Kita sering dibuat terkaget-kaget oleh berita di media masa. Pasalnya
orang-orang yang justeru kepada mereka kita letakan kepercayaan, kehormatan dan
tanggungjawab, pada akhirnya terbukti melakukan hal-hal yang jauh dari harapan
kita. Mereka membuat kegaduhan, berbuat asusila, melawan hukum, menimbulkan
perpecahan, melakukan penghasutan, korupsi dan sederet lagi prilaku yang tidak
pantas disebutkan. Apa yang kurang? Dalam pendidikan pasti mereka lebih dari
rata-rata pendidikan anak bangsa ini, gelarnya hebat-hebat; dalam status sosial,
jangan ditanyakan lagi mereka berasal dari kalangan terpandang; kehidupan
beragama, mereka menyebut pakarnya! Pasti ada yang keliru. Ilmu dan hikmat
serta kedudukan mereka ternyata tidak sinkron dengan kenyatan hidup
sehari-hari.
Predikat, gelar atau apa pun yang disandang seseorang seharusnya menyatu
dengan prilaku sehari-hari. Yakobus pernah menantang kehidupan orang-orang
Kristen pada zamannya yang seringkali tidak menjadi contoh yang baik. Banyak
yang mengaku diri beriman kepada Kristus namun prilaku mereka jauh dari figur
dan teladan Yesus, maka Yakobus mengatakan,”tunjukkanlah
kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku
dari perbuatan-perbuatanku” (Yak.2:18). Sebab dalam pemikiran Yakobus, iman
yang benar itu pasti akan tercermin dalam keseharian hidup orang itu. Perkara
iman bukan sekedar pengakuan atau teori. Demikian juga dengan orang yang
meganggap diri pandai dan berhikmat, logikanya pastilah akan tampak dalam perbuatan dan tutur
katanya.
Yakobus menantang orang yang mengaku diri bijak, berhikmat dan pandai,
mereka ingin selalu didengar dan dihormati, katanya, “Siapa
di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik
menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan” (Yak.
3:13). Mengapa Yakobus menantang mereka untuk membuktikan hikmat dan kepandaian
itu dalam kehidupan perilaku sehari-hari? Oleh karena pada kenyataannya mereka
yang menyatakan diri berhikmat dan pandai itu justeru, dengan perkataan (lidah)
mereka sering menimbulkan perpecahan, fitnah dan provokator, dan akhirnya
menimbulkan onar serta perpecahan dalam jemaat. Di samping itu sikap hidup
mereka yang mementingkan diri sendiri, iri hati yang sangat tidak sedap
dipandang mata. Nah, apakah pantas orang-orang seperti ini disebut berhikmat?
Yakobus menantang orang bijak untuk menunjukkan bahwa mereka telah
menerima karunia kebijaksanaan, “Let him
show by his good behavior his deeds!” Yakobus menggunakan kata kerja
imperatif δείκνυμι - deiknumi
yang secara literal berarti “as
drawing attention to something point out, show, cause to see.” Supaya
mereka yang bijak dan berpengertian menegaskan hal tersebut melalui perilaku
sehari-hari. Apa yang dimaksudkan
Yakobus dengan mendemonstrasikan hikmat dalam kehidupan sehari-hari? Penekanan
dalam Yakobus 3:13 adalah “hikmat yang
lahir dari kelemahlembutan”. Kelemahlembutan yang dimaksudkan Yakobus
adalah sikap rendah hati yang muncul bukan dari keterpaksaan karena tidak ada
pilihan. Lemah lembut bukan berarti sikap orang lemah. Lemah lembut adalah sikap rendah hati mau
melakukan apa yang Allah inginkan karena hikmatnya itu. αὐτοῦ ἐν πραΰτητι σοφίας (in the gentleness of
wisdom). Dalam hal ini mungkin lebih tepat “kelemahlembutan yang lahir dari
hikmat” dengan demikian, mereka yang mengaku memiliki sophia seharusnya juga sanggup menunjukkan prateutes dalam kehidupan sehari-hari! Tidak heran kalau banyak
orang mengakui bahwa lemah-lembut dan rendah hati hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang “kuat dan tangguh”.
Alih-alih dapat menjunjukkan prateutes, “bijak/berhikmat”
(σοφός)
dan “berpengertian” (ἐπιστήμων), justeru sebaliknya: mereka arogan karena
merasa memilki hikmat. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga iri hati dan
mementingkan diri sendiri. Pertanyaannya, koq
bisa? Bagi Yakobus hal ini sagat jelas bahwa sumber hikmat itu bukanlah
dari atas. Bukan dari Allah melainkan
dari tabiat manusia lama – yang kata Paulus dalam Galatia 5 :22, tabiat manusia
yang menuruti keinginan daging – yang selalu melayani nafsunya. Ketika manusia
berfokus pada kehendak dan emosinya, maka ia mudah dikuasai oleh iri hati,
selanjutkan akan terjadi persaingan yang destruktif dan dosa mengingini
kepunyaan orang lain. Iri hati merupakan sikap ingin meniru – sampai di sini
sebenarnya ada nilai positif, kalau kita ingin meniru keberhasilan dan prestasi
orang lain. Namun, masalahnya tidak berhenti di situ melainkan ingin meniru dan
kemudian melebihi dan menguasai orang lian sehingga dampaknya bisa saja
menghalalkan segala bentuk cara untuk mendapatkannya. Yakobus mengingatkan
bahwa sikap yang demikian ini akan membawa kehancuran dalam sebuah komunitas
untuk itu Yakobus menimta mereka agar berhenti mempraktekan gaya hidup yang
seperti ini, jika tidak menginginkan kehancuran.
Selain memprediksi kehancuran, Yakobus mengingatkan bahwa gaya hidup
arogan, iri hati dan egois bukanlah berasal dari Allah, “Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari
nafsu manusia, dari setan-setan” (Yak.3 :15). Jadi, dalam pemahaman
Yakobus, meskipun orang itu mengaku beriman, berhikmat, pandai, dan bijaksana.
Namun, dalam kehidup sehari-hari menunjukkan sikap arogansi, iri hati dan
pementingan diri sendiri, pada hakekatnya hikmatnya itu bukanlah berasal dari
Allah. Betapa bagus perkataanya sekalipun tetap hidkmatnya buakan dari Allah
dan karenanya perbuatanya pun pasti tidak menunjukkan perbuatan yang melayani
dan memuliakan Allah. Dengan hikmatnya yang demikian itu sebenarnya ia sedang
melayani dirinya sendiri, hawa nafsunya dan egoismenya sendiri! Jadi Yakobus
sebenarnya mengaja kita untuk dengan mudah melihat bahwa ada dua pilihan yang
berkaitan dengan hikmat:
1. Hikamat
itu berasal dari Allah, maka ia akan menghasilkan buah yang kasat mata dalam
kehidupan sehari-hari: Orientasinya bukan pada diri sendiri, dengan segala
kerendahan hati fokus pelayanan dan arah hidupnya hanya tertuju kepada
kemuliaan Allah. Sehingga seluruh prilakunya merupakan referensi bahwa ia
mengasihi Allah. Yakobus menunjukkan hikmat dari atas itu, “Tetapi hikmat yang dari atas adalah
pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan
dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik” (Yak.3:17)
2. Hikmat itu
berasal dari hawa nafsu, sehingga ia akan berusaha mencari teori, melakukan
banyak penafsiran Alkitab dan tak segan-segan menggunakan dan mengatasnamakan
Tuhan, padahal yang sedang dikerjakannya adalah memenuhi nafsu, arogansi dan
egoisme sendiri. Hikmat seperti ini sejatinya bukanlah hikmat, melainkan sikap
pemuasan diri dengan bungkus hikmat. Itulah kemunafikan! Orang dengan hikmat
yang seperti ini sesungguhnya ia adalah lawan Allah karena ia dengan sadar
menolak kehendak-Nya tetapi juga memakai nama-Nya untuk melayani hawa nafsunya!
Maka tidaklah mengherankan kalau Yakobus menyejajarkan hikmat ini datang dar
setan-setan (3:15).
Jika kita meminjam cermin Yakobus ini, hikmat apa yang telah dan sedang
membentuk karakter kita? Apakah benar-benar hikmat yang berasal dari Allah
sehingga tanpa banyak bicara orang di sekeliling kita akan merasakan aora bahwa kita sangat dekat dengan
sumber hikat itu, yakni Allah? Ataukah kita sebenarnya sedang melayani diri
sendiri dengan meminjam dan mengatasnamakan nama-Nya? Sehingga bukan benih
damai sejahtera yang sedang kita taburkan melainkan benih-benih kekacauan dan
perpecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar