Pada setiap budaya, ras, etnis, bangsa, komunitas bahkan agama selalu
saja menganut sistem ketahiran. Sistem
itu akan memilah mana manusia yang dipandang mulia, bermartabat tinggi dan mana
yang digolongkan sebagai kelas pinggiran nan jelata. Masyarakat Yahudi
mengambil pusat ketahiran itu pada Bait Allah, semakin seseorang “dekat” dengan
Bait Allah, maka semakin dipandang sebagai orang mulia dan terhormat. Imam
besar, para imam dan kaum Lewi menduduki tempat terhormat, selanjutnya
suku-suku lain dalam komunitas Israel, itu pun masih dibedakan menurut gender,
usia, status sosial, atau pekerjaan yang mereka tekuni. Kemudian menyusul orang
asing yang memeluk agama Yahudi, proselite
Posisi paling buncit di tempat oleh orang asing, pemungut cukai, sida-sida dan
kelompok orang yang dinamakan pendosa. Tidaklah mengherankan kalau denah Bait
Allah pun ada sekat-sekat dari mulai ruang
mahakudus, ruang kudus, serambi perempuan, serambi orang asing dan
sebagainya.
Dalam sistem ketahiran Yahudi, Taurat dan buku kuningnya (Misnah, Talmud, dan Gemara: uraian-uraian Taurat
dan aplikasinya) sangat sulit memahami komunitas di luar Yahudi untuk mendapat
belas kasih dari Allah. JIka mereka menginginkannya, tidak ada jalan lain
kecuali mereka menjadi Yahudi. Jika orang asing itu menghendaki kasih karunia
TUHAN, mereka harus melakukan tata cara dan tradisi Yahudi. Keyakinan mereka
mengatakan bahwa Yahudilah umat istimewa dan karena itu mereka adalah umat
kesayangan Allah! Dalam peradaban modern pemahaman Yudaisme ini mirip-mirip Chauvinism. Nicolas Chouvin konon begitu
loyal terhadap Napoleon Bonaparte dan menganggapnya sebagai manusia super,
kaisar terbaik meskipun Napoleon sendiri telah dikalahkan dan dibuang ke pulau
St. Helena. Chauvinisme dipakai untuk orang yang mempunyai faham fanatisme
sempit dan primordial, yang menganggap diri paling baik dan merendahkan
kelompok atau orang lain.
Ketika kekristenan menembus batas Yudaisme dan menyentuh orang-orang di
luar Yahudi menjadi masalah serius, khususnya bagi orang-orang Kristen yang
sebelumnya berlatar belakan Yudaisme. Kita dapat menyaksikan betapa repotnya
Petrus yang harus mempertenggungjawabkan baptisan yang dilakukannya terhadap
Kornelius dalam Kisah Para Rasul 10. Harus ada sidang di Yerusalem untuk
menyelesaikan perkara ini (KPR 11) meskipun sebelumnya Petrus sendiri
mengatakan, “Sesungguhnya aku telah
mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.”(KPR.10:34). Sejak peristiwa
Kornelius ketegangan antara Yahudi dan non Yahudi dalam komunitas Kristen alih-alih
mereda, semakin menguat. Hal ini dapat kita telusuri dari surat-surat pastoral
Paulus. Paulus sendiri mengklaim sebagai rasul bagi non Yahudi. Akibatnya,
sering terjadi konflik.
Efesus tampaknya salah satu jemaat mayoritas non Yahudi yang pernah
mengalami gesekan fanatisme Yudaisme. Kini, mereka, berkat pemberitaan Paulus
menjadi percaya diri sebagai umat yang dikasihi Allah. Namun, keyakinan itu
tidak lantas menjadi ekstrim primordial baru dan kemudian memusuhi orang-orang
berlatar belakang Yudaisme. Untuk itu Paulus mengingatkan mereka tentang siapa
jati diri mereka itu, “Karena itu
ingatlah, bahwa dahulu kamu – sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging,
yang disebut orang-orang tidak bersunat oleh mereka yang mengatakan dirinya “bersunat”;…bahwa
waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak
mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan
dan tanpa Allah di dalam dunia.”(Efesus 2:11,12). Di sini tampaknya Paulus memakai
terminologi Yudaisme bahwa jemaat Efesus semula tidak mengenal kasih karunia
Allah namun oleh karya Kristus mereka diselamatkan, sewajarnyalah mereka tidak
berlaku arogan.
Selanjutnya Paulus mengingatkan mereka dalam hubungannya dengan
saudara-saudara Yahudi. “Tetapi sekarang
di dalam Kristus Yesus, kamu yang dahulu “jauh”, sudah menjadi ‘dekat’ oleh
darah Kristus. Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan
kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab
dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala
perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru
di dalam diri-Nya dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk
memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan
melenyapkan perseteruan pada salib itu.(Ef.2:13-16). Seolah Paulus
mengingatkan bahwa saat ini yang dipandang bukan lagi tradisi dan latar
belakang masing-masing pihak yang berbeda, melainkan pandanglah salib Kristus
sebagai karya kasih Allah yang mendamaikan manusia dengan Allah dan manusia
dengan sesamanya.
“Ia
datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ‘jauh’ dan damai
sejahtera kepada kamu yang ‘dekat’, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu
Roh beroleh jalan masuk menuju Bapa. Demikianlah kamu bukan lagi orang asing
dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan
anggota-anggota keluarga Allah..” (Ef.2:17-19). Di dalam Tuhan tidak lagi
ada orang asing dan diasingkan, semua adalah anggota-anggota keluarga Allah!
Bagaimana sekarang gereja memberlakukan orang-orang? Sudahkah ramah terhadap
semua orang? Atau kita lebih senang memilah kalangan tertentu saja dengan
alasan lebih nyaman dan gampang diatur? Ternyata kalau ditelusur, minimal dari
apa yang terungkap dalam surat pastoral Paulus (Efesus 2) yang menjadi pokok
masalah dalam kehidupan gereja adalah setiap orang tidak mendapat perlakuan
sebagai anggota-anggota keluarga Allah. Ada yang merasa sebagai “keluarga inti”
dan kemudian mengganggap yang lain sebgai simpatisan saja! Akibatnya, orang
yang merasa keluarga inti merasa paling berhak menentukan kehidupan pelayanan
gereja.
Sering gereja menjadi lupa dengan mengurus
dirinya sendiri dan membiarkan “kawanan” lain hidup dengan masalahnya sendiri.
Mempersiapkan diri sebagai inti gereja untuk pelayanan yang lebih baik itu
harus, tidaklah salah. Yesus sering membawa para murid yang telah menyelesaikan
tugas mereka untuk retret, menjauh
dari kerumunan orang. Namun, perhatikanlah bahwa hal itu bukan tugas utama
mereka. Suatu ketika (Markus 6:30-34), Yesus membawa murid-murid retret dan
menjauh dari orang banyak. Namun, tampaknya orang banyak tahu ke mana mereka
pergi. Orang banyak itu terus mengejar mereka. Di sini, kepedulian Yesus
muncul. Ia tidak marah oleh karena kenyamanan dengan para murid-Nya terusik.
Sebaliknya, “Ia melihat sejumlah besar
orang banyak, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan kepada mereka, karena
mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajar
banyak hal kepada mereka.”(ay.34). Selanjutnya, ketika hari sudah mulai
malam dan murid-murid-Nya meminta Yesus menyuruh mereka pergi, alih-alih
mendengar saran para murid, Yesus meminta para murid memberi mereka makan!
Kepedulian Yesus membuat tidak ada lagi pembedaan antara duabelas murid dan
mereka yang berbondong-bondong. Semua mendapat perlakuan sama dari Yesus!
Cinta kasih Yesus, yang di atasnya Gereja
dibangun mestinya meneruskan kepedulian Yesus. Gereja harus terus
memperjuangkan karya Yesus yang menembus sekat atau tembok. Mengapa Yesus
meruntuhkan tembok-tembok pemisah itu? Ya, karena tembok-tembok itu akan
menjauhkan manusia dari kasih Allah dan memisahkan manusia dari cinta kasih
akan sesamanya. Jadi sangatlah mengherankan jika sekarang terjadi gereja
membangun kembali sekat atau tembok pemisah yang dulu telah dihancurkan oleh
Yesus dan para rasulnya.
Pandanglah setiap orang sebagai
anggota-anggota keluarga Allah, maka kita akan dapat memerlakukan mereka dengan
semestinya seperti perlakuan Yesus pada setiap orang.