembut adalah sikap rendah hati mau melakukan apa yang Allah inginkan karena hikmatnya itu. αὐτοῦ ἐν πραΰτητι σοφίας (in the gentleness of wisdom). Dalam hal ini mungkin lebih tepat “kelemahlembutan yang lahir dari hikmat” dengan demikian, mereka yang mengaku memiliki sophia seharusnya juga sanggup menunjukkan prateutes dalam kehidupan sehari-hari! Tidak heran kalau banyak orang mengakui bahwa lemah-lembut dan rendah hati hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang “kuat dan tangguh”.

Alih-alih dapat menjunjukkan prateutes, “bijak/berhikmat” (σοφός) dan “berpengertian” (ἐπιστήμων), justeru sebaliknya: mereka arogan karena merasa memilki hikmat. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga iri hati dan mementingkan diri sendiri. Pertanyaannya, koq bisa? Bagi Yakobus hal ini sagat jelas bahwa sumber hikmat itu bukanlah dari atas. Bukan dari Allah melainkan dari tabiat manusia lama – yang kata Paulus dalam Galatia 5 :22, tabiat manusia yang menuruti keinginan daging – yang selalu melayani nafsunya. Ketika manusia berfokus pada kehendak dan emosinya, maka ia mudah dikuasai oleh iri hati, selanjutkan akan terjadi persaingan yang destruktif dan dosa mengingini kepunyaan orang lain. Iri hati merupakan sikap ingin meniru – sampai di sini sebenarnya ada nilai positif, kalau kita ingin meniru keberhasilan dan prestasi orang lain. Namun, masalahnya tidak berhenti di situ melainkan ingin meniru dan kemudian melebihi dan menguasai orang lian sehingga dampaknya bisa saja menghalalkan segala bentuk cara untuk mendapatkannya. Yakobus mengingatkan bahwa sikap yang demikian ini akan membawa kehancuran dalam sebuah komunitas untuk itu Yakobus menimta mereka agar berhenti mempraktekan gaya hidup yang seperti ini, jika tidak menginginkan kehancuran.

Selain memprediksi kehancuran, Yakobus mengingatkan bahwa gaya hidup arogan, iri hati dan egois bukanlah berasal dari Allah, “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan” (Yak.3 :15). Jadi, dalam pemahaman Yakobus, meskipun orang itu mengaku beriman, berhikmat, pandai, dan bijaksana. Namun, dalam kehidup sehari-hari menunjukkan sikap arogansi, iri hati dan pementingan diri sendiri, pada hakekatnya hikmatnya itu bukanlah berasal dari Allah. Betapa bagus perkataanya sekalipun tetap hidkmatnya buakan dari Allah dan karenanya perbuatanya pun pasti tidak menunjukkan perbuatan yang melayani dan memuliakan Allah. Dengan hikmatnya yang demikian itu sebenarnya ia sedang melayani dirinya sendiri, hawa nafsunya dan egoismenya sendiri! Jadi Yakobus sebenarnya mengaja kita untuk dengan mudah melihat bahwa ada dua pilihan yang berkaitan dengan hikmat:

1.   Hikamat itu berasal dari Allah, maka ia akan menghasilkan buah yang kasat mata dalam kehidupan sehari-hari: Orientasinya bukan pada diri sendiri, dengan segala kerendahan hati fokus pelayanan dan arah hidupnya hanya tertuju kepada kemuliaan Allah. Sehingga seluruh prilakunya merupakan referensi bahwa ia mengasihi Allah. Yakobus menunjukkan hikmat dari atas itu, “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak.3:17)

2.   Hikmat itu berasal dari hawa nafsu, sehingga ia akan berusaha mencari teori, melakukan banyak penafsiran Alkitab dan tak segan-segan menggunakan dan mengatasnamakan Tuhan, padahal yang sedang dikerjakannya adalah memenuhi nafsu, arogansi dan egoisme sendiri. Hikmat seperti ini sejatinya bukanlah hikmat, melainkan sikap pemuasan diri dengan bungkus hikmat. Itulah kemunafikan! Orang dengan hikmat yang seperti ini sesungguhnya ia adalah lawan Allah karena ia dengan sadar menolak kehendak-Nya tetapi juga memakai nama-Nya untuk melayani hawa nafsunya! Maka tidaklah mengherankan kalau Yakobus menyejajarkan hikmat ini datang dar setan-setan (3:15).

Jika kita meminjam cermin Yakobus ini, hikmat apa yang telah dan sedang membentuk karakter kita? Apakah benar-benar hikmat yang berasal dari Allah sehingga tanpa banyak bicara orang di sekeliling kita akan merasakan aora bahwa kita sangat dekat dengan sumber hikat itu, yakni Allah? Ataukah kita sebenarnya sedang melayani diri sendiri dengan meminjam dan mengatasnamakan nama-Nya? Sehingga bukan benih damai sejahtera yang sedang kita taburkan melainkan benih-benih kekacauan dan perpecahan.

Bisa jadi pada mulanya fokus hidup dan pelayanan kita pada diri sendiri seperti yang terjadi dengan para murid yang menginginkan posisi paling terhormat (Markus 9:33-37). Namun, Tuhan Yesus menegur mereka dengan mengatakan, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk.9:35). Yesus yang sama ingin kita pun tidak keliru memilih.

Jumat, 11 September 2015

MENGENDALIKAN LIDAH, MEMBANGUN KEHIDUPAN

Kekerasan tidak selalu berbentuk fisik. Lidah bibir manusia ada kalanya lebih tajam ketimbang golok atau silet. Ia bisa menusuk, mengiris-iris dan menyayat hati. Lidah manusia bisa membunuh kreatifitas tetapi juga fisik. Adalah Ronin Shimizu, bocah 12 tahu asal Negara Bagian California yang menjadi salah satu dari ribuan bahkan jutaan korban akibat ketajaman lidah. Desember tahun lalu publik disadarkan akan kekejaman lidah manusia. Ronin memilih pemandu sorak (cheer leader) sebagai ekstra kulikuler di Sekolah Menengah Pertama Folsom, kota Sacramento tempat ia menuntut ilmu. Di antara teman-temanya yang ikut ekstra kulikuler pemandu sorak hanya dialah anak laki-laki satu-satunya. Namun, nahas itu terjadi bermula ketika teman-teman yang lain mengejek dan menjulukinya gay. Semua tidak menyangka, si Periang itu pergi dengan cara tragis. Ia bunuh diri! (3/12.14) Penyesalan dan kesedihan dari teman-temannya sudah terlambat. Taburan bunga, nyala lilin dan doa yang menghantar kepergian Ronin untuk selama-lamanya!

Lidah sangat dasyat, ia membunuh tanpa ampun. Setiap kata-kata yang keluar dari lidah bibir seseorang tidak mungkin dapat ditarik kembali. Inilah perbedaan antara gaung gong dan lidah. Gong bila dipukul akan menghasilkan gaung, getarannya akan memancar da memantul. Namun, pantulan itu makin lama-makin mengecil dan menghilang. Tetapi, ucapan lidah bibir manusia, sekali dibunyikan akan bergema, terus memantul dan merambat. Ia akan ditambah, dibumbuii sehingga getarannya makin membesar. Pantaslah kalau Yakobus menaruh perhatian dan peringatan keras terhadap lidah, katanya: “Lidah pun adalah api; ia dapat merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh…” (Yak.3:6a).

Mengapa Yakobus sedemikian keras mengingatkan bahayanya sebuah ucapan manusia? Tampaknya, dua belas suku perantauan pengikut Yesus tidak ada masalah dengan ajaran kekristenan. Namun, mereka bermasalah dalam prilaku kehidupan sehari-hari, misalnya dalam hal ketidaksabaran untuk menghadapi pencobaan (1:1-4), tidak hidup dalam kebenaran (2:14 – dst), kurang dapat mengendalikan lidah (3:1- dst), bertengkar atau berselisih (4:1 – dst), terkesan fokus pada pengumpulan harta dan cenderung serakah ( 5: 1 – dst).

Bahaya lidah sangat dasyat! Dalam kenyataan sejarah gereja, banyak orang bertahan dalam iman mereka ketika dianiaya. Namun, seringkali tidak ketika mereka memasuki pertikaian, adu argumentas dan perpecahan sehingga kemudian berdampak menghambat bahkan melenyapkan sebuah gereja. Dalam kehidupan bergereja saat ini kita pun dapat menyaksikan bahwa masih banyak orang yang terus berpegang pada iman mereka ketika kesusahan melanda mereka; entah bencana, sakit penyakit, atau kehilangan orang yang mereka kasihi, apalagi kalau setiap anggota gereja mendukung dengan perhatian dan doa. Penderitaan dan kemalangan itu bukan penghalang untuk tetap percaya. Namun, kenyataan menuntujukkan, banyak orang yang hengkang dari gereja bahkan meninggalkan imannya karena perkataan yang menusuk hatinya, karena mereka digosipkan, difitnah, dan tidak ditegur sapa dengan semestinya.

Lalu, setelah kita mengerti dampak buruk dari sebuah perkataan, apa yang mestinya kita lakukan? Membungkamnya, sehingga kita tidak perlu berbicara rasanya mustahil kita dapat melakukannya. Ataukah ada cara yang baik untuk mengendalikan lidah kita sehingga tidak liar dan berbahaya bagi diri sendiri atau pun orang lain melainkan dapat membangun dan memancarkan kehidupan?

Meminjam karya James Bryan Smith dalam The Good and Beautiful Life, rasanya berguna dalam kita mengendalikan lidah kita. Smith mengatakan bahwa bentuk paling umum dari penyalahgunaan lidah kita adalah gosip. Gosip diartikan sebagai (1) berbicara secara negatif (2) mengenai seseorang yang sedang tidak bersama-sama kita. Inilah dua elemen dasar dari gosif. Jika Anda mengatakan seseorang yang tidak bersama Anda tentang hal-hal positif darinya, maka itu tidak dapat dikatakan gosip.

Smith merujuk pada John Weslye (tokoh penginjil pendiri Methodis) yang menyarankan untuk membentuk kelompok kecil dalam memerangi atau mengatasi kecenderungan kita untuk bergosip. Weslye menyarankan agar dalam kelompok kecil itu tidak menyebutkan kesalahan orang di belakang orang tersebut. Lakukanlah praktek ini: Ketika Anda berada dalam sebuah situasi di mana dalam kelompok itu sedang bergosip, katakanlah, “Mungkin lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakan seseorang yang tidak bersama-sama dengan kita.”

Bisa jadi sikap Anda akan terlihat sok kudus bagi orang yang sedang bergosip, khususnya jika orang tersebut tahu Anda pernah melakukan gosip. Jika Anda merasa seperti itu, lakukan : (1) hindarilah atau pergilah saat kita tahu kelompok itu sedang bergosip atau (2) jangan ikut-ikutan menimpali dengan fokus pembicaraan pada keburukan orang lain. Gantilah topik pembicaraan secepat mungkin. Tidak ada gunanya Anda mengekang keinginan untuk bicara, sebab kekangan akan menghasilkan kekangan. Anda bisa mengendalikan topik pembicaraan seperti yang disarankan Matt Johnson: “Ya, saya tidak mengenalnya sebaik yang Anda kenal, tetapi sepertinya dia adalah seorang yang murah hati.” Di sinilah peran lidah Anda untuk membangun kehidupan. Tampilkanlah sisi positif orang yang dibicarakan, karena pada hakekatnya tidak mungkin seseorang itu buruk sepenuhnya atau baik seutuhnya. Menurut pengalaman Johnson, kalimat semacam ini mampu mengubah arah pembicaraan dan menghentikan gosip.

Tanpa sadar sering kita dibawa oleh arus pemikiran bahwa gosip bukanlah sebuah dosa, apalagi pembandingnya adalah dosa berjinah, merampok, memerkosa, mencuri dan membunuh. Kita sering memperhalus gosip dengan istilah : evaluasi, sharing, atau berdiskusi – bukankah ini sangat familiar ada di gereja. Namun, terkadang disadari atau tidak kita sedang membicarakan aib orang. Saya percaya bahwa kebanyakan dari kita menyadari kalau kita sedang bergosip. Biarpun saya mencoba untuk melihat gosip sebagai “kejujuran mengenai seseorang,” namun dalam hati nurani saya tahu bahwa saya sebenarnya sedang menjatuhkan orang yang menjadi obyek pembicaraan itu.

Apakah dengan demikian kita tidak boleh menegur, menganalisis dan menyampaikan kesalahan orang lain dengan alasan supaya lidah bibir kita tidak melukainya? Tentulah tidak demikian! Ketika kita membiarkan kesalahan atau dosa terjadi di depan mata kita dan kita tidak mau peduli, itu berarti kita menyetujui dia melakukan kesalahan dan dosa. Karena kita setuju dengan dosa, maka kita pun menjadi berdosa! Ketika kita harus mengatakan kebenaran, terkadang kita memberi penilaian dan kesaksian tentang orang lain itu. Ketika kita ditanya, apakah seseorang itu bisa kita andalakan? Nah, padahal saat itu kita tahu percis bahwa dalam pengalam perjumpaan dengan orang itu, orang tersebut tidak bertanggungjawab. Maka kita harus mengatakan yang sebenarnya. Itu bukan gosip! Lidah bibir kita bisa dipakai Tuhan untuk membangun baik kehidupan pribadi orang itu maupn dalam pertumbuhan komunitas. 

Menolak untuk bergosip dan mengandalkan Allah untuk menolong kita menghindari gosip adalah salah satu tindakan kasih terbaik yang dapat kita lakukan untuk membangun kehidupan orang lain. Dengan bertindak begitu, tanpa sadar kita sedang melatih lidah bibir kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sekali lagi, kita melakukan apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang tidak bisa kita lakukan. Saya percaya Anda bisa hidup lebih nyaman dan berbahagia tanpa gosip. Ketika Anda bisa melakukannya, sya percaya bahwa Anda dapat hidup sama sekali dari gosip.