Kamis, 14 Mei 2015

DIKUDUSKAN DALAM KEBENARAN FIRMAN

Anthony de Mello pernah bercerita, kurang lebih begini: Di sebuah pantai dengan tebing terjal dan berbahaya, di tempat itu sering terjadi kapal karam. Dulu ada sebuah gardu penolong bagi orang yang mengalami kecelakaan. Gardu ini tidak lebih daripada gubug dan hanya ada satu perahu penolong saja. Namun, jangan ditanya orang-orang yang ada di gardu itu. Mereka adalah sekelompok orang yang begitu peduli; selalu siaga mengawal laut dengan tanpa memedulikan keamanan apalagi kenyamanan diri sendiri. Sering mereka ke luar dari gardu berhadapan dengan badai laut, jika ada tanda-tanda di suatu tempat ada kapal yang karam. Dengan caranya menjaga pantai dan mengawasi laut, banyak orang tertolong dari maut. Segera saja gardu tersebut menjadi mashur.

Ketika gardu menjadi semakin mashur, keinginan orang di sekitar gardu itu untuk menjadi anggota dalam karya mulia itu bertambah besar. Dengan rela mereka menyediakan waktu, tenaga dan uang, hingga setiap hari ada saja anggota baru diterima. Karena dana melimpah, kapal-kapal penolong terus bertambah dan awak-awak baru dilantik. Dengan mudah mereka membeli kapal-kapal itu. Gardu yang semula berbentuk gubug, kini dibongkar dan dibangun gedung permanen yang dapat layak mengurusi kebutuhan mereka yang diselamatkan dari laut dan, tentu saja karena karam kapal tidak setiap hari terjadi, tempat itu menjadi berkumpul yang disenangi orang. Di sana selalu terdengar cerita-cerita heroik penyelamat kapal karam.

Dengan berjalannya waktu, para anggota terlibat dalam kegiatan yang menyenangkan hati mereka. Sehingga mereka kurang berminat lagi menolong, meskipun seperti biasanya mereka menggunakan semboyan “penolong” pada tanda pengengalnya. Hari demi hari bergulir, sekarang setiap kali ada kapal karam dan diselamatkan dari laut, selalu saja merupakan peristiwa yang merepotkan. Kenyamanan mereka terganggu! Para korban itu kotor dan umumnya sakit. Mereka mengotori lantai berkarpet dan meja kursi.

Akhirnya, kegiatan sosial kelompok itu menjadi semakin banyak dan tugas penyelamatan kapal karam menciut, begitu sedikit. Beberapa anggota kelompok itu protes. Mereka menuntut pertemuan dan mendesak agar mereka harus kembali kepada misi semula. Apa yang terjadi? Voting dilakukan, apakah mereka akan kembali kepada misi semula atau tidak. Hasilnya, ternyata mereka yang menginginkan kembali kepada tugas penyelamatan hanya sedikit saja. Mereka kalah dan disuruh keluar dari kelompok itu dan memulai suatu yang lain.

Itulah yang mereka lakukan – sedikit jauh dari pantai mereka giat kembali tanpa pamrih dan dengan keberanian menolong sesamanya yang menghadapi maut. Hingga beberapa waktu, kepahlawanan mereka menjadi mashur. Lalu, keanggotaann mereka bertambah, gubug mereka dibangun lebih besar dan permanen. Namun, cita-cita luhur mereka menurun. Jika Anda mungkin mengunjungi tempat itu sekarang, Anda akan menemukan ada banyak kelompok khusus di sepanjang pantai. Mereka masing-masing wajar bangga dengan asal-mula dan tradisinya. Kapal karam masih terjadi di tempat itu, tetapi rupanya tidak ada orang terlalu memperhatikannya!

Berkaca dari kisah reflektif ini, dan membaca perjalanan gereja – yang kata NKB 111 – bagai bahtera   di lautan yang seram, ada kemiripannya. Gereja tidak dimulai dengan komunitas yang bombastis. Ia hadir dan dimulai oleh segelintir orang dengan keprihatinan meneruskan misi Kristus yakni, memujudnyatakan Kerajaan Allah. Segelintir orang ini dipersiapkan secara khusus oleh Yesus, mereka menjadi murid-murid yang pertama. Kini, berabad-abad telah berlalu, gereja hadir di mana-mana dan gereja terus disibukkan dengan pelbagai aktivitas yang selalu saja mengatasnamakan pelayanan. Yang satu menganggap lebih utama ketimbang yang lain. Kelompokku pasti lebih baik dan lebih benar dari kelompok “sana”. Hingga akhirnya tidak terhitung lagi jumlah aliran gereja, apalagi kegitannya. Pasti ada yang positif, gereja bisa hadir dipelbagai ras, golongan, status sosial, dan pelbagai kelompok. Namun, tidak sedikit pula hal negatif, gereja bisa lupa bahkan merusak nilai-nilai luhur Kerajaan Allah sebagai tujuan utama gereja ada. Dalam bahasa kisah de Mello, “kapal karam terjadi di tempat itu, tetapi rupanya tidak ada orang yang memperhatikannya!” Gereja asik dengan dirinya sendiri dan tidak mau peduli bahkan menutup mata terhadap kepedulian yang dulu Yesus kerjakan, sehingga tepatlah syair NKB 111:2,

Gereja bagai bahtera pun suka berhenti, 
tak menempuh samudera, tak ingin berjerih
dan hanya masa jayanya selalu dikenang,
tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam!
Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya,
tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkah.


Melihat kenyataan ini, pantaslah kalau sebelum kepergiaan-Nya, Yesus sungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya, agar para murid dikuatkan dalam menjalankan kesaksian di dunia ini. Dan mereka dipersatukan sama seperti diri-Nya dengan Sang Bapa. Sebelum mendoakan para murid, Yesus menyampaikan apa yang sudah dikerjakan-Nya di tengah-tengah para murid. Kepada mereka, Yesus sudah menyatakan nama Bapa. Itu artinya, segala firman yang sudah disampaikan Bapa kepada-Nya, tanpa disembunyikan sedikit pun, telah disampaikan kepada para murid. Tidak lagi ada rahasia; Yesus menyebut mereka sahabat, karena semua rahasia ilahi telah disampaikan kepada mereka.

Yesus membuka permohonan-Nya dengan mengatakan bahwa kini Ia akan kembali kepada Bapa dan tidak akan ada lagi bersama-sama dengan mereka di dunia ini. Para murid akan tetap tinggal di dunia ini. Yesus memohonkan bagi mereka agar Bapa memelihara/menjaga mereka di dalam nama-Nya supaya mereka menjadi satu sama seperti Anak dan Bapa adalah satu (Yoh.17:11). Yesus tahu bahwa dunia akan membenci mereka. Penderitaan dan pergumulan akan mereka alami. Yesus tidak meminta agar mereka diangkat dari dalam dunia ini atau dibebaskan dari banyak persoalan dan penderitaan, melainkan Ia meminta agar mereka dipelihara, dilindungi dan dikuatkan untuk menghadapi itu semua.

Selain itu, Yesus juga meminta kepada Bapa-Nya, agar mereka dikuduskan dalam kebenaran (Yoh.17:17-19). Yesus menyebut Allah sebagai Bapa yang kudus, Yesus juga disebut Yang Kudus dari Allah (Yoh.6:69). Bapa yang kudus, telah menguduskan Yesus dan mengutus-Nya ke dalam dunia (Yoh.10:36). Pada gilirannya, Yesus memohon agar para murid dikuduskan oleh Bapa untuk diutus ke dalam dunia. Pengudusan itu dimaksudkan agar para murid dapat melaksanakan mandat perutusan yang telah mereka terima dari Yesus

Apa yang dimaksud dengan pengudusan itu? Kata “kudus” diterjemahkan dari kata Yunani hagios artinya, berbeda atau terpisah, istimewa. Kata kerja dari hagios adalah hagiazein yang bermakna: memisahkan, mengkhususkan atau melengkapi seseorang dengan pelbagai kelengkapan untuk suatu tugas khusus. Dengan demikian Yesus memohon kepada Bapa-Nya, agar para murid, dikhususkan dan dilengkapi untuk dapat meneruskan pekerjaan yang telah dilakukan Yesus. Sama seperti Yesus pun telah dikhususkan dan dilengkapi oleh Sang Bapa. Yesus memohon agar Bapa menjaga supaya mereka mendedikasikan seluruh hidupnya bagi pelayanan kudus Allah di dunia ini. Dengan demikian, mereka tidak hanya akan selamat dari dunia yang membenci mereka, tetapi juga berhasil dalam menunaikan tugas ilahi itu.

Yesus telah berdoa bagi para murid, Ia pun telah mengutus mereka. Kita meyakini bahwa perutusan itu terus berlaku juga buat kita. Kita percaya bahwa doa Yesus pasti didengar oleh Bapa-Nya. Nah, sekarang tinggal giliran kita untuk mewujudkan doa Yesus itu, yakni dengan memelihara hidup kudus. Bagi setiap kita, di mana pun kita berada, Tuhan mempunyai rencana. Tuhan menguduskan kita agar Kerajaan-Nya menjadi nyata di dunia ini.

Rabu, 13 Mei 2015

KRISTUS YANG DIMULIAKAN ADALAH KRISTUS YANG MEMULIAKAN HARKAT KEMANUSIAAN


Sudah dapat diduga, gereja dan kita sebagai orang Kristen tidak menaruh bobot yang sama pada semua hari raya gerejawi. Hari ini (14 Mei 2015), kita merayakan Hari Kenaikan Yesus Kristus ke sorga. Tidak ada panitia khusus seperti panitia Natal. Kalau pun ada, biasanya kepanitiaan digabung ke dalam panitia Paskah. Benarkah Kenaikan Yesus ke sorga kurang berbobot dibanding Natal atau Paskah? Tidak benar! Semua hari raya gerejawi sama pentingnya. Hari Kenaikan Yesus menjadi penting oleh karena itulah momen terakhir sebelum Yesus kembali pada kemuliaan, tempat Dia berada sebelumnya. Alasan yang lain adalah, saat Ia kembali ke sorga – seolah seperti komamdan yang telah paripurna menunaikan tugasnya – Ia menyerahkan tongkat estapet kepada para pengikut-Nya. Yesus Kristus memuliakan, memberi kepercayaan kepada para murid-Nya agar dapat meneruskan apa yang sudah dikerjakan-Nya, yakni mewujudnyatakan Kerajaan Allah tidak hanya di Yerusalem, melainkan Yudea, Samaria bahkan sampai ke ujung-ujung bumi!

Pusat berita yang dibawa Yesus adalah Kerajaan Allah. Tema ini sering disalahpahami. Dulu, sesudah kebangkitan, para murid mendesak Yesus untuk mewujudnyatakan cita-cita mesianik mereka, “Maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?” (Kisah Rasul 1:6). Sampai penampakkan Yesus yang terakhir, para murid ini keukeuh dengan ide semula tentang konsep pengharapan mesianik yang akan memulihkan kembali kedigdayaan Israel. Sang Mesias harus segera menaklukan penguasa asing yang sedang menjajah Israel. Mesias ideal adalah mesias sang penakluk musuh dan menjadikan mereka penguasa baru yang mendominasi dunia. Seluruh bagian sejarah Israel membuktikan, bahwa secara logika nalar, ide menjadi penguasa yang mendominasi dunia ini tidaklah mungkin terjadi. Mengapa? Palestina adalah sebuah negara kecil. Tidak lebih dari 120 mil panjangnya dan 40 mil lebarnya. Negeri ini merdeka tetapi kemudian telah menjadi bagian dari kerajaan Bebel, Persia, Yunani dan Romawi. Oleh karenanya, orang Yahudi mengharapkan suatu “mujizat”, suatu saat nanti, di mana Allah akan memasuki sejarah manusia secara langsung dan saat itulah dengan kekuatan-Nya akan menciptakan kedaulatan dunia yang mereka impikan. Mereka memahami kerajaan itu secara politis. Jelas, hal ini berbeda dengan konsen dan keprihatinan Yesus.

Andaikan benar, apa yang menjadi impian setiap orang Yahudi, termasuk di dalamnya murid-murid Yesus, yakni Israel dipulihkan dan menjadi kerajaan yang mendominasi dunia, pastilah prilaku manusia sebagai penindas tidak akan terhindarkan. Israel akan sama seperti Babel, Persia, Yunani, dan Romawi! Mereka kan memperlakukan bangsa-bangsa asing (qoyyim) sebagai manusia-manusia kelas dua. Cita-cita Kerajaan Allah yang memuliakan martabat manusia hanya akan dirasakan oleh sekelompok orang yang merasa dirinya umat pilihan saja. Tidak untuk semua manusia! Ternyata, bukan saja Yesus tidak setuju dengan konsep itu, tetapi juga Ia menolaknya!

Bagaimana pemahaman Yesus tentang Kerajaan itu? William Barclay, mengajak kita melihat dari “Doa Bapa Kami”. Dalam doa ini ada dua petisi yang berdampingan: “Datanglah Kerajaan-Mu; Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Menurut karakteristik Ibrani, sama seperti syair-syair dalam Mazmur, bila ada dua syair yang mengambil bentuk paralel, maka yang kedua akan menguatkan syair yang pertama. Demikian juga dengan dua petisi dalam Doa Bapa Kami ini. Petisi atau kalimat kedua merupakan arti dari kalimat pertama. Dengan demikian kita dapat memahami bahwa yang dimaksudkan Yesus dengan Kerajaan Allah ialah suatu masyarakat di dunia ini, di mana kehendak Allah akan terjadi secara sempurna, seperti di sorga. Oleh karena itu, nyata sekali bahwa Kerajaan itu bukan didasari oleh kekuasaan atau kekuatan militer, melainkan oleh kasih. Nah, jalan satu-satunya mewujudkan itu telah Yesus mulai dengan hidup, pelayanan, bahkan pengorbanan nyawa-Nya sendiri di kayu salib. Kini, tugas-Nya telah selesai dan Ia mempercayakan kelanjutan-Nya kepada semua orang yang percaya dan mengikuti-Nya.

Sama seperti dulu Yesus menjalaninya. Tidak mudah! Maka untuk mencapai hal itu manusia membutuhkan pertolongan Roh Kudus. Yesus meminta mereka untuk tetap tinggal di Yerusalem sampai mereka semua dilengkapi dengan kekuasan dari tempat tinggi (Lukas 24:49). Barulah setelah mereka menerima kuasa Roh Kudus itu mereka akan dimampukan menjalani dan melanjutkan apa yang telah dirintis Yesus.

Roh Kudus mengambil peran penting dalam menopan kesaksian para murid. Kita sering menyebut Roh Kudus sebagai Penghibur (Comforter). Konon kata itu berasal dari Wycliff; tetapi pada jaman Wycliff kata comforter mempunyai pengertian berbeda. Kata itu berasal dari kata Latin fortis, yang berati “berani”; Comforter adalah figur yang mengisi manusia dengan keberanian dan kekuatan. Dengan demikian Roh Kudus berperan bukan hanya ketika ada orang yang sedih, berduka, kehilangan kemudian dihibur. Melainkan jauh di atas itu, yakni: seseorang yang dalam keadaan terpuruk  diberikan keberanian dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan ini. Jika peran itu diterapkan pada konteks kesaksian para murid dalam meneruskan karya Yesus, berarti: Roh Kudus memberikan keberanian dan kekuatan kepada para murid dalam menjalankan dan meneruskan misi Kristus di dunia ini.

Kita sering mendengar kata “menjadi saksi Kristus”, apa sebenarnya yang diinginkan Kristus? Apakah hanya bermakna membuat sebanyak-banyaknya orang menjadi Kristen, sehingga dunia ini didominasi oleh orang Kristen? Koq, kalau seperti ini mirip dengan perjuangan triumpalistik Israel yang ingin mendominasi dunia. Dan untuk maksud itu Yesus sudah menolaknya. Mestinya, ada yang lebih mendasar dan mendalam dari itu. Mari kita mencatat beberapa hal yang pasti tentang saksi Kristen:

Pertama, saksi adalah seseorang yang mengatakan, “Saya tahu ini adalah benar.” Di pengadilan seseorang tidak boleh memberikan bukti atau kesaksian hanya dengan suatu cerita saja. Bukti kesaksian haruslah merupakan mengalaman pribadinya. Banyak orang-orang yang ingin bersaksi tentang Kristus yang hanya meneruskan cerita-cerita orang lain dan sangat disayangkan bahwa cerita-cerita itu sering kali jauh dari fakta. Kita yang mendengarnya cenderung menganggukkan kepala tanda setuju, ketimbang mau menelusuri kebenarannya. Orang yang menjadi saksi Kristus harus orang yang mengalami perjumapaan dengan-Nya, mengalami sentuhan kasih-Nya sehingga kesaksiannya menjadi otentik dan bukan karangan saja. 

Kedua, seorang saksi yang benar tidak hanya melalui perkataannya saja, melainkan dengan perbuatannya. Ada dua orang murid katekisasi yang bukan dari keluarga Kristen. Mereka bekerja  pada sebuah keluarga, lalu suatu hari memutuskan untuk mau mengikut Yesus. Sebelum kelas katekisasi dimulai, saya bertanya kepada mereka, “Apa yang membuat Anda mau menjadi pengikut Tuhan?” Mereka menjawab, “Kami bekerja pada sebuah keluarga Kristen. Mereka tidak pernah mengajak apalagi memaksa kami menjadi Kristen. Namun, kehidupan mereka begitu indah, tutur kata dan prilakunya benar-benar membuat kami dihargai dan kami dicintai. Kami ingin seperti mereka: hidup damai, tidak memandang rendah orang lain dan mengasihi dengan tulus. Jelas, keluarga Kristen ini telah mengangkat harkat pegawainya sebagai manusia yang layak dikasihi dan menerima cinta kasih Tuhan. Begituah sebenarnya Tuhan mau kita menjadi saksi dalam meneruskan berita Kerajaan Allah dengan cara meneruskan cinta kasih dan kepedulian Yesus. Selamat Hari Kenaikan Tuhan Yesus Ke Sorga, dan Selamat melanjutkan misi Yesus di dunia ini!