Kekerasan tidak selalu berbentuk fisik. Lidah bibir manusia ada kalanya
lebih tajam ketimbang golok atau silet. Ia bisa menusuk, mengiris-iris dan
menyayat hati. Lidah manusia bisa membunuh kreatifitas tetapi juga fisik.
Adalah Ronin Shimizu, bocah 12 tahu asal Negara Bagian California yang menjadi
salah satu dari ribuan bahkan jutaan korban akibat ketajaman lidah. Desember
tahun lalu publik disadarkan akan kekejaman lidah manusia. Ronin memilih pemandu
sorak (cheer leader) sebagai ekstra
kulikuler di Sekolah Menengah Pertama Folsom, kota Sacramento tempat ia
menuntut ilmu. Di antara teman-temanya yang ikut ekstra kulikuler pemandu sorak
hanya dialah anak laki-laki satu-satunya. Namun, nahas itu terjadi bermula
ketika teman-teman yang lain mengejek dan menjulukinya gay. Semua tidak menyangka, si Periang itu pergi dengan cara tragis.
Ia bunuh diri! (3/12.14) Penyesalan dan kesedihan dari teman-temannya sudah
terlambat. Taburan bunga, nyala lilin dan doa yang menghantar kepergian Ronin
untuk selama-lamanya!
Lidah sangat dasyat, ia membunuh tanpa ampun. Setiap kata-kata yang
keluar dari lidah bibir seseorang tidak mungkin dapat ditarik kembali. Inilah
perbedaan antara gaung gong dan lidah. Gong bila dipukul akan menghasilkan
gaung, getarannya akan memancar da memantul. Namun, pantulan itu makin
lama-makin mengecil dan menghilang. Tetapi, ucapan lidah bibir manusia, sekali
dibunyikan akan bergema, terus memantul dan merambat. Ia akan ditambah,
dibumbuii sehingga getarannya makin membesar. Pantaslah kalau Yakobus menaruh
perhatian dan peringatan keras terhadap lidah,
katanya: “Lidah pun adalah api; ia
dapat merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara
anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh…” (Yak.3:6a).
Mengapa Yakobus sedemikian keras mengingatkan bahayanya sebuah ucapan
manusia? Tampaknya, dua belas suku perantauan pengikut Yesus tidak ada masalah
dengan ajaran kekristenan. Namun, mereka bermasalah dalam prilaku kehidupan
sehari-hari, misalnya dalam hal ketidaksabaran untuk menghadapi pencobaan
(1:1-4), tidak hidup dalam kebenaran (2:14 – dst), kurang dapat mengendalikan
lidah (3:1- dst), bertengkar atau berselisih (4:1 – dst), terkesan fokus pada
pengumpulan harta dan cenderung serakah ( 5: 1 – dst).
Bahaya lidah sangat dasyat! Dalam kenyataan sejarah gereja, banyak orang
bertahan dalam iman mereka ketika dianiaya. Namun, seringkali tidak ketika
mereka memasuki pertikaian, adu argumentas dan perpecahan sehingga kemudian
berdampak menghambat bahkan melenyapkan sebuah gereja. Dalam kehidupan
bergereja saat ini kita pun dapat menyaksikan bahwa masih banyak orang yang
terus berpegang pada iman mereka ketika kesusahan melanda mereka; entah
bencana, sakit penyakit, atau kehilangan orang yang mereka kasihi, apalagi
kalau setiap anggota gereja mendukung dengan perhatian dan doa. Penderitaan dan
kemalangan itu bukan penghalang untuk tetap percaya. Namun, kenyataan
menuntujukkan, banyak orang yang hengkang dari gereja bahkan meninggalkan
imannya karena perkataan yang menusuk hatinya, karena mereka digosipkan,
difitnah, dan tidak ditegur sapa dengan semestinya.
Lalu, setelah kita mengerti dampak buruk dari sebuah perkataan, apa yang
mestinya kita lakukan? Membungkamnya, sehingga kita tidak perlu berbicara
rasanya mustahil kita dapat melakukannya. Ataukah ada cara yang baik untuk mengendalikan
lidah kita sehingga tidak liar dan berbahaya bagi diri sendiri atau pun orang
lain melainkan dapat membangun dan memancarkan kehidupan?
Meminjam karya James Bryan Smith dalam The Good and Beautiful Life, rasanya berguna dalam kita
mengendalikan lidah kita. Smith mengatakan bahwa bentuk paling umum dari
penyalahgunaan lidah kita adalah gosip. Gosip diartikan sebagai (1) berbicara
secara negatif (2) mengenai seseorang yang sedang tidak bersama-sama kita.
Inilah dua elemen dasar dari gosif. Jika Anda mengatakan seseorang yang tidak
bersama Anda tentang hal-hal positif darinya, maka itu tidak dapat dikatakan
gosip.
Smith merujuk pada John Weslye (tokoh penginjil pendiri Methodis) yang
menyarankan untuk membentuk kelompok kecil dalam memerangi atau mengatasi
kecenderungan kita untuk bergosip. Weslye menyarankan agar dalam kelompok kecil
itu tidak menyebutkan kesalahan orang di belakang orang tersebut. Lakukanlah
praktek ini: Ketika Anda berada dalam sebuah situasi di mana dalam kelompok itu
sedang bergosip, katakanlah, “Mungkin lebih baik bagi kita untuk tidak
membicarakan seseorang yang tidak bersama-sama dengan kita.”
Bisa jadi sikap Anda akan terlihat sok kudus bagi orang yang sedang
bergosip, khususnya jika orang tersebut tahu Anda pernah melakukan gosip. Jika
Anda merasa seperti itu, lakukan : (1) hindarilah atau pergilah saat kita tahu
kelompok itu sedang bergosip atau (2) jangan ikut-ikutan menimpali dengan fokus
pembicaraan pada keburukan orang lain. Gantilah topik pembicaraan secepat
mungkin. Tidak ada gunanya Anda mengekang keinginan untuk bicara, sebab
kekangan akan menghasilkan kekangan. Anda bisa mengendalikan topik pembicaraan
seperti yang disarankan Matt Johnson: “Ya, saya tidak mengenalnya sebaik yang
Anda kenal, tetapi sepertinya dia adalah seorang yang murah hati.” Di sinilah
peran lidah Anda untuk membangun kehidupan. Tampilkanlah sisi positif orang
yang dibicarakan, karena pada hakekatnya tidak mungkin seseorang itu buruk
sepenuhnya atau baik seutuhnya. Menurut pengalaman Johnson, kalimat semacam ini
mampu mengubah arah pembicaraan dan menghentikan gosip.
Tanpa sadar sering kita dibawa oleh arus pemikiran bahwa gosip bukanlah
sebuah dosa, apalagi pembandingnya adalah dosa berjinah, merampok, memerkosa, mencuri
dan membunuh. Kita sering memperhalus gosip dengan istilah : evaluasi, sharing, atau berdiskusi – bukankah ini sangat
familiar ada di gereja. Namun, terkadang disadari atau tidak kita sedang
membicarakan aib orang. Saya percaya bahwa kebanyakan dari kita menyadari kalau
kita sedang bergosip. Biarpun saya mencoba untuk melihat gosip sebagai “kejujuran
mengenai seseorang,” namun dalam hati nurani saya tahu bahwa saya sebenarnya
sedang menjatuhkan orang yang menjadi obyek pembicaraan itu.
Apakah dengan demikian kita tidak boleh menegur, menganalisis dan
menyampaikan kesalahan orang lain dengan alasan supaya lidah bibir kita tidak
melukainya? Tentulah tidak demikian! Ketika kita membiarkan kesalahan atau dosa
terjadi di depan mata kita dan kita tidak mau peduli, itu berarti kita
menyetujui dia melakukan kesalahan dan dosa. Karena kita setuju dengan dosa,
maka kita pun menjadi berdosa! Ketika kita harus mengatakan kebenaran, terkadang
kita memberi penilaian dan kesaksian tentang orang lain itu. Ketika kita
ditanya, apakah seseorang itu bisa kita andalakan? Nah, padahal saat itu kita
tahu percis bahwa dalam pengalam perjumpaan dengan orang itu, orang tersebut
tidak bertanggungjawab. Maka kita harus mengatakan yang sebenarnya. Itu bukan
gosip! Lidah bibir kita bisa dipakai Tuhan untuk membangun baik kehidupan
pribadi orang itu maupn dalam pertumbuhan komunitas.
Menolak
untuk bergosip dan mengandalkan Allah untuk menolong kita menghindari gosip
adalah salah satu tindakan kasih terbaik yang dapat kita lakukan untuk
membangun kehidupan orang lain. Dengan bertindak begitu, tanpa sadar kita
sedang melatih lidah bibir kita untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Sekali lagi, kita melakukan apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang tidak
bisa kita lakukan. Saya percaya Anda bisa hidup lebih nyaman dan berbahagia
tanpa gosip. Ketika Anda bisa melakukannya, sya percaya bahwa Anda dapat hidup
sama sekali dari gosip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar