Salib! Ya, maksudnya hukuman mati dengan cara disalibkan, apakah hal baru pada zaman Yesus Kristus? Tentu saja tidak! Hukuman macam ini sudah ada sejak tujuh abad sebelum Yesus lahir. Salib telah berlangsung lama dalam wilayah kolonial imperium Romawi. Salib adalah hukuman mati keji nan biadab yang paling ditakuti dan dihindari. Brutalnya hukuman salib telah memaksa Filsuf Seneca yang menjadi penasihat Kaisar Nero berkomentar, “Adalah lebih baik melakukan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh rusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan pada saat penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib!” (Surat 101 kepada Lucilius , seperti dituturkan kembali oleh Luis M. Bermejo).
Komentar Seneca jelas berangkat dari gambaran derita fisik brutal dan mengerikan yang ia saksikan. Sampai di sini saja kita dapat memahami pendatnya hingga pada kesimpulan: kalau boleh memilih, lebih baik bunuh diri ketimbang menanggung hukuman salib! Apa lagi, bila Seneca masuk lebih dalam lagi. Maksudnya, tidak berhenti pada penderitaan tubuh. Bayangkan Seneca melihat ini: Ketelanjangan di hadapan umum! Keempat Injil menyebut bahwa di Kalvari itu, segera sebelum Yesus disalibkan, pakaian Yesus dibagi di antara serdadu-serdadu. Yesus ditelanjangi! Ya, pada umumnya dengan telanjang pesakitan memikul salibnya sendiri melewati jalan-jalan di Yerusalem. Aib luar brasa bila seorang di hadapat umum ditelanjangi! Ini merupakan pelecehan luar biasa, maka tepatlah apa yang dikatakan Cicero pada tahun 63 SM, ketika menghadapi ancaman hukuman salib, ia mengatakan bahwa hukuman itu sama sekali tidak dapat diterima oleh warga negara Romawi. Jangankan menanggungnya, menyebutnya saja sudah tidak pantas!
Anda dapat setuju dengan Seneca dan Cicero bahwa salib adalah biadab! Seneca memilih bunuh diri daripada harus disalibkan dan Cicero menyatakan menyebutnya saja tidak pantas. Dalam hal ini kita mengerti ucapan Paulus yang menyitir bahwa salib adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa (1 Korintus 1:18).
Lalu bagaimana dengan Yesus? Hari ini kita membaca narasi kisah sengsara dari Injil Yohanes. Berbeda dari Injil sinoptik, Yohanes melihat Yesus bukan sosok yang bungkam ketika diinterogasi Pilatus. Lantang Ia menyanggah, “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya.” (Yohanes 19:11). Fix, Yesus pemegang kendali! Itulah sebabnya, dalam catatan Yohanes di Getsemani, kehadiran-Nya saja sudah membuat orang-orang yang hendak menangkap-Nya mundur dan jatuh ke tanah (Yohanes 18:6). Yesus tidak diam ketika berhadapan dengan Imam Besar. Dan, tentu saja Yesus tidak memerlukan Simon dari Kirene untuk membantu mengangkat kayu salib. Tidak ada jeritan, “Eloi, Eloi lama sabaktani.” Inilah jalan keyakinan yang pernah diungkapkan Yesus sendiri, “Aku memberikan nyawa-Ku, … Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri.” (Yohanes 10:17,18).
Kini, ketika semuanya terjadi, saatnya sudah tiba, Yesus menyambut nasib-Nya dengan kebebasan penuh!Meski tahu bahwa salib adalah sadis dan biadab, meski sangat mudah untuk membungkam para lawan-Nya, meski kuasa tak terbatas ada pada diri-Nya, Yesus dengan merdeka tetap memilih jalan itu. Jalan salib!
Inilah jalan baru! Apanya yang baru? Ya, ketika semua orang berkelit menghindari dari jalan derita, ketika kesenangan menjadi tujuan hidup, ketika kejayaan menjadi cita-cita, dan berkuasa menjadi impian semua orang, justru Yesus memilih jalan yang berbeda. Berbeda bukan supaya terlihat eksentrik atau nyeleneh. Baru dan berbeda karena di dalamnya terkandung misi pendamaian. Tepatlah seperti yang dinubuatkan Yesaya, “…dia tertikam oleh pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:5)
“Oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh!” Kita adalah manusia-manusia yang sakit. Ya, sakit karena pemberotakan kita. Kita memberontak terhadap Allah karena mengejar keinginan dan nafsu duniawi. Nafsu itu membuahkan keserakahan dan ketamakan. Selanjutnya, berujung pada penderitaan dan maut. Hubungan antar sesama rusak, alam menderita dan dunia bukan lagi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali bersama. Kita adalah manusia-manusia sakit yang sedang menuju pada kebinasaan. Kita membutuhkan pemulihan!
Tentu saja Sang Pencipta tidak membiarkan ciptaan-Nya sakit lalu binasa. Betapa pun mahalnya, pemulihan itu harus terjadi! Rupanya, itu yang membuat Yesus tegar menjalani seluruh tahapan penderitaan-Nya. Bilur-bilur adalah luka-luka-Nya yang menganga; pedih dan nyeri! Ini yang terlihat, jauh tidak kasat mata ketika Sang Pesakitan itu tidak hanya membayarnya secara fisik, melainkan juga dengan begitu rupa merendahkan diri: dihina, diolok-olok, diludahi, dilecehkan, dipaku dan ditelanjangi. Bayangkan, betapa mahalnya luka-luka itu, betapa mahalnya darah yang kudus itu, yang dalam bahasa Penulis Ibrani lebih mahal daripada darah lembu jantan dan domba jantan yang dipersembahkan oleh Imam Besar! Inilah jalan baru, bahwa oleh darah-Nya kita dapat masuk ke dalam tempat kudus, yakni diperdamaikan kembali dengan Allah. Penyakit kita adalah dosa-dosa dan kekejian di hadapan-Nya telah ditanggung oleh Sang Anak Domba Allah itu dengan cara mengurbankan diri-Nya sendiri. Kita sembuh! “Hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.” (Ibrani 10:22)
Sadarlah! Begitu berharganya Anda dan saya di mata-Nya. Selanjutnya, ketika kita menyadari, bagaimanakah kita menanggapinya? Melanjutkan narasi Imam Besar yang membuka jalan baru pendamaian dalam Surat Ibrani, mestinya kesadaran itu mendorong kita untuk berani menanggapi panggilan Allah dengan sukacita. Mengisi hidup beribadah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh disertai dengan perbuatan baik (Ibrani 10:22-25). Tepat, panggilan beribadah dan berbuat baik bukan lagi sebuah cara mendapatkan pendamaian dan keselamatan. Ini merupakan respons dan buah dari manusia yang tahu diri. Sadar bahwa dirinya yang “sakit” telah disembuhkan. Dalam bahasa perumpamaan “Anak yang hilang”: telah mati dan menjadi hidup kembali; telah hilang dan didapat kembali!
Salib bukanlah kebodohan bagi mereka yang terpanggil dan menjawab kasih karunia Allah. Salib adalah kekuatan yang menolong Anda dan saya untuk mengerjakan kehendak-Nya. Sama seperti Yesus yang tidak gentar dalam mengambil pilihan hidup-Nya untuk menempuh jalan salib itu. Demikian juga orang-orang yang menyambut-Nya tidak akan ragu menjawab panggilan-Nya sebab ia yakin akan memperoleh kekuatan meski tampaknya tantangan hidup begitu dahsyat untuk diatasi!
Jakarta, 12 April 2025 untuk ibadah Jumat Agung tahun C
#JumatAgung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar