Layaknya karya seni, sebuah bangunan mencerminkan siapa perancangnya. Contoh, Friedrich Silaban ketika memenangkan sayembara untuk merancang Mesjid Istiqlal. Padahal, ia adalah seorang non Muslim. Bangunan monumental rancangannya itu mencerminkan penghayatannya terhadap budaya Islam yang tumbuh subur di negeri Bhinneka Tunggal Ika. Silaban menggabungkan semangat kemerdekaan. O iya, Istiqlal sendiri berarti “kemerdekaan” atau “kebebasan” dalam Bahasa Arab. Silaban berhasil menggabungkan elemen-elemen modern dengan sentuhan Islam, seperti kubah dan Menara. Untuk penerangan, ia memanfaatkan penerangan alami yang menciptakan suasana nyaman dan damai. Kendati Silaban seorang penganut Kristen, seperti masjid yang dirancangnya, namanya terus dikenang dan dihargai banyak orang!
Nama yang monumental sepanjang masa, populer dan disanjung adalah buah dari talenta dan kesungguhan dalam mengerjakan sebuah karya. Namun, ada banyak orang justru mencanangkannya sejak dari awal. Aku mau membangun jembatan, gedung pencakar langit, Menara, atau tempat ibadah, supaya orang tahu dan mengenangku sebagai orang hebat yang pernah ada di muka bumi ini yang merancang dan mewujudkan bangunan ini spektakuler! Ternyata watak seperti ini tidak hanya sebatas pada karya seni arsitektur. Tetapi juga dapat merambah pada ruang lingkup kehidupan yang lainnya. Aku mau melayani, melakukan ini dan itu, supaya orang tahu bahwa aku adalah anggota gereja yang berdedikasi tinggi! Aku mau menjadi aktivis, penatua dan liturgos, supaya orang mengenalku sebagai orang yang menopang kehidupan gereja! Aku mau berbagi dengan orang miskin, memberikan persembahan tahunan yang besar, supaya namaku dikenal sebagai orang dermawan!
Semangat Babel! Ya, ketika seseorang mencanangkan melakukan segala tindakan dengan maksud agar namanya bisa melegenda, populer dan disanjung itu namanya semangat Babel. Kejadian 11 mencatat, bangsa Babel hendak mendirikan Menara tertinggi di dunia pada saat itu dengan tujuan untuk mencari nama. Mencari nama yang dimaksud adalah Babel terkenal sebagai bangsa besar yang mampu mendirikan bangunan tertinggi dan tiada bandingnya. Dampaknya, bangsa-bangsa lain yang melihatnya akan berdecak kagum! Lalu, apa yang terjadi dengan Babel? Hancur! Allah membuat rencana mereka berantakan. Komunikasi tidak berjalan dengan semestinya. Satu dengan yang lain tidak memahami bahasa yang disampaikan. Ya, akhirnya bangunan itu mangkrak dan orang-orangnya tercerai-berai. Berserakan ke pelbagai penjuru!
Semangat Babel selalu ada dalam setiap ruang gerak manusia di sepanjang zaman. Juga di gereja! Gereja menjadi terpecah belah dan lambat laun lenyap bukan tekanan, intimidasi, aniaya dari orang-orang di luar gereja. Tetapi dari virus Babel! Masing-masing punya mau dan ini ternama, disanjung dan dihargai.
Situasi terbalik. Pada peristiwa Pentakosta, momen ketika orang-orang dari pelbagai penjuru yang terikat dengan tarekat dan kultus Bait Suci Yerusalem datang untuk memberikan persembahan hasil panen mereka, di situlah terjadi peristiwa menggemparkan. Para pengikut Yesus yang sebelumnya mengunci diri karena takut terhadap ulama dan umaroh Yahudi, kini tampil di depan umum. Penampilan mereka bukan untuk mencari nama, apalagi narsis. Bukan! Mereka berkata-kata tentang peristiwa yang belum lama menggemparkan Yerusalem. Ya, peristiwa Yesus yang tersalib, mati dan bangkit itu. Dahsyatnya, mereka berbicara dalam bahasa dan dialek yang dapat dimengerti oleh pendengarnya. Maklum, pada masa itu orang-orang Yahudi tersebar, terserak ke pelbagai penjuru – bahkan ada yang sampai ke Arab! Nah, kalau kondisi umat Yahudi yang berserakan ini jelas bukan karena mereka turut serta dalam pembangunan Menara Babel. Justru karena ulah Babellah beberapa ratus tahun yang lalu, mereka berserakan ke mancanegara!
Lantaran sudah ratusan tahun mereka tinggal mengembara di berbagai tempat, maka sudah barang tentu mereka tidak lagi memahami bahasa nenek moyang mereka. Ya, mirip-mirip etnis Tionghoa yang ada di GKI Mangga Besar, ngakunya Tionghoa, tetapi tidak mengerti bahasa Hokkian, apalagi Mandarin. Hadew! Para rasul ini mampu berbicara, berkomunikasi dengan semua orang yang datang ke Yerusalem bukan karena mereka sebelumnya kursus dahulu. Mana ada waktu untuk kursus! Mereka menerima karunia Roh Kudus yang dijanjikan oleh Yesus sebelum kepergian-Nya ke surga. Roh Kudus itulah yang menyatukan mereka dari pelbagai pelosok, berbagai bahasa dan latar belakang untuk mengerti karya Allah yang menyelamatkan segala bangsa!
Kita masih ingat perayaan kenaikan Yesus Kristus ke surga. Yesus berpesan kepada para murid untuk tidak meninggalkan Yerusalem. Mereka harus tekun berdoa dalam persekutuan kasih. Nah, inilah sarana yang baik untuk Roh Kudus berkarya. Ibarat tanah yang sudah digemburkan, diberi pupuk dasar, dibersihkan dari gulma, lalu siapa ditanam. Tanaman itu tumbuh subur dan pada waktunya berbuah. Roh Kudus yang berkaya itu disambut dengan persiapan yang baik oleh para murid. Dampaknya? Dahsyat! Semua orang dipersatukan dan mulailah dari situ gereja berdiri. Gereja yang berdiri itu terdiri dari berbagai orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Di sini kita menghayati peran Roh Kudus bukan semangat Babel, malahan Ia kebalikannya. Roh Kudus memainkan peranan penting dalam kehidupan orang-orang Kristen mula-mula. Ia mempersatukan mereka dengan kehidupan yang kekal di dalam Kristus, dan membuat kehadiran Kristus dikenal dalam keseharian hidup mereka. Roh Kudus juga datang untuk tinggal di hati orang-orang Kristen. Seperti yang pernah dijanjikan Yesus. Roh Kudus akan menyatakan kebenaran, Ia akan menghibur, memberi kekuatan dan menemani para murid untuk bersaksi. Roh Kudus mempersatukan mereka dengan satu tujuan, yakni: percaya pada Yesus!
Meski Roh Kudus mempersatukan, bukan berarti kita harus menjadi seragam. Bukan begitu! Roh Kudus tidak menghilangkan individualitas kita – kalau ini terjadi berarti Roh Kudus – menghianati karya Allah sendiri. Bukankah Allah menciptakan kita unik, tidak seragam! Roh Kudus mempersatukan kita di dalam diri Kristus sambil menghargai karakteristik setiap inidividu yang unik itu. Kita masing-masing diberi karunia yang berbeda-beda oleh Roh Kudus untuk digunakan dalam pelayanan bersama. Keunikan Anda akan mengisi kekurangan saya, demikian sebaliknya. Paulus mengatakan seperti tubuh yang anggotanya berbeda untuk fungsi yang berbeda tetapi punya tujuan yang sama, yakni menjadi berkat bagi sesama dan akhirnya memuliakan Tuhan!
Selama pemahaman ini menjadi landasan utama dalam hidup bergeraja, maka gereja akan terus dipakai Tuhan untuk menyelamatkan ciptaan-Nya. Namun, ketika semangat Babel yang menyebalkan itu dipelihara dan tumbuh subur dalam anggota-anggota gereja, maka kehancuran gereja tinggal menunggu waktu saja. Gereja akan hancur berkeping-keping dan kita seperti orang-orang Bebel, hanya mengenang masa lalunya yang jaya sambil menyesal karena waktu tidak dapat diulang lagi. Selamat merayakan Pentakosata, selamat merayakan perbedaan dalam persatuan di dalam Roh Yesus Kristus!
Jakarta, 5 Juni 2025 Pentakosta, tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar