Silent is golden! Diam itu emas, saya percaya Anda pernah mendengar ungkapan ini. Atau mungkin menjadikannya sebagai prinsip hidup Anda. Jelas, ada segudang kebaikan dengan berdiam diri. Diam itu menjadi sikap terbaik ketika seseorang sedang dalam puncak amarah atau emosi. Diam menjadi sikap bijak ketika Anda dan saya tidak memiliki cukup informasi, data dan fakta ketika dimintai pendapat. Diam akan menolong kita terhindar dari konflik dan pertengkaran dengan orang lain.
Lalu, apakah sikap diam itu semuanya emas, selalu mendatangkan kebaikan? Jelas tidak! Diam dapat menciptakan situasi dan kondisi menjadi semakin buruk, apabila menyembunyikan kebenaran. Jika Anda punya informasi penting yang dapat membantu orang lain untuk mencegah kerugian, kemudian Anda diam, ini merupakan pilihan buruk. Dalam situasi seperti ini, berbicara berbagi informasi merupakan pilihan terbaik ketimbang diam. Sikap diam menjadi sikap jahat ketika seseorang menyaksikan ketidakadilan atau penyelewengan, maka diam pertanda Anda setuju dengan perbuatan itu. Memilih diam bukan pula hal yang bagus ketika komunikasi diperlukan. Diam menghambat komunikasi! Dan, tahukah Anda, jika seseorang diam tentang masalah kesehatan mental dan emosinya, maka berakibat fatal. Biasanya orang yang diam terhadap masalah kesehatan mentalnya adalah orang yang mudah memilih jalan pintas. Bunuh diri!
Apakah diamnya Yesus ketika berhadapan dengan Pilatus dan Herodes merupakan jalan pintas, agar segera menempuh kematian? Atau Ia sedang menghambat komunikasi dan tidak mau mengungkap fakta dan data kepada para interogator-Nya? Mungkinkah Yesus sedang mengabaikan keadilan. Apakah diam-Nya Yesus berarti tidak lagi mau memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kebaikan yang selama ini Ia taburkan di Galilea, Nazaret, Yerusalem, Samaria dan sekitarnya? Ataukah Ia sudah malas untuk berargumentasi dengan orang-orang munafik yang berusaha mencari-cari kesalahan-Nya? Tidak mudah menyimpulkannya.
Ya, ini tidak mudah untuk kita mengartikan diamnya Yesus di hadapan dua penguasa bengis. Sama seperti penulis Injil Lukas yang tentunya terheran-heran dengan sikap Yesus. Lukas yang dididik dalam tradisi Yunani pasti mengenal bagaimana Socrates atau Zeno ketika mereka menjawab dan membela diri atas tuduhan yang dibuat-buat. Meski mereka mati tetapi jelas argumen mereka cemerlang dalam menepis tuduhan-tuduhan palsu itu! Lalu, bagaimana dengan diamnya Yesus?
Lukas menemukan jawabnya. Diamnya Yesus ketika berhadapan dengan dua penguasa pembunuh: Pilatus yang membunuh orang-orang Galilea di Bait Allah sehingga darah mereka bercampur dengan darah hewan kurban dan Herodes yang membunuh Yohanes pembaptis, tidak hanya membuat mereka tidak berkutik, dalam hal ini tidak bisa membunuh Yesus. Lebih dari itu, Lukas menangkap sesuatu yang berbeda. Ada yang sedang dilakoni Yesus. Dia bungkam bukan memilih kalah dalam sikap pesimis atau tidak mau mempertahankan kebenaran, keadilan dan kasih yang selama ini Yesus perjuangkan. Bukan itu! Lukas telah menceritakan tentang “Si rubah ini” dan Yesus sangat mengenal karakternya. Dalam rangkaian kisah sengsara Yesus, Lukas melihatnya sebagai penggenapan dari apa yang pernah dikatakan oleh Nabi Yesaya. Dan, untuk nubuat ini Yesus sangat yakin bahwa diri-Nya harus memenuhi segalanya sampai akhir. Ini terbukti ketika Ia mengatakan bahwa diri-Nya akan diserahkan kepada bangsa-bangsa kafir, diolok-olok, dihina, dan diludahi (Lukas 18:32).
Inilah catatan Lukas yang tidak dicatat Injil lain; Yesus berhadapan dengan Herodes. Herodes sangat girang, bagaikan anak kecil mendapatkan mainan yang disukainya. Sudah lama Herodes ingin melihat seperti apa orangnya Yesus itu, sebab ia telah mendengar banyak cerita tentang Dia. Kini, orang yang banyak diceritakan itu tepat ada di depan mukanya. Ia berharap dapat menyaksikan mukjizat-mukjizat yang diceritakan banyak orang itu. Ya, di hadapannya Yesus bagaikan mainan yang dapat menghibur dirinya. Tidak hanya itu, Herodes juga bertanya banyak hal kepada Yesus. Bagaimana tanggapan Yesus? Bungkam!
Yesus tahu sadar dirinya bukan mainan. Ya, Yesus bungkam karena Ia tahu bahwa diri-Nya bukan mainan! Herodes bereaksi. Kini, ia mempermalukan Yesus. Catatan Lukas, Herodeslah yang paling mempermalukan Yesus. Dia bersama pasukannya menista dan mengolok-olok Yesus. Herodes pula yang mengenakan jubah kebesaran kepada-Nya!
Yesus dihina, diolok-olok dan dilecehkan, namun Ia tetap bungkam! Inilah kesengsaraan yang pernah diceritakan-Nya. Artinya, Yesus menjalaninya dengan kesadaran penuh. Ia melakukan dengan segala ketaatan kepada Sang Bapa. Ia adalah hamba yang menderita seperti yang dinubuatkan Yesaya: Dia dianiaya, tetapi membiarkan dirinya ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Lebih jauh Yesaya menggambarkan bahwa Sang Hamba itu dipermalukan dan direndahkan, “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.”(Yesaya 50:6).
Punggung yang dipukul tentu nyeri dan sakit. Janggut yang dicabuti adalah perlakuan yang merendahkan. Masyarakat yang mengagungkan maskulinitas, janggut adalah lambang kebanggaan dan dicabuti di hadapan umum merupakan pelecehan luar biasa, seolah mau mengumumkan di hadapan khalayak bahwa orang tersebut telah kehilangan martabatnya sebagai pria! Ditambah noda dan ludah, ini jelas penghinaan yang dahsyat! Derita itu tentu semakin membuncah mana kala Ia memilih diam padahal punya kuasa yang setara dengan Sang Bapa. Ia memilih diam seperti anak domba yang hendak dibantai. Dengan tepat, Paulus membahasakannya, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Filipi 2:8) Mengapa? Sebab Dia tahu bahwa darah-Nya akan mendamaikan manusia dengan Allah!
Sadarkah kita bahwa bisa saja Yesus seperti yang disarankan Petrus untuk tidak melalui via dolorosa, jalan sengsara? Lalu, dengan kuasa-Nya Ia dapat bertindak mengenyahkan para pembenci-Nya. Namun, Ia tidak memilih jalan itu. Yesus tidak memilih jalan mudah untuk menyelamatkan umat manusia. Ia menanggung sengsara! Ya, sengsara yang bukan biasa-biasa saja. Sengsara luar biasa! Jika kita belum menyadarinya, kisah Minggu Sengsara ini kiranya menolong kita bahwa sampai sedemikian sengsara Ia menanggung dosa-dosa kita agar kita tidak binasa, melainkan memperoleh hidup yang kekal.
Andai kita sudah menyadari bahwa kesengsaraan-Nya telah membuahkan penebusan bagi dosa-dosa kita, oleh bilur-bilur dan darah “Hamba yang menderita” itu penyakit kita sembuh, kita diselamatkan, dilewatkan (baca : Paskah) dari maut. Lalu, apa yang sudah kita berikan kepada-Nya? Benar, tidak ada yang cukup berharga dalam diri kita untuk membalas-Nya. Namun, setidaknya seperti yang Paulus pernah katakan, “Hendaklah dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,…” (Filipi 2:5).
Kisah Yesus yang menanggung sengsara akan mengubah kita menjadi orang yang bukan lagi mengejar perkara duniawi dan kesenangannya. Sebaliknya, pikiran kita akan tertuju pada pikiran Yesus; perjuangan kita akan sama seperti yang diperjuangkan Yesus; ketaatan kita akan seperti Yesus yang taat sampai mati!
Jakarta, 10 April 2025, Minggu Sengsara Tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar