Informasi yang berseliweran dalam berbagai bentuk di era kekinian memberi banyak manfaat, tetapi juga mengandung risiko. Manfaat, informasi itu bisa menolong memudahkan melakukan pekerjaan. Dulu, orang harus mencari pelbagai sumber agar meminimalkan kesalahan yang tidak perlu dalam melakukan pekerjaan, apalagi pekerjaan itu sama sekali baru. Risiko, informasi dapat disalahgunakan dan menggiring orang yang mengaksesnya untuk tujuan tertentu.
Risiko yang tidak kalah serius adalah ketika minat literasi rendah – yang sudah pasti mengikutinya adalah SDM minim – membuat sebuah informasi ditanggapi dengan keliru. Gagal fokus dan gagal paham! Pemahaman yang keliru dapat membuat orang berbuat melenceng atau bahkan bertentangan dengan fakta dan data yang sebenarnya. Kalau kita dalami lebih jauh, mengapa orang sering mengalam gagal fokus atau gagal paham? Jelas, ini bukan semata karena informasi mengenai fakta dan data serta literasi yang minim. Sepertinya ada faktor lain yang lebih mendasar. Informasi tentang fakta dan data dapat diatasi dengan meningkatkan minat dan motivasi untuk mau tahu lebih mendalam. Hal yang sama juga terjadi dengan rendahnya minat literasi. Ini masalah mentalitas, karakter dan ambisi!
Mental dan karakter seperti apa yang ada dalam diri kita, itulah yang kita kejar. Kita menjadi orang-orang yang ambisi dengan minat yang terkubur di dalam dan akhirnya menjadi orang yang ambisius! Karena menyangkut apa yang ada di “dalam” diri, maka jelas ada kaitannya dengan spiritualitas. Keyakinan yang konon bersifat rohani itu akan diarahkan sedemikian rupa untuk mengejar apa yang disebut hidup mulia. Bagi sebagian orang, hidup mulia itu dibayangkan dengan kehidupan di atas rata-rata; hartanya banyak, kedudukan dalam masyarakat tinggi, punya jabatan, intelektual tinggi ditandai dengan pelbagai gelar akademis, tinggal di kawasan elit, menikmati fasilitas nomor wahid, dan orang-orang memberi hormat ketika berpapasan. Siapa tidak menginginkan hidup seperti ini? Mulia!
Sebagian lainnya – biasanya kelompok ini lebih sedikit – memandang hidup yang mulia itu tidak sekedar apa yang menjadi impian kelompok pertama itu. Hidup mulia itu adalah hidup yang memiliki nilai dan makna yang tinggi. Hidup yang dijalani dengan baik dan benar yang ditandai dengan memiliki tujuan yang jelas. Tentu saja tujuan itu positif sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang dihayatinya. Bukan sebaliknya, mengubah kebenaran agar selaras dengan ambisinya. Nilai-nilai kebenaran itulah yang akan memandu pola pikir dan peri lakunya. Orang-orang seperti ini biasanya akan berani membayar mahal. Ia rela menjadi bahan olok-olokan, menderita bahkan membayar dengan nyawanya sendiri. Terkesan idealis, namun itulah kemuliaan!
Setelah menyembuhkan banyak orang sakit, mengusir setan, meredakan badai, membangkitkan orang mati, memberi makan lebih dari lima ribu orang, dan pelbagai peristiwa menakjubkan lainnya, maka tidaklah berlebihan kalau para murid-Nya memandang Yesus sebagai sosok manusia ajaib yang dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka menjadi manusia-manusia di atas rata-rata. Manusia mulia! Jika narasinya kemudian berujung pada pengakuan yang diwakili Petrus, menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah itu merupakan alur pikiran manusiawi yang wajar. Namun, kita sudah bisa menebaknya; Mesias yang seperti apa yang ada dalam benak mereka? Ya, tepat! Mesias yang bisa mewujudkan mimpi-mimpi indah mereka!
Sayang, impian itu harus tertimbun dengan narasi Yesus yang menyebut diri-Nya harus menderita sengsara dan mati. Timbunan ini begitu tebal, sehingga ketika Yesus pada ujung pernyataan-Nya mengungkapkan diri-Nya akan bangkit kembali, ini tidak mereka gubris. Timbunan ambisi yang begitu kuat atas nama kemuliaan diri itu telah membuat para murid gagal fokus dan gagal paham tentang Mesias dan lebih utuhnya tentang karya Allah di dalam diri Yesus Kristus.
Lapisan timbunan ambisi itu perlahan-lahan harus dikikis. “Inilah Anak-Ku, pilihan-Ku, dengarkanlah Dia!”(Lukas 9:35) Kalimat yang menggelegar di dari balik awan ini bagaikan pisau tajam yang mengikis ambisi para murid. Penampakan Yesus malam itu di sebuah perbukitan yang berbeda dari biasanya seolah membenarkan pengakuan Petrus bahwa Dia adalah sosok mulia. Wajah dan pakaian-Nya putih, bercahaya dan berkilauan. Transfigurasi!
Untuk apa para penulis injil menceritakan peristiwa transfigurasi? Bukan hanya untuk meneguhkan dan meluruskan pernyataan Petrus tentang Yesus sebagai Mesias, melainkan juga untuk menyoroti sengsara dan kematian Yesus dengan sinar kemuliaan. Kisah ini meluruskan pengakuan Petrus dan jemaat mula-mula yang sulit menerima bahwa Mesias harus menderita. Melalui kisah ini hendak ditegaskan bahwa sengsara dan kematian Yesus memang sesuai dengan kehendak Allah yang sudah diwartakan oleh para nabi terdahulu. Sengsara dan kematian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan Yesus, namun itu akan mengantarkan Yesus pada kemuliaan-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Jadi, sebelum sengsara menimpa Yesus, kisah ini sudah menyajikan maknanya. Tubuh kemuliaan itulah sepenuhnya akan terjadi ketika Yesus bangkit!
Tubuh Yesus yang berubah itu adalah tubuh mulia yang kelak akan diperoleh-Nya dengan menuntaskan mandat dari Sang Bapa. Maka tidaklah berlebihan kalau kisah transfigurasi dalam tradisi gereja kita ditempatkan mendahului seluruh rangkaian minggu-minggu pra-Paskah dan minggu sengsara agar kita dapat belajar bahwa kemuliaan itu adalah mengerti, memaknai dan menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Bapa. Kemuliaan itu adalah buah dari ketaatan.
Apa yang menarik dari kisah transfigurasi yang diceritakan oleh Lukas? Setidaknya ada dua. Pertama, ini seperti biasanya, Lukas mencatat bahwa setiap peristiwa besar yang akan dilakukan Yesus, Ia berdoa. Yesus naik ke atas gunung dan berdoa! Doa adalah cara Yesus menjalin persekutuan dengan Sang Bapa. Inilah rahasia terdalam mengapa Yesus dapat mengatasi semua tantangan dalam pelayanan-Nya. Doa!
Hal kedua, Lukas mencatat dengan apik tentang kehadiran dua tokoh besar Perjanjian Lama. Musa dan Elia. Mengenai dua orang ini banyak penafsir mengaitkannya; Musa adalah pembawa hukum Taurat dan Elia dari kelompok para nabi. Namun, dikaitkan isi pembicaraan rupanya Lukas lebih suka menampilkan kedua tokoh ini sebagai orang-orang yang mewakili umat pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka, kehadiran mereka berkompeten untuk berbicara dengan Yesus tentang sengsara dan kemuliaan.
Lukas merekam baik percakapan ketiga tokoh ini. Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sehubungan dengan kepergian-Nya ke Yerusalem. Yesus diberi semacam peneguhan yang berkaitan dengan via dolorosayang harus digenapi-Nya. Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem.
Sayang, Petrus sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Petrus melihat wajah dan pakaian Yesus begitu agung dan mulia. Bagi Petrus, barang kali mewakili murid yang lain dan termasuk kita, inilah kesempatan untuk menikmati kemuliaan-Nya, maka harus mendirikan kemah. Kemah adalah tempat perhentian, Petrus mengira bahwa kemuliaan Yesus dapat ditahan untuk dirinya. Yesus tidak menggubris, alih-alih suara dari awan itu memerintahkan Petrus dan teman-temannya untuk mendengarkan Dia!
Tentu kita tidak ingin gagal fokus seperti Petrus. Kemuliaan itu bukanlah terpenuhinya segala ambisi diri. Kemuliaan itu adalah menemukan makna hidup. Hidup yang mengerjakan kebenaran sehingga terpenuhinya panggilan hidup. Sama seperti Musa dan Elia yang memperjelas misi Yesus ke Yerusalem agar seluruh misi Allah terpenuhi. Kini, suara Sang Bapa juga memerintahkan kita untuk mendengarkan Yesus Kristus. Jangan silau dengan kemuliaan yang dijanjikan dan dapat diberikan oleh dunia ini, tapi sambutlah kemuliaan yang ditawarkan Bapa karena yang ini sifatnya kekal, maka dengarkanlah Dia!
Jakarta, 28 Februari 2025, Minggu Transfigurasi tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar