Kamis, 23 Juli 2015

KASIH ALLAH MELAMPAUI YANG DIDOAKAN DAN DIPIKIRKAN

Francis Dewar bertutur sebuah dongeng. Alkisah, ada seorang raja yang kaya raya. Sang raja mempunyai sebuah batu rubi sangat besar dan indah, tentu harganya tak ternilai. Batu rubi begitu menawan hati sang raja sehingga setiap hari raja akan selalu memandangi batu itu dengan sangat bangga.

Pada suatu hari, ia sangat cemas dan begitu sedih. Pasalnya, dia menemukan batu rubinya telah tergores. Lalu, raja memanggil semua tukang permata di seluruh negeri untuk memeriksanya dan melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Setelah mencermati dan meneliti permata sang raja, para tukang permata itu sepakat bahwa perbaikan yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Maka sebaiknya permata itu tidak usah dilakukan perbaikan. Sang raja menjadi putus asa, semakin sedih dan murung. Kemudian dia menawarkan sebuah hadiah yang sangat besar kepada tukang permata yang dapat memperbaiki batu rubinya. Beberapa tukang permata datang untuk mencoba peruntungan, tetapi semua tidak dapat melakukan apa pun terhadap batu permata sang raja.

Beberapa hari kemudian, seorang pelayan raja melaporkan bahwa dia mendengar pembicaraan tentang seorang mantan tukang permata yang tinggal di daerah terpencil di negeri itu. Mantan tukang permata ini dikenal sangat berpengalaman dalam mengtasi kerusakan-kerusakan permata murni. Maka, segeralah mantan tukang permata itu dipanggil menghadap ke istana. Dia seorang tua, berpostur tubuh kecil nan bungkuk dalam balutan pakaian yang lusuh. Para pembesar istana, jangankan menaruh hormat, memandang sebelah mata pun tidak. Mereka meragukan dan mempertanyakan keputusan raja. Bagi mereka raja sedang membuang-buang waktu saja. Namun, sang raja bersihkeras bahwa mantan tukang permata itu pantas diberi kesempatan untuk melihat batu rubi yang tergores itu.

Mantan tukang permata itu memandangi batu rubi kebanggaan sang raja. Ia mengambil waktu beberapa saat untuk memerhatikan batu rubi  itu dengan cermat. Kemudian ia berkomentar, “Maafkan saya, tuanku raja. Saya tidak dapat memperbaiki batu rubimu, tetapi jika engkau berkenan saya dapat membuatnya lebih indah.”

Raja sedikit meragukannya, tetapi dia sudah sangat berputus asa bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya lagi terhadap batu rubi kebanggaannya itu. Bukankah selama ini ia sudah mengerahkan kemampuan seluruh tukang batu permata dan semuanya mengtakan tidak bisa melakukan apa-apa terhadap batu rubi itu. Kemudian, raja memersilahkan mantan tukang batu permata itu untuk mengerjakannya. Segeralah si mantan tukang permata itu mulai bekerja, ia memotong, menggosok dan memoles batu permata itu. Beberapa hari kemudian, dia menghadap raja dengan membawa batu rubi yang udah dikerjakannya. Di atas batu permata raja yang murni itu, ia telah memahat bunga mawar yang sangat indah dan rumit yang alurnya dibentuk dari goresan yang telah membuatnya cacat! Sang raja sama sekali tidak menduga bahwa kini permatanya jauh lebih indah ketimbang sebelum mengalam keretakan. Mantan tukang permata itu telah mengerjakan dengan sempurna permatanya melampaui harapan yang diinginkan sang raja.

Dalam kesulitan dan keterpurukan, ketika kita diliputi pesimisme oleh karena sesuatu kepahitan yang merusak rencana hidup sering membuat kita tidak berdaya. Akhirnya, ketika kita berdoa pun tidak disertai dengan mantapnya keyakinan! Paulus mengajar berbeda:

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” (Efesus 3:20). Kalimat ini merupakan bagian akhir doa (doksologi) dari Paulus untuk Jemaat di Efesus. Dalam perikop Efesus 3:14-21 tiga kali Paulus menyebutkan: “Aku berdoa, supaya…”

Pertama, “Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,…(ay.16). Paulus menyadari bahwa hidup menjadi pengikut Yesus akan mengalami banyak tantangan. Hal ini dialami sendiri oleh Paulus sendiri. Ia dipenjarakan (Efesus 3:1) oleh orang-orang yang tidak senang akan aktivitas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus. Dari dalam sendiri, Paulus menghadapi tantangan dari saudara-saudara seiman yang menggugat kerasulannya mengingat masa lalunya yang menganiaya orang-orang Kristen. Oleh karena itulah Paulus menyadari bahwa dirinya adalah orang yang paling hina di antara orang kudus (Efesus 3:8). Jadi, tantangan itu bisa datang dari eksternal : orang-orang yang membenci kekristenan. Dan internal : sesama saudara seiman yang mempunyai pemahaman berbeda. Untuk mengatasi hal ini bukan saja mengharapkan TUHAN yang mengubah segalanya, Paulus meminta supaya umat TUHAN itu berakar dan berdasar dalam kasih. Tentu yang dimaksud adalah kasih Kristus.

Kedua, “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,...” (Efesus 3:18). Rupanya, Paulus menyadari bahwa untuk memahami kasih Allah itu tidaklah mudah. Manusia sering memahami bahwa kalau Allah itu Mahakasih maka apa pun yang diminta pasti akan diberikan. Pengalaman Paulus ternyata tidak begitu. Contohnya, tiga kali Paulus meminta agar kelemahannya, yakni duri dalam daging diangkat. Namun, nyatanya tidak. Malah dengan kelemahannya itu Paulus dapat bermegah, bukan pada dirinya sendiri melainkan karena pertolongan TUHAN. Bagi Paulus kasih Allah yang lebar, luas, tinggi dan dalam itu tidak membebaskannya dari pelbagai kesulitan dan penderitaan, melainkan Dialah yang memampukan Paulus menghadapi semua tantangan itu.

Ketiga, “Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” (Efesus 3:19b). Paulus mendoakan agar pengikut Kristus mempunyai iman yang dinamis menuju kepada kesempurnaan yang Allah inginkan. Setiap orang percaya mestinya menyadari bahwa kita semua harus terus menerus bertumbuh.

Jika kita mencermati doa yang diungkapkan Paulus maka kita menemukan ada dua pihak, yakni Allah dan orang percaya yang bekerja bersama untuk mendapatkan hasil optimal. Pada satu pihak, Paulus berdoa supaya Allah menguatkan, meneguhkan, menyempurnakan pemahaman umat. Di pihak lain, Paulus meminta agar orang percaya berakar dan berdasar dalam kasih Kristus; berusaha memahami dan mengenal betapa lebar, panjang, tinggi dan dalamnya kasih Kristus. Dan kemudian umat terus-menerus berusaha hidup dalam kepenuhan Allah, yakni iman yang terus bertumbuh ke arah kesempurnaan. Paulus, berdasarkan pengalaman imannya sendiri, meyakini jika doa dilakukan dengan serius (dalam permohonan kepada Allah dan tindakan nyata mengupayakan hidup yang berkenan kepada Allah) maka hasilnya pasti menakjubkan :

“Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.” (Efesus 3:20)

Sering kita tidak melihat dan menikmati jawaban doa dari TUHAN oleh karena kita tidak serius dalam berdoa. Kita hanya mau menerima hasilnya dan tidak mau menuntut diri sendiri berupaya mengenal kasih Allah dan hidup di dalam kasih-Nya itu. Kita sering marah mana kala kesultan dan penderitaan menghampiri kita, tanpa mau belajar mengenal bahwa dalam hal yang tidak menyenangkan sekalipun TUHAN tetap setia dan terus melimpahkan cinta kasih-Nya.

Rabu, 15 Juli 2015

MENGAPA KRISTUS MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH?

Pada setiap budaya, ras, etnis, bangsa, komunitas bahkan agama selalu saja menganut sistem ketahiran. Sistem itu akan memilah mana manusia yang dipandang mulia, bermartabat tinggi dan mana yang digolongkan sebagai kelas pinggiran nan jelata. Masyarakat Yahudi mengambil pusat ketahiran itu pada Bait Allah, semakin seseorang “dekat” dengan Bait Allah, maka semakin dipandang sebagai orang mulia dan terhormat. Imam besar, para imam dan kaum Lewi menduduki tempat terhormat, selanjutnya suku-suku lain dalam komunitas Israel, itu pun masih dibedakan menurut gender, usia, status sosial, atau pekerjaan yang mereka tekuni. Kemudian menyusul orang asing yang memeluk agama Yahudi, proselite Posisi paling buncit di tempat oleh orang asing, pemungut cukai, sida-sida dan kelompok orang yang dinamakan pendosa. Tidaklah mengherankan kalau denah Bait Allah pun ada sekat-sekat dari mulai ruang mahakudus, ruang kudus, serambi perempuan, serambi orang asing dan sebagainya.

Dalam sistem ketahiran Yahudi, Taurat dan buku kuningnya (Misnah, Talmud, dan Gemara: uraian-uraian Taurat dan aplikasinya) sangat sulit memahami komunitas di luar Yahudi untuk mendapat belas kasih dari Allah. JIka mereka menginginkannya, tidak ada jalan lain kecuali mereka menjadi Yahudi. Jika orang asing itu menghendaki kasih karunia TUHAN, mereka harus melakukan tata cara dan tradisi Yahudi. Keyakinan mereka mengatakan bahwa Yahudilah umat istimewa dan karena itu mereka adalah umat kesayangan Allah! Dalam peradaban modern pemahaman Yudaisme ini mirip-mirip Chauvinism. Nicolas Chouvin konon begitu loyal terhadap Napoleon Bonaparte dan menganggapnya sebagai manusia super, kaisar terbaik meskipun Napoleon sendiri telah dikalahkan dan dibuang ke pulau St. Helena. Chauvinisme dipakai untuk orang yang mempunyai faham fanatisme sempit dan primordial, yang menganggap diri paling baik dan merendahkan kelompok atau orang lain.

Ketika kekristenan menembus batas Yudaisme dan menyentuh orang-orang di luar Yahudi menjadi masalah serius, khususnya bagi orang-orang Kristen yang sebelumnya berlatar belakan Yudaisme. Kita dapat menyaksikan betapa repotnya Petrus yang harus mempertenggungjawabkan baptisan yang dilakukannya terhadap Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10. Harus ada sidang di Yerusalem untuk menyelesaikan perkara ini (KPR 11) meskipun sebelumnya Petrus sendiri mengatakan, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.”(KPR.10:34). Sejak peristiwa Kornelius ketegangan antara Yahudi dan non Yahudi dalam komunitas Kristen alih-alih mereda, semakin menguat. Hal ini dapat kita telusuri dari surat-surat pastoral Paulus. Paulus sendiri mengklaim sebagai rasul bagi non Yahudi. Akibatnya, sering terjadi konflik.

Efesus tampaknya salah satu jemaat mayoritas non Yahudi yang pernah mengalami gesekan fanatisme Yudaisme. Kini, mereka, berkat pemberitaan Paulus menjadi percaya diri sebagai umat yang dikasihi Allah. Namun, keyakinan itu tidak lantas menjadi ekstrim primordial baru dan kemudian memusuhi orang-orang berlatar belakang Yudaisme. Untuk itu Paulus mengingatkan mereka tentang siapa jati diri mereka itu, “Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tidak bersunat oleh mereka yang mengatakan dirinya “bersunat”;…bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.”(Efesus 2:11,12). Di sini tampaknya Paulus memakai terminologi Yudaisme bahwa jemaat Efesus semula tidak mengenal kasih karunia Allah namun oleh karya Kristus mereka diselamatkan, sewajarnyalah mereka tidak berlaku arogan.

Selanjutnya Paulus mengingatkan mereka dalam hubungannya dengan saudara-saudara Yahudi. “Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus, kamu yang dahulu “jauh”, sudah menjadi ‘dekat’ oleh darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.(Ef.2:13-16). Seolah Paulus mengingatkan bahwa saat ini yang dipandang bukan lagi tradisi dan latar belakang masing-masing pihak yang berbeda, melainkan pandanglah salib Kristus sebagai karya kasih Allah yang mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya.
Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai sejahtera kepada kamu yang ‘dekat’, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk menuju Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah..” (Ef.2:17-19). Di dalam Tuhan tidak lagi ada orang asing dan diasingkan, semua adalah anggota-anggota keluarga Allah! Bagaimana sekarang gereja memberlakukan orang-orang? Sudahkah ramah terhadap semua orang? Atau kita lebih senang memilah kalangan tertentu saja dengan alasan lebih nyaman dan gampang diatur? Ternyata kalau ditelusur, minimal dari apa yang terungkap dalam surat pastoral Paulus (Efesus 2) yang menjadi pokok masalah dalam kehidupan gereja adalah setiap orang tidak mendapat perlakuan sebagai anggota-anggota keluarga Allah. Ada yang merasa sebagai “keluarga inti” dan kemudian mengganggap yang lain sebgai simpatisan saja! Akibatnya, orang yang merasa keluarga inti merasa paling berhak menentukan kehidupan pelayanan gereja.
Sering gereja menjadi lupa dengan mengurus dirinya sendiri dan membiarkan “kawanan” lain hidup dengan masalahnya sendiri. Mempersiapkan diri sebagai inti gereja untuk pelayanan yang lebih baik itu harus, tidaklah salah. Yesus sering membawa para murid yang telah menyelesaikan tugas mereka untuk retret, menjauh dari kerumunan orang. Namun, perhatikanlah bahwa hal itu bukan tugas utama mereka. Suatu ketika (Markus 6:30-34), Yesus membawa murid-murid retret dan menjauh dari orang banyak. Namun, tampaknya orang banyak tahu ke mana mereka pergi. Orang banyak itu terus mengejar mereka. Di sini, kepedulian Yesus muncul. Ia tidak marah oleh karena kenyamanan dengan para murid-Nya terusik. Sebaliknya, “Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajar banyak hal kepada mereka.”(ay.34). Selanjutnya, ketika hari sudah mulai malam dan murid-murid-Nya meminta Yesus menyuruh mereka pergi, alih-alih mendengar saran para murid, Yesus meminta para murid memberi mereka makan! Kepedulian Yesus membuat tidak ada lagi pembedaan antara duabelas murid dan mereka yang berbondong-bondong. Semua mendapat perlakuan sama dari Yesus!
Cinta kasih Yesus, yang di atasnya Gereja dibangun mestinya meneruskan kepedulian Yesus. Gereja harus terus memperjuangkan karya Yesus yang menembus sekat atau tembok. Mengapa Yesus meruntuhkan tembok-tembok pemisah itu? Ya, karena tembok-tembok itu akan menjauhkan manusia dari kasih Allah dan memisahkan manusia dari cinta kasih akan sesamanya. Jadi sangatlah mengherankan jika sekarang terjadi gereja membangun kembali sekat atau tembok pemisah yang dulu telah dihancurkan oleh Yesus dan para rasulnya. 
Pandanglah setiap orang sebagai anggota-anggota keluarga Allah, maka kita akan dapat memerlakukan mereka dengan semestinya seperti perlakuan Yesus pada setiap orang.