Anthony de Mello pernah bercerita, kurang lebih begini: Di sebuah pantai
dengan tebing terjal dan berbahaya, di tempat itu sering terjadi kapal karam.
Dulu ada sebuah gardu penolong bagi orang yang mengalami kecelakaan. Gardu ini
tidak lebih daripada gubug dan hanya ada satu perahu penolong saja. Namun,
jangan ditanya orang-orang yang ada di gardu itu. Mereka adalah sekelompok
orang yang begitu peduli; selalu siaga mengawal laut dengan tanpa memedulikan
keamanan apalagi kenyamanan diri sendiri. Sering mereka ke luar dari gardu
berhadapan dengan badai laut, jika ada tanda-tanda di suatu tempat ada kapal
yang karam. Dengan caranya menjaga pantai dan mengawasi laut, banyak orang
tertolong dari maut. Segera saja gardu tersebut menjadi mashur.
Ketika gardu menjadi semakin mashur, keinginan orang di sekitar gardu
itu untuk menjadi anggota dalam karya mulia itu bertambah besar. Dengan rela
mereka menyediakan waktu, tenaga dan uang, hingga setiap hari ada saja anggota
baru diterima. Karena dana melimpah, kapal-kapal penolong terus bertambah dan
awak-awak baru dilantik. Dengan mudah mereka membeli kapal-kapal itu. Gardu
yang semula berbentuk gubug, kini dibongkar dan dibangun gedung permanen yang
dapat layak mengurusi kebutuhan mereka yang diselamatkan dari laut dan, tentu
saja karena karam kapal tidak setiap hari terjadi, tempat itu menjadi berkumpul
yang disenangi orang. Di sana selalu terdengar cerita-cerita heroik penyelamat
kapal karam.
Dengan berjalannya waktu, para anggota terlibat dalam kegiatan yang
menyenangkan hati mereka. Sehingga mereka kurang berminat lagi menolong,
meskipun seperti biasanya mereka menggunakan semboyan “penolong” pada tanda
pengengalnya. Hari demi hari bergulir, sekarang setiap kali ada kapal karam dan
diselamatkan dari laut, selalu saja merupakan peristiwa yang merepotkan. Kenyamanan
mereka terganggu! Para korban itu kotor dan umumnya sakit. Mereka mengotori
lantai berkarpet dan meja kursi.
Akhirnya, kegiatan sosial kelompok itu menjadi semakin banyak dan tugas
penyelamatan kapal karam menciut, begitu sedikit. Beberapa anggota kelompok itu
protes. Mereka menuntut pertemuan dan mendesak agar mereka harus kembali kepada
misi semula. Apa yang terjadi? Voting dilakukan, apakah mereka akan kembali
kepada misi semula atau tidak. Hasilnya, ternyata mereka yang menginginkan
kembali kepada tugas penyelamatan hanya sedikit saja. Mereka kalah dan disuruh
keluar dari kelompok itu dan memulai suatu yang lain.
Itulah yang mereka lakukan – sedikit jauh dari pantai mereka giat
kembali tanpa pamrih dan dengan keberanian menolong sesamanya yang menghadapi
maut. Hingga beberapa waktu, kepahlawanan mereka menjadi mashur. Lalu,
keanggotaann mereka bertambah, gubug mereka dibangun lebih besar dan permanen.
Namun, cita-cita luhur mereka menurun. Jika Anda mungkin mengunjungi tempat itu
sekarang, Anda akan menemukan ada banyak kelompok khusus di sepanjang pantai.
Mereka masing-masing wajar bangga dengan asal-mula dan tradisinya. Kapal karam
masih terjadi di tempat itu, tetapi rupanya tidak ada orang terlalu
memperhatikannya!
Berkaca dari kisah reflektif ini, dan membaca perjalanan gereja – yang kata
NKB 111 – bagai bahtera di lautan yang
seram, ada kemiripannya. Gereja tidak dimulai dengan komunitas yang bombastis.
Ia hadir dan dimulai oleh segelintir orang dengan keprihatinan meneruskan misi
Kristus yakni, memujudnyatakan Kerajaan Allah. Segelintir orang ini
dipersiapkan secara khusus oleh Yesus, mereka menjadi murid-murid yang pertama.
Kini, berabad-abad telah berlalu, gereja hadir di mana-mana dan gereja terus
disibukkan dengan pelbagai aktivitas yang selalu saja mengatasnamakan
pelayanan. Yang satu menganggap lebih utama ketimbang yang lain. Kelompokku
pasti lebih baik dan lebih benar dari kelompok “sana”. Hingga akhirnya tidak
terhitung lagi jumlah aliran gereja, apalagi kegitannya. Pasti ada yang
positif, gereja bisa hadir dipelbagai ras, golongan, status sosial, dan
pelbagai kelompok. Namun, tidak sedikit pula hal negatif, gereja bisa lupa
bahkan merusak nilai-nilai luhur Kerajaan Allah sebagai tujuan utama gereja
ada. Dalam bahasa kisah de Mello, “kapal karam terjadi di tempat itu, tetapi
rupanya tidak ada orang yang memperhatikannya!” Gereja asik dengan dirinya
sendiri dan tidak mau peduli bahkan menutup mata terhadap kepedulian yang dulu
Yesus kerjakan, sehingga tepatlah syair NKB 111:2,
Gereja
bagai bahtera pun suka berhenti,
tak menempuh samudera, tak ingin berjerihdan hanya masa jayanya selalu dikenang,
tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam!
Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya,
tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkah.
Melihat kenyataan ini, pantaslah kalau sebelum kepergiaan-Nya, Yesus
sungguh-sungguh berdoa kepada Bapa-Nya, agar para murid dikuatkan dalam
menjalankan kesaksian di dunia ini. Dan mereka dipersatukan sama seperti
diri-Nya dengan Sang Bapa. Sebelum mendoakan para murid, Yesus menyampaikan apa
yang sudah dikerjakan-Nya di tengah-tengah para murid. Kepada mereka, Yesus
sudah menyatakan nama Bapa. Itu artinya, segala firman yang sudah disampaikan
Bapa kepada-Nya, tanpa disembunyikan sedikit pun, telah disampaikan kepada para
murid. Tidak lagi ada rahasia; Yesus menyebut mereka sahabat, karena semua
rahasia ilahi telah disampaikan kepada mereka.
Yesus membuka permohonan-Nya dengan mengatakan bahwa kini Ia akan
kembali kepada Bapa dan tidak akan ada lagi bersama-sama dengan mereka di dunia
ini. Para murid akan tetap tinggal di dunia ini. Yesus memohonkan bagi mereka
agar Bapa memelihara/menjaga mereka di dalam nama-Nya supaya mereka menjadi
satu sama seperti Anak dan Bapa adalah satu (Yoh.17:11). Yesus tahu bahwa dunia
akan membenci mereka. Penderitaan dan pergumulan akan mereka alami. Yesus tidak
meminta agar mereka diangkat dari dalam dunia ini atau dibebaskan dari banyak
persoalan dan penderitaan, melainkan Ia meminta agar mereka dipelihara,
dilindungi dan dikuatkan untuk menghadapi itu semua.
Selain itu, Yesus juga meminta kepada Bapa-Nya, agar mereka dikuduskan
dalam kebenaran (Yoh.17:17-19). Yesus menyebut Allah sebagai Bapa yang kudus,
Yesus juga disebut Yang Kudus dari Allah (Yoh.6:69). Bapa yang kudus, telah
menguduskan Yesus dan mengutus-Nya ke dalam dunia (Yoh.10:36). Pada gilirannya,
Yesus memohon agar para murid dikuduskan oleh Bapa untuk diutus ke dalam dunia.
Pengudusan itu dimaksudkan agar para murid dapat melaksanakan mandat perutusan
yang telah mereka terima dari Yesus
Apa yang dimaksud dengan pengudusan itu? Kata “kudus” diterjemahkan dari
kata Yunani hagios artinya, berbeda
atau terpisah, istimewa. Kata kerja dari hagios
adalah hagiazein yang bermakna: memisahkan,
mengkhususkan atau melengkapi seseorang dengan pelbagai kelengkapan untuk suatu
tugas khusus. Dengan demikian Yesus memohon kepada Bapa-Nya, agar para murid,
dikhususkan dan dilengkapi untuk dapat meneruskan pekerjaan yang telah
dilakukan Yesus. Sama seperti Yesus pun telah dikhususkan dan dilengkapi oleh
Sang Bapa. Yesus memohon agar Bapa menjaga supaya mereka mendedikasikan seluruh
hidupnya bagi pelayanan kudus Allah di dunia ini. Dengan demikian, mereka tidak
hanya akan selamat dari dunia yang membenci mereka, tetapi juga berhasil dalam
menunaikan tugas ilahi itu.
Yesus telah berdoa bagi para
murid, Ia pun telah mengutus mereka. Kita meyakini bahwa perutusan itu terus
berlaku juga buat kita. Kita percaya bahwa doa Yesus pasti didengar oleh
Bapa-Nya. Nah, sekarang tinggal giliran kita untuk mewujudkan doa Yesus itu,
yakni dengan memelihara hidup kudus. Bagi setiap kita, di mana pun kita berada,
Tuhan mempunyai rencana. Tuhan menguduskan kita agar Kerajaan-Nya menjadi nyata
di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar