Kamis, 09 April 2015

KUASA KEBANGKITAN YESUS MEMAMPUKAN UMAT UNTUK BERBAGI

Kuutus ‘kau mengabdi tanpa pamrih,
berkarya t’rus dengan hati teguh,
meski dihina dan menanggung duka.
Kuutus kau mengabdi bagi-Ku

Kuutus ‘kau membalut yang terluka,
menolong jiwa sarat berkeluh,
menanggung susah dan derita dunia.
Kuutus ‘kau berkurban bagi-Ku

Kuutus ‘kau kepada yang tersisih,
yang hatinya diliputi sendu,
sebatang kara tanpa handai taulan.
Kuutus ‘kau membagi kasih-Ku.

Kuutus ‘kau tinggalkan ambisimu,
padamkanlah segala nafsumu,
namun berkaryalah dengan sesama.
Kuutus kau bersatulah teguh.

Kuutus ‘kau mencari sesamamu
yang hatinya tegar terbelenggu,
‘tuk menyelami karya di Kalvari.
Kuutus ‘kau mengiring langkah-Ku.

Kar’na Bapa mengutus-Ku, Kuutus ‘kau.  (NKB. 210)

Karya klasik sekaligus terbesar dalam hidup Edith Margaret Clarkson (1915-2008) ini adalah sebagai reflesksi dari Injil Yohanes 20:21, “…Sama seperti Bapa mengutus AKu, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Mergie, begitulah nama panggilannya, lahir di Melville Saskatchewan 8 Juni 1915. Ia memiliki masa kecil yang penuh penderitaan. Sepanjang hidupnya sejak usia 3 tahun Mergie mengidap penyakit Juvenile arthritis, yang menyebabkan migren, disertai muntah dan kejang. Menginjak usianya lima tahun keluarganya pindah ke Toronto. Di sana ia bergereja di St. John Presbyterian. Gereja ini membawa pengaruh besar bagi kehidupan spiritual Mergie. Ia sangat menikmati hymne-hymne yang dinyanyikan dalam ibadah di gereja itu. Ketika ia berusia 13 tahun, kedua orang tuanya bercerai.

Dengan sakit yang diderita, orang tua yang bercerai, serta kehidupan ekonomi yang tidak begitu baik, Mergie terus melanjutkan sekolah. Mergie mengalami kesepian luar biasa; kesepenian mental dan spiritual. Pada saat-saat itulah, ia menulis kata-kata dari rasa sakit dan penderitaannya yang merupakan versi awal dari syairnya yang terkenal itu, “So Send I You”

I do not know tomorrow’s way
If dark or bright its hours may be
But I know Christ, and come what may
I know that he abides with me
I do not know what may be
fall of grief or gladness, peace or pain
But I know Christ, and through it all
I know his presence will sustain.

Dalam penderitaan dan kesepiannya, Mergie mengisahkan, “Suatu malam ketika saya sedang mempelajari Firman Tuhan dan merenungkan keadaan saya, saya teringat pada Injil Yohanes pasal 20 dan pada kata-kata ‘Aku mengutus kamu’. Karena cacat tubuh yang saya derita, saya tidak bisa pergi ke berbagai tempat untuk melayani, namun pada malam itu Tuhan menunjukkan bahwa di sinilah ladang pelayanan saya. Saya telah menulis sajak selama hidup saya, jadi sangat mudah bagi saya untuk mengekspresikan pemikiran saya dalam sebuah puisi yang kemudian dijadikan sebuah lagu.

Beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa puisi tersebut sangat bersifat berat sebelah. Puisi tersebut hanya berisikan tentang penderitaan dan kehidupan yang serba kekurangan dari sebuah panggilan misionari. Saya menulis sebuah lirik lain dengan irama lagu yang sama sehingga ayat-ayat lagu tersebut dapat digunakan secara bergantian. Sangat menarik karena di kemudian hari, versi yang baru ini lebih disukai. Saya sangat bersukacita atas hal ini sebab saya sangat ingin menjadi seorang penulis yang mengacu pada Alkitab dan versi yang kedua itulah yang lebih mengacu pada Alkitab”. Begitulah kisah lahirlah lagu ‘So Send I You’ versi kedua yang dikenal sampai sekarang dengan berbagai terjemahan, di antaranya : "KuUtus 'Kau" atau "Ku Kirim Kau”

Yohanes 20:21 menjadi berita yang membangkitkan bagi Edith Margareth Clarkson di tengah penderitaan dan kesulitan hidupnya. Kalimat yang singkat itu semula ada dalam konteks ketika murid-murid Yesus mengunci diri di satu ruangan dalam sebuah rumah. Pada malam itulah, Yesus datang di tengah-tengah para murid. Mungkin aneh bagi kita. Mengapa? Baru pagi tadi mereka telah mendengar berita tentang kebangkitan yang disampaiakan Maria Magdalena dan kemudian Petrus disertai murid yang dikasihi itu membuktikannya ke kubur Yesus tetapi mengapa pada malam itu mereka masih mengunci diri dalam sebuah ruangan. Mengapa mereka tidak antusias? Apakah mereka masih takut terhadap orang-orang Yahudi? Bisa jadi begitu. Rasa takut dan trauma belum menghilang, masih dibutuhkan waktu bagi mereka untuk dapat bersaksi ke luar tentang berita kebangkitan itu.

Untunglah Yesus datang memberi salam damai sejahtera kepada mereka. Keraguan terhadap kebangkitan-Nya dijawab tuntas. Yesus tampil dengan menampakkan bekas luka aniaya salib itu. Lubang bekas paku di tangan dan kaki serta lambung yang robek tak dapat disangkal lagi Yesus membawa bukti otentik bahwa yang hadir itu adalah Dia yang disalibkan dan dikuburkan itu. Yesus meneguhkan keraguan mereka dan sekaligus mengutus mereka sama seperti diri-Nya yang diutus oleh Sang Bapa. Namun, sayangnya Tomas tidak ada bersama mereka. Peneguhan akan keraguan Tomas nanti akan dijawab Yesus secara khusus setelah kisah ini.

Yesus tidak hanya mampu menembus pintu-pintu ruangan yang terkunci tetapi juga sekaligus menembus pintu-pintu hati manusia yang terkunci akibat kekecewaan, ketakutan dan penderitaan. Yesus membuka belenggu itu sehingga kebangkitan itu menjadi pengalaman empirik bagi mereka. Ini bukan sekedar ilusi atau halusinasi dari seorang yang tenggelam dalam kekecewaan. Mereka dipulihkan dari keraguan, diteguhkan dan dikuatkan dari ketakutan dan kekuatiran sehingga kini mereka siap diutus untuk menyatakan berita kebangkitan itu. Mereka siap berbagi berita sukacita agar setiap orang yang tidak berpengaharapan mempunyai pengharapan.

Mengiringi pengutusan itu, Yesus tidak menyuruh mereka pergi dengan tangan hampa. Ia menghembuskan (emfysao) para murid itu dengan Roh Kudus. Kata “menghembusi” digunakan Alkitab dalam konteks, antara lain: ketika penciptaan manusia, Allah menghembuskan nafas hidup ke hidung Adam sehingga ia menjadi makhluk yang hidup (Kejadian 2:7). Kitab Yehezkiel juga menggunakan kata yang sama untuk menceritakan hembusan roh terhadap tulang-tulang kering rakyat Israel yang kemudian membuat mereka hidup kembali (Yehezkiel 37:9). Kini, kata dan Roh yang sama diberikan Yesus kepada para murid yang siap diutus. Tuhan tidak pernah mengutus seseorang dengan tangan hampa. Ia melengkapinya dengan kuasa Roh Kudus. Kuasa yang menghidupkan! Kelak dalam perjalanan kesaksian para rasul, kita akan menemukan bahwa mereka diserti oleh Kuasa Roh Kudus dalam bersaksi dan melayani. Dalam Kisah Rasul 4 :32-35, kuasa itu bahkan menjelma dalam sebuah komunitas baru yang saling peduli dan mau berbagi.

Kuasa Roh Kudus itu mampu mengatasi tantangan, penderitaan dan kesulitan para murid sehingga Injil terus tersebar. Sekali lagi, bagi mereka kuasa kebangkitan itu begitu nyata! Demikian juga dengan Margaret Clarkson, kuasa itu nyata.  Di sepanjang hidupnya Edit Margaret Clarkson telah mengalami berbagai bentuk penderitaan, mulai dari perceraian orangtuanya, rasa sakit fisik yang terus menerus, keuangan yang susah, kesepian dan isolasi, namun demikian hidupnya yang bergantung pada penghiburan Tuhan tersebut, telah menjadi pelajaran berharga bagi kita. ‘So Send I You’ merupakan karya Margaret terbesar dalam hidupnya karena lagu tersebut merupakan ringkasan kesaksian Margaret yang sudah melihat panggilan Allah atas hidupnya, di tempat dimana dia berada. Bahwa dia diutus untuk melayani orang lain dalam kemenangan. Tinggalkan rasa sedih dan sakitmu, bangkitlah layani Tuhan, di luar sana banyak orang perlu Saudara!

(sumber ilustrasi Margaret Clarkson diadaptasi dari : www.majalahpraise.com Published, 14,12,2012)

Jumat, 03 April 2015

KRISTUS YANG BANGKIT TIDAK MEMBEDAKAN ORANG


Paskah 2015

Empat Injil mencatat peristiwa kebangkitan Yesus. Masing-masing mempunyai keunikannya tersendiri. Keempat Injil tidak menampikkan peran murid perempuan. Murid perempuanlah yang pertama kali datang ke kebur Yesus dan menyaksikan bahwa kubur itu udah kosong sekaligus pernyataan dari yang ilahi bahwa penyebab kosongnya kubur itu karena Yesus sudah bangkit! Namun, setelah itu, masing-masing Injil punya narasi berbeda. Markus mengisahkan di akhir persitiwa kubur kosong itu dengan para perempuan yang meninggalkan kubur itu dengan gentar dan dasyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun karena takut (Markus 16:8). Matius mencatat bahwa para perempuan itu pergi dari kubur dengan takut sekaligus diliputi kegembiraan besar. Lalu mereka buru-buru berlari untuk memberitahukan kabar itu kepada para murid yang lain (Matius 28:8).  Lain lagi dengan Lukas. Ia menceritakan kisah penampakan Yesus kepada Petrus, lalu kepada dua orang murid yang menuju Emaus dan kemudian penampakan kepada para murid. Lalu kisah ini berakhir dengan tugas pengutusan kepada para murid dan Yesus naik ke surga.

Sama seperti penulis Injil sinoptik, Yohanes merekam kisah kebangkitan Yesus dengan kisah perempuan yang pergi ke kubur Yesus. Berbeda dengan Injil yang lain, Yohanes menyebutkan bahwa yang datang ke kubur Yesus itu menyebut hanya seorang perempuan saja, yakni Maria Magdalena. Ia pergi ke makam Yesus pada hari pertama minggu itu, pagi-pagi benar ketika hari masih gelap (Yohanes 20:1). Ia sampai di kubur itu dan menjumpai kenyataan bahwa batu penutup kubur telah diambil, artinya kubur Yesus sudah terbuka. Melihat kenyataan itu, Maria segera berlari mendapatkan Simon Petrus dan murid yang lain, yang dikasihi Yesus. Atas kenyataan itu, Maria menyimpulkan kepada mereka bahwa mayat Yesus telah diambil orang.

Mendengar laporan Maria Magdalena, Petrus dan “murid yang lain” itu bergegas menuju kubur Yesus. Murid yang dikasihi itu lari lebih cepat sehingga ia lebih dulu tiba di kubur Yesus. Ia menengok ke dalam kubur tetapi tidak masuk. Petrus yang datang kemudian, langsung masuk ke dalam makam. Di dalamnya, ia melihat kain kafan terletak di tanah sedangkan kain peluh tidak terletak dekat kain kafan. Kain kafan biasanya digunakan untuk membungkus tubuh jenazah sedangkan kain peluh dipergunakan untuk menutupi wajah jasad seseorang yang sudah meninggal dalam budaya Yahudi. Murid yang dikasihi itu melihat dan langsung percaya. Mereka segera pulang. Di manakah Maria Magdalena? Apakah ia turut pulang juga bersama dua murid laki-laki itu?

Tidak! Maria masih berada di kubur itu. “Tetapi Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis. Sambil menangis, ia menjenguk ke dalam kubur itu.”(Yoh.20:11). Ternyata setelah kisah Petrus dan murid yang dikasihi meninggalkan kubur itu, kisah tentang Maria masih berlanjut. Sayang, Petrus dan murid yang dikasihi itu tidak menyaksikan adegan penampakan dua orang malaikat yang berpakaian putih. Maria keukeuh pada pendiriannya, yang ada dibenaknya adalah bahwa Tuhannya telah dicuri dan diambil orang. Itulah sebabnya ia menangis di kubur Yesus. Gambaran ini menyiratkan kepada kita begitu dasyatnya kuasa kematian. Meskipun berkali-kali Yesus sudah mengingatkan kepada para murid-Nya bahwa Ia akan menderita kesengsaraan hebat, berakhir dengan kematian tragis di kayu salib dan pada hari ketiga akan bangkit lagi. Namun, ternyata para murid dan khususnya dalam konteks ini Maria, tidak mempercayainya. Kematian telah menelan semua janji-janji Tuhan. Bahkan ketika Maria menoleh ke belakang dan mendapati sosok Yesus berhadapan dengan dirinya, ia pun tidak mengenalinya.

Jalan pikiran Maria sudah diliputi kesedihan dan berada di bawah kuasa kematian itu. Sang Guru yang kini menyapanya dicurigai sebagai sosok orang yang mencuri jasad Tuhannya. “Tuan, jikalau Tuan yang mengambil Dia, katakan kepadaku, di mana Tuan meletakkan DIa supaya aku dapat mengambil-Nya?”(Yoh.20: 15). Yesus kemudian menyebut nama Maria. Saat itu juga, Maria mengenali siapa yang sedang berbicara dengannya. Maria berpaling dan berkata kepada-Nya dalam bahasa Ibrani : “Rabuni!”, artinya, Guruku!

Di sini kita dapat belajar dan memahami: begitu dasyatnya kuasa kematian, pelbagai peringatan dan pernyataan Yesus tentang kehidupan seolah ditelan bulat-bulat. Bukankah hal yang sama menjadi pengalaman kita juga. Berhadapan dengan kemelut, apalagi kematian membuat kita lupa akan janji-janji-Nya. Kita lebih sering dihanytkan oleh kuasa kematian itu. Kita menjadi takberdaya. Kita menjadi sama seperti Maria yang tidak dapat mengenali wajah Tuhan, yang tidak peka mendengar suara-Nya. Kita menjadi buta oleh kuasa maut itu! Dapatkah kuasa kebangkitan Tuhan itu mempunyai arti dalam kemelut?

Yesus yang bangkit itu memanggil Maria dengan namanya. Maria sadar bahwa Tuhannya tidak mati, Ia bangkit dan kini berhadapan muka dengannya! Dampaknya, segera lenyaplah kuasa maut yang meliputi diri Maria. Kuasa kebangkitan itu bagi Maria sungguh sangat nyata, menjadi pengalaman empirik. Kuasa itu membuat Maria segera dapat mengatasi kesedihannya. Kita sering berdebat tentang peristiwa kebangkitan Yesus, bahkan berani mempertaruhkan apa saja untuk membela doktrin kebangkitan. Yang sering membuat kita lupa adalah, apakah kebangkitan Yesus itu telah menjadi pengalaman empirik kita? Bagaimana ketika kita berhadapan dengan kemelut dan tragedi, apakah kuasa kebangkitan itu berbicara? Atau tetap sunyi di alam kubur?

Segera sesudah menyadari bahwa Yesus bangkit, Maria tidak ingin kehilangan Yesus lagi. Ia berusaha memegangi Yesus. Yesus berkata kepadanya, “Jangan engkau memegang AKu, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang AKu akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”(Yoh.20:17). Dalam Injil Yohanes, Yesus sendirilah yang menyatakan kebangkitan-Nya. Ia menemui Maria secara langsung dan mengutusnya untuk menyatakan kebangkitan itu kepada murid-murid yang lain.

Kegembiraan Maria seolah ingin dirasakan lebih lama oleh dirinya. Rupanya ia terus memegangi Yesus. Dalam pernyataan Yesus kepada Maria Magdalena itu, kata haptau adalah imperatif presens. Oleh karena itu, dari aturan gramatik, pernyataan Yesus itu harus diterjemahkan: “Berhentilah memegang-Ku”, bukan sekedar “jangan memegang Aku”. Saat itu, dari bahasa yang digunakan, sebenarnya Maria sudah memegang Yesus dan Yesus memintanya untuk berhenti memegang-Nya. Ia tidak boleh terus-menerus memegang Yesus. Ada tugas yang belum selesai baik bagi Yesus sendiri maupun bagi Maria. Bagi Yesus, karena Ia belum kembali kepada Bapa-Nya. Sedangkan Maria mempunyai tugas perutusan, yakni menyampaikan kabar baik itu kepada murid-murid yang lain. Seolah Yesus ingin mengatakan bahwa kebangkitan-Nya tidak boleh digenggam hanya untuk diri Maria sendiri. Maria diutus Yesus untuk menyampaikan peristiwa kebangkitan itu kepada para murid yang lain. Dalam narasi kebangkitan menurut Yohanes, Maria Magdalena telah menjadi apostola apostolorum, rasul bagi para rasul.

Siapakah Maria Magdalena ini? Dari nama belakangnya, tampaknya ia berasal dari Magdala, suatu desa di Galilea. Sebagian besar penduduk Galilea dihuni oleh bangsa-bangsa non Yahudi (Yes. 8:23). Orang-orang Yahudi pada zaman Yesus tidak menyukai orang Galilea (Yoh.7:52). Besar kemungkinan Maria bukanlah orang Yahudi. Dalam tatanan ketahiran Yudaisme Maria menempati kelas “teri”. Perempuan sekaligus orang-orang yang tidak disukai oleh kebanyakan orang Yahudi. Namun, kepada orang yang terpinggirkan menurut strata sosial Yahudi, Yesus justeru memakainya sebagai orang yang teramat penting. Saksi pertama dari kebangkitan-Nya sekaligus rasul bagi para rasul! Yesus tidak pernah mamandang status seseorang. Ingat dulu ketika kelahiran-Nya, yang pertama kali mendengar kabar gembira itu bukan para pembesar atau penguasa, melainkan kaum gembala! Allah berkenan memakai orang-orang sederhana, Ia tidak pernah membeda-bedakan orang! 

Betapa pun sederhananya kita, Allah mau menyapa kita. Allah tidak pernah membeda-bedakan orang. Ia ingin kuasa kebangkitan-Nya bukan hanya menjadi bahan polemik, melainkan dapat dialami oleh semua orang. Dan semua orang, termasuk kita di dalamnya, yang telah mengalaminya, diminta-Nya seperti Maria Magdalena untuk mewartakannya kepada sesama kapan dan di mana pun kita berada.