Jumat, 01 Mei 2015

MELEKAT PADA KRISTUS

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata “melekat” dengan, benar-benar menempel sehingga tidak mudah lepas; karib sekali; tertanam; tetap terpaku pada…; terpaut. Maka kalimat “Melekat pada Kristus” dapat kita artikan, “Benar-benar menempel pada Kristus sehingga tidak mudah lepas”, “Bergaul karib sekali dengan Kristus”, “Tertanam di dalam Kristus”, “Tetap terpaku pada Kristus”, “Hatinya selalu terpaut pada Kristus”. Mengapa kita harus benar-benar menempel, bergaul karib sekali, tertanam, terpaku dan selalu terpaut pada Kristus?

Akulah pokok anggur yang benar…demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku.” (Yoh. 15:1a, 4b). Itulah alasannya! Yesus menyatakan diri-Nya sebagai pokok anggur dengan kualifikasi “yang benar”. Apa artinya? Yesus menjamin, barangsiapa yang tinggal (dalam pemahaman melekat) kepada-Nya sudah pasti akan menghasilkan buah. Namun, kata “yang benar” juga dapat mengindikasikan bahwa ada pokok anggur yang tidak benar. Yesus menyatakan diri pokok anggur άλέθένοσ, artinya : benar, sungguh-sungguh, asli, tulen di tengah-tengah kenyataan bahwa gambaran pokok anggur di Israel hanya digunakan dalam konotasi jelek.

Dalam Perjanjian Lama, Israel sering digambarkan sebagai pokok anggur dan kebun anggur Allah. “Kebun anggur Tuhan adalah rumah Israel” (Yes 5:1-7). “Namun, AKu telah membuat engkau tumbuh sebagai pokok anggur pilihan” (Yer 2:21). Yehezkiel juga menggambarkan Israel sebagai pokok anggur ( Yeh. 19:10) Hal serupa dicatat pula dalam Hosea 10:1, Mazmur 80:9). Namun, sangatlah mengherankan bahwa dalam Perjanjian Lama, metafor kebun anggur dan pokok anggur digunakan dalam pengertian degeneratif. Dalam gambaran Yesaya, kebun anggur itu telah menjadi liar. Yeremia mengeluh bahwa umat Allah telah berubah menjadi pokok anggur yang telah menjadi rusak dan liar.” Berdasarkan kenyataan ini, William Barclay menafsirkan: Seolah-olah Yesus hendak mengatakan, “Kamu pikir bahwa kamu adalah keturunan Israel maka kamu menganggap diri sebagai ranting dari pokok anggur yang benar dari Allah. Padahal, seperti para nabi terdahulu mengatakan bahwa kamu adalah kebun anggur liar yang telah rusak. Aku inilah pokok anggur yang benar. Kenyataan bahwa dirimu adalah orang Yahudi, hal itu tidak akan menyelamatkan engkau. Satu-satunya yang dapat menyelamatkan kamu ialah mempunyai hubungan persekutuan yang erat (baca: melekat) dengan Aku, karena Akulah pokok anggur yang benar dan kamu haruslah merupakan ranting-ranting yang dihubungkan dengan Aku.” Yesus menekankan bukan darah Yahudi, tetapi iman kepada-Nya itulah jalan menuju kepada keselamatan dari Allah.

Dalam gambaran tentang “pokok anggur” ini, Yesus mau mengatakan bahwa tidak ada hal otomatis dalam kehidupan beriman. Orang tidak cukup asal percaya saja atau punya garis keturunan tertentu lalu dengan demikian menjamin dirinya pasti selamat. Atau cukup satu kali menerima firman dan menyatakan pertobatan. Lebih jauh, Yesus mengingatkan bahwa kehidupan yang berbuah itu tidak cukup hanya sekedar “tinggal” di dalam Yesus. Melainkan terus-menerus tinggal dalam Yesus (baca: arti kata melekat pada Yesus). Penomena yang ada, sering orang merasa puas hanya datang dan mendengar firman Tuhan seminggu sekali, sebulan sekali atau setahun sekali. Bagaimana mungkin firman-Nya bisa tinggal dan menetap? Ibarat ranting anggur yang hanya sesekali dapat nutrisi dari pokoknya akan mudah mengering. Ranting semacam ini pada saatnya akan dipotong, dibuang dan dibakar karena tidak ada gunanya lagi. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang benar-benar tinggal/melekat pada Kristus, yang selalu menyimpan, hatinya terpaut dan terarah kepada firman-Nya. Nutrisi akan terus mengalir, orang seperti ini akan menjadi ranting yang berbuah lebat. Dalam hal ini, Yesus mengambarkan diri-Nya sebagai pokok anggur yang mengalirkan kehidupan pada setiap ranting.

Yesus menyatakan bahwa para murid yang ada di hadapan-Nya memang sudah bersih karena firman yang telah dikatakan-Nya kepada mereka. Bersih berarti terbebas dari hambatan untuk menghasilkan buah. Ketika ranting-ranting mulai berdaun dan berbunga, pekerja akan membersihkan dengan jalan memotong ranting-ranting kecil yang diperkirakan akan mengganggu pertumbuhan ranting itu. Dengan begitu, ranting yang memiliki buah akan bisa tumbuh dengan nutrisi memadai. Dalam kehidupan orang percaya pun kadang Tuhan “memangkas” apa yang tidak diperlukan dalam hidup kita, supaya pertumbuhan kita menjadi fokus. Bisa jadi saat pemangkasan itu kita berteriak kesakitan. Kita merasa ada yang hilang dan tercerabut dalam kehidupan kita. Namun, dari sudut pandang “Si pemangkas”, ada tujuan baik, yakni semakin berbuah lebat. Ada banyak contoh orang Kristen yang “dipangkas” kemudian semakin berbuah lebat melalui kesaksian hidupanya. Entah itu karena sakit berat, ditinggalkan oleh orang-orang terkasih, tertekan dengan situasi dan lain sebagainya. Namun, justeru situasi itu tidak membuat mereka “mati” melainkan semakin merambat dan menghasilkan buah-buah bagi kesaksian nama Tuhan.

Pernyataan Yesus tentang pokok anggur diakhiri dengan sebuah perintah, “Tinggalah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” Tema tinggal di dalam Yesus merupakan tema penting dalam Injil Yohanes, dalam bagian ini, Yohanes tujuh kali mengulang kata itu. Yang menarik, Yohanes menggunakan kata ini dalam bentuk aorist imperative :μεινατη bentuk ini biasanya dipergunakan kalau seseorang memerintahkan kepada orang lain untuk memulai sesuatu. Misalnya, “Makanlah!”. Orang yang diperintah saat itu belum sama sekali makan. Bagaiman perintah “tinggallah di dalam Aku” padahal para murid sudah ada bersama-sama dengan Yesus? Kalau maksudnya adalah “teruslah tinggal bersama Aku” atau “tetaplah tinggal bersama dengan Aku!” Itu dapat kita mengerti.

Perintah dalam bentuk aorist ini memperkuat suasana perpisahan yang akan segera dialami oleh para murid. Peristiwa kepergian Yesus akan menentukan kehidupan para murid. Maka perintah untuk tinggal di dalam Yesus bukan hanya perintah untuk tetap tinggal, tetapi perintah untuk membuat keputusan baru tentang pilihan mereka untuk mengikut Yesus. Sebagai murid, mereka memang telah tinggal bersama Yesus, tetapi ada Yudas Iskaryot yang memilih meninggalkan Yesus. Di Galilea kelak, ada banyak murid yang meninggalkan Yesus dan tidak lagi mengikuti Dia. Sekarang di hadapan Yesus yang akan meninggalkan mereka itu, mereka harus membuat keputusan tegas, seolah-olah sebuah keputusan baru: tinggal dalam Yesus atau meninggalkan Yesus.

Setiap hari, setiap saat menuntut kita membuat keputusan, apakah mengikuti suara Yesus yang membuat kita tetap tinggal di dalam-Nya, ataukah kita memilih melupakan-Nya, ketika keuntungan sudah terbayang di benak kita. Kita tidak akan cukup kuat untuk memutuskan tetap tinggal di dalam-Nya jika saja hidup persekutuan kita asal-asalan. Sama seperti sepasang kekasih, kalau di hati mereka tetap terpaut, selalu terbayang wajahnya, dan terngiang suaranya, maka mereka tidak akan mudah dipisahkan, sekalipun godaan menggiurkan ada di depan mata mereka. Sebaliknya, kita dapat menduga kalau hubungan kasih itu tidak cukup melekat, penghianatan pun tinggal tunggu waktunya.

Yesus tidak hanya memerintahkan kepada mereka untuk tinggal di dalam Dia, tetapi juga menyakinkan mereka bahwa Ia akan tinggal di dalam mereka. Dalam kesatuan itu, para murid akan menerima aliran hidup dari Yesus yang memungkinkan mereka akan berbuah. Buah seperti apa yang dihasilkan dalam hubungan erat dengan Kristus? Kalau mengacu kepada perikop setelah pembicaraan pokok anggur yang benar adalah tentang perintah saling mengasihi. Jadi, tidak lain hubungan yang erat melekat dengan Kristus itu akan menghasilkan buah cinta kasih. Cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama. Buah yang benar adalah cinta kasih yang benar, jauh dari kepura-puraan. Cinta kasih yang membebaskan dari segala bentuk ketakutan.
 
Buah yang benar itu tidak hanya sekedar ucapan di bibir bahwa saya mengasihi Allah. Buah yang otentik benar adalah nyata dari wujud cinta itu, yakni  mengasihi sesama dengan tulus, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.” (1 Yohanes 4:20). 

Sudahkah kita berbuah? Jika belum, berati ada hubungan yang harus dibereskan dengan Kristus. Jika sudah, maukah kita terus berbuah? Jangan marah ketika Tuhan “memangkas” kita, itu semata untuk kebaikan kita!

Kamis, 23 April 2015

HIDUP BERKELIMPAHAN BERSAMA KOMUNITAS

Roxy Mas identik dengan telepon genggam, setidaknya sampai tahun 2010. Namun, setelah itu, ITC Roxy Mas dan Roxy Square di Jalan Kyai Tapa, Jakarta Barat, lebih dikenal sebagai sentra aksesoris atau suku cadang ponsel. Pembeli biasanya penjual eceran yang datang dari pelbagai peloksok tanah air. Sebagian besar aksesoris yang dijual merupakan barang-barang buatan Tiongkok. Pembeli tinggal memilih barang dengan tingkat kualitas yang berbeda. Para pedagang dan pembeli punya istilah sendiri untuk menandai tingkat kualitas sebuah barang. Istilah yang mereka pergunakan adalah “KW satu”, “KW dua”, “Ori Tiongkok”, “Ori 99 persen”, sampai “Ori 100 persen”, padahal kesemua jenis barang tersebut buatan Tiongkok!

Kawasan Roxy bukan hanya terkenal dengan aksesoris atau suku cadang ponsel, tetapi juga ponsel rekon (rekondisi). Ponsel rekon adalah ponsel yang sudah pernah dipakai atau cacat produksi, kemudian diganti beberapa suku cadangnya sehingga terlihat baru. Bagi mereka yang awam akan sangat sulit membedakan mana ponsel rekondisi dan mana yang orisinal. Salah satu cara membedakannya adalah dengan memeriksa timer pada mesin ponsel. Namun, timer pun dapat dihapus. Satu-satunya cara mengetahui mana yang asli dan mana yang palsu adalah ketika diuji kinerjanya. Pada batas-batas normal, ponsel palsu dan ponsel orisinal menunjukkan kinerja yang sama. Namun, setelah “dibebani” pada batasan ekstrim sesuai dengan spesifikasi yang tertera di label kemasan, barulah akan tampak; ponsel rekondisi atau palsu kedodoran bahkan mulai error. Jadi, berhati-hatilah membeli produk, tidak hanya ponsel, melainkan semua barang. Patokannya jangan asal murah dan melihat penampilan luarnya saja. Periksalah, apakah dikeluarkan dan diedarkan oleh jaringan resmi produk tersebut dan disertai jaminan garansi. Bukan sekedar garansi toko, melainkan jaringan garansi nasional bahkan internasional.

Di dunia ini, hampir semua produk bermutu ditiru. Mengapa? Suatu produk ditiru atau dipalsukan sebenarnya si pemalsu mengakui ada nilai atau kualitas yang terkandung dalam produk itu. Kemudian banyak orang yang ingin memilikinya, namun harganya terlampau mahal. Maka jadilah produk itu ditiru agar bisa dengan mudah orang membeli dan memilikinya. Tidak hanya produk barang, profesi seseorang pun dapat ditiru. Maka ada istilah “polisi gadungan, hakim gadungan, dokter gadungan, pejabat gadungan, dan lain sebagainya gadungan”.

Demikian juga dengan profesi gembala. Yesus melihat ada gembala yang benar-benar gembala tetapi juga ada sekedar gembala upahan. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Gembala yang baik (Yohanes 10:11). Apa yang membedakan seorang gembala sejati dengan orang yang diupah menjadi gembala? Secara singkat Yesus menyebutkan bahwa Gembala yang baik mengenal domba-dombanya. Sebaliknya, domba-dombanya mengenal gembala itu juga dengan baik. Pernyataan ini memiliki latar belakang Perjanjian Lama. Yang perlu dicermati adalah kata “mengenal” (Ibrani : Yadah). Mengenal tidak sama dengan tahu secara kognitif, melainkan termaktub di dalamnya memiliki, membawa ke dalam persatuan. Dalam pemakaiannya kata mengenal berarti : orang yang mengenal akan melibatkan hidupnya dalam hidup orang yang dikenalnya. Hubungan suami-isteri adalah hubungan “kenal” bukan sekedar “tahu”. Saya mengenal isteri saya, itu berarti saya mau membuka diri, melibatkan seluruh hidup dan kepentingan saya terhadap isteri saya. Jika Allah mengenal umat-Nya, itu berarti, Allah mau menjadikan mereka sebagai umat kepunyaan-Nya, membawa mereka masuk ke dalam dekapan-Nya, menjamin kehidupan mereka, dan memanggil mereka ke dalam pelayanan-Nya.

Sebaliknya, jika dikatakan umat mengenal Allah, itu berarti mengenal Allah sebagai Allah mereka, menyadari diri dan membawa diri sebagai orang-orang yang dipilih Allah, dan mau terus hidup terlibat dalam rencana-Nya ditunjukkan dengan sikap ketaatan. Singkat kata, mengenal berarti mengasihi!

Ketika Yesus mempergunakan gambaran ini, Ia menampilkan di dalam diri-Nya sendiri relasi antara Allah dan umat-Nya. Sama seperti Ia mengenal domba-domba-Nya, Allah juga mengenal diri-Nya. Dari sanalah, Yesus bisa mengatakan bahwa Ia adalah pintu dan gembala bagi domba-domba. Yesus menggunakan gambaran itu untuk memerlihatkan bahwa Bapa mengenal dan mengutus-Nya kepada manusia. Ia harus menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya. Tidak seorang pun dapat mengambilnya, tetapi Ia memberikan Nyawa-Nya menurut kehendak-Nya. Dengan kata lain, Allah memenuhi janji untuk mengutus gembala bagi umat-Nya dengan mengirim Sang Gembala Baik ke tengah-tengah mereka. Sang Gembala Baik akan membawa umat untuk mendengar suara Allah dan mengenal-Nya.

Kisah berikut menolong kita, apakah sebagai domba gembalaan-Nya, kita hanya sekedar tahu ataukah kita sudah mengenal Sang Gembala Agung kita? Dikisahkan sesudah jamuan makan malam dalam sebuah pesta yang diadakan oleh kalangan artis Hollywood, seorang artis terkenal menyuguhkan hiburan kepada para tamu dengan membacakan sajak-sajak karya Shakespeare. Sebagai selingan ia meminta kepada para tamu untuk mengajukan sebuah pertanyaan atau permintaan. Seorang Pastor tua yang pemalu bertanya apakah si artis tahu Mazmur 23. Sang Artis menjawab, “Ya, saya tahu, dan saya akan mendaraskannya dengan satu syarat, yaitu: apabila saya telah mendaraskan Mazmur 23 tersebut, engkau harus mengulanginya.”

Sang Pastor mengangguk tanda sepakat dengan tawaran itu. Dengan gaya yang menawan, mendaraskan Mazmur 23 yang berbunyi, “Tuhan Gembalaku yang baik, aku takkan kekurangan sesuatu.....” Ketika si artis itu selesai mengucapkan seluruh Mazmur 23, para tamu memberikan tepuk tangan sambutan yang meriah dan sekarang tibalah giliran sang pastor. Pastor itu berdiri dan mengucapkan kata-kata yang sama, tetapi ia tidak mendapat sambutan. Malah suasana menjadi hening dan air mata mulai menetes dari setiap mata para tamu. Si artis berdiam sejenak. Kemudian ia segera berdiri dan berkata, “Hadirin sekalian yang saya hormati. Saya harap Anda sekalian menyadari apa yang telah terjadi pada malam ini. Saya tahu dan hafal kata-kata dari Mazmur ini, tetapi Pastor ini tahu dan mengenal Sang Gembala itu.

Berbeda dengan gembala sejati , seorang yang diupah menjadi gembala, mungkin dalam kondisi normal tidak terlihat bedanya. Ia merawat dan menjaga dombanya. Tetapi dalam keadaan ekstrim, gembala bayaran ini segera lari tunggang-langgang ketika diperhadapkan dengan ancaman perampok atau binatang buas. Siapa gerangan orang-orang upahan ini? Yang dimaksud Yesus dengan orang-orang upahan itu pertama-tama tidak menunjuk pada orang-orang tertentu, seperti para pemimpin Yahudi, tetapi menunjuk kepada orang yang tidak memiliki ikatan erat dengan domba-domba.

Dalam dunia peternakan, orang-orang yang diupah untuk bertugas sebagai gembala akan menerima sangsi hukuman berat kalau mereka kehilangan ternak yang diurusinya, entah hilang karena dicuri atau karena diserang binatang buas. Meskipun demikian, mereka tetap akan lari meninggalkan domba-domba itu mana kala mereka diperhadapakan dengan ancaman serius. Mengapa demikian? Ya, karena domba-domba itu bukan milik mereka. Mereka tidak memiliki ikatan mendalam dengan domba-domba yang mereka jaga. Mereka tidak berani berpihak pada domba-domba yang sedang menghadapi bahaya! 

Dengan apa yang dilakukan-Nya, sampai detik-detik terakhir hidup-Nya, Yesus telah menunjukkan diri-Nya bukan gembala upahan, melainkan Gembala Baik itu. Gembala yang telah menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk domba-domba-Nya. Sang Gembala Agung telah memberikan tawaran kehidupan yang berlimpah, tentu bukan dalam bentuk harta, benda atau kekuasaan. Melainkan berlimpah cinta kasih-Nya. Cinta kasih yang melampaui emas dan perak. Ketika kita menghayatinya, maka akan memunculkan respon seperti ini, “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya ntuk kita, jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita….Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dalam perbuatan dan dalam kebenaran.”(1 Yoh. 3:16,18). Hanya orang yang berkelimpahan cinta kasihlah yang sanggup memberi dengan setulus-tulusnya.