Jumat, 28 Februari 2025

DENGARKANLAH DIA YANG DIMULIAKAN

Informasi yang berseliweran dalam berbagai bentuk di era kekinian memberi banyak manfaat, tetapi juga mengandung risiko. Manfaat, informasi itu bisa menolong memudahkan melakukan pekerjaan. Dulu, orang harus mencari pelbagai sumber agar meminimalkan kesalahan yang tidak perlu dalam melakukan pekerjaan, apalagi pekerjaan itu sama sekali baru. Risiko, informasi dapat disalahgunakan dan menggiring orang yang mengaksesnya untuk tujuan tertentu.

 

Risiko yang tidak kalah serius adalah ketika minat literasi rendah – yang sudah pasti mengikutinya adalah SDM minim – membuat sebuah informasi ditanggapi dengan keliru. Gagal fokus dan gagal paham! Pemahaman yang keliru dapat membuat orang berbuat melenceng atau bahkan bertentangan dengan fakta dan data yang sebenarnya. Kalau kita dalami lebih jauh, mengapa orang sering mengalam gagal fokus atau gagal paham? Jelas, ini bukan semata karena informasi mengenai fakta dan data serta literasi yang minim. Sepertinya ada faktor lain yang lebih mendasar. Informasi tentang fakta dan data dapat diatasi dengan meningkatkan minat dan motivasi untuk mau tahu lebih mendalam. Hal yang sama juga terjadi dengan rendahnya minat literasi. Ini masalah mentalitas, karakter dan ambisi!

 

Mental dan karakter seperti apa yang ada dalam diri kita, itulah yang kita kejar. Kita menjadi orang-orang yang ambisi dengan minat yang terkubur di dalam dan akhirnya menjadi orang yang ambisius! Karena menyangkut apa yang ada di “dalam” diri, maka jelas ada kaitannya dengan spiritualitas. Keyakinan yang konon bersifat rohani itu akan diarahkan sedemikian rupa untuk mengejar apa yang disebut hidup mulia. Bagi sebagian orang, hidup mulia itu dibayangkan dengan kehidupan di atas rata-rata; hartanya banyak, kedudukan dalam masyarakat tinggi, punya jabatan, intelektual tinggi ditandai dengan pelbagai gelar akademis, tinggal di kawasan elit, menikmati fasilitas nomor wahid, dan orang-orang memberi hormat ketika berpapasan. Siapa tidak menginginkan hidup seperti ini? Mulia!

 

Sebagian lainnya – biasanya kelompok ini lebih sedikit – memandang hidup yang mulia itu tidak sekedar apa yang menjadi impian kelompok pertama itu. Hidup mulia itu adalah hidup yang memiliki nilai dan makna yang tinggi. Hidup yang dijalani dengan baik dan benar yang ditandai dengan memiliki tujuan yang jelas. Tentu saja tujuan itu positif sesuai dengan nilai-nilai kebenaran yang dihayatinya. Bukan sebaliknya, mengubah kebenaran agar selaras dengan ambisinya. Nilai-nilai kebenaran itulah yang akan memandu pola pikir dan peri lakunya. Orang-orang seperti ini biasanya akan berani membayar mahal. Ia rela menjadi bahan olok-olokan, menderita bahkan membayar dengan nyawanya sendiri. Terkesan idealis, namun itulah kemuliaan!

 

Setelah menyembuhkan banyak orang sakit, mengusir setan, meredakan badai, membangkitkan orang mati, memberi makan lebih dari lima ribu orang, dan pelbagai peristiwa menakjubkan lainnya, maka tidaklah berlebihan kalau para murid-Nya memandang Yesus sebagai sosok manusia ajaib yang dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka menjadi manusia-manusia di atas rata-rata. Manusia mulia! Jika narasinya kemudian berujung pada pengakuan yang diwakili Petrus, menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah itu merupakan alur pikiran manusiawi yang wajar. Namun, kita sudah bisa menebaknya; Mesias yang seperti apa yang ada dalam benak mereka? Ya, tepat! Mesias yang bisa mewujudkan mimpi-mimpi indah mereka! 

 

Sayang, impian itu harus tertimbun dengan narasi Yesus yang menyebut diri-Nya harus menderita sengsara dan mati. Timbunan ini begitu tebal, sehingga ketika Yesus pada ujung pernyataan-Nya mengungkapkan diri-Nya akan bangkit kembali, ini tidak mereka gubris. Timbunan ambisi yang begitu kuat atas nama kemuliaan diri itu telah membuat para murid gagal fokus dan gagal paham tentang Mesias dan lebih utuhnya tentang karya Allah di dalam diri Yesus Kristus. 

 

Lapisan timbunan ambisi itu perlahan-lahan harus dikikis. “Inilah Anak-Ku, pilihan-Ku, dengarkanlah Dia!”(Lukas 9:35) Kalimat yang menggelegar di dari balik awan ini bagaikan pisau tajam yang mengikis ambisi para murid. Penampakan Yesus malam itu di sebuah perbukitan yang berbeda dari biasanya seolah membenarkan pengakuan Petrus bahwa Dia adalah sosok mulia. Wajah dan pakaian-Nya putih, bercahaya dan berkilauan. Transfigurasi!

 

Untuk apa para penulis injil menceritakan peristiwa transfigurasi? Bukan hanya untuk meneguhkan dan meluruskan pernyataan Petrus tentang Yesus sebagai Mesias, melainkan juga untuk menyoroti sengsara dan kematian Yesus dengan sinar kemuliaan. Kisah ini meluruskan pengakuan Petrus dan jemaat mula-mula yang sulit menerima bahwa Mesias harus menderita. Melalui kisah ini hendak ditegaskan bahwa sengsara dan kematian Yesus memang sesuai dengan kehendak Allah yang sudah diwartakan oleh para nabi terdahulu. Sengsara dan kematian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan Yesus, namun itu akan mengantarkan Yesus pada kemuliaan-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa. Jadi, sebelum sengsara menimpa Yesus, kisah ini sudah menyajikan maknanya. Tubuh kemuliaan itulah sepenuhnya akan terjadi ketika Yesus bangkit!

 

Tubuh Yesus yang berubah itu adalah tubuh mulia yang kelak akan diperoleh-Nya dengan menuntaskan mandat dari Sang Bapa. Maka tidaklah berlebihan kalau kisah transfigurasi dalam tradisi gereja kita ditempatkan mendahului seluruh rangkaian minggu-minggu pra-Paskah dan minggu sengsara agar kita dapat belajar bahwa kemuliaan itu adalah mengerti, memaknai dan menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak Bapa. Kemuliaan itu adalah buah dari ketaatan.

 

Apa yang menarik dari kisah transfigurasi yang diceritakan oleh Lukas? Setidaknya ada dua. Pertama, ini seperti biasanya, Lukas mencatat bahwa setiap peristiwa besar yang akan dilakukan Yesus, Ia berdoa. Yesus naik ke atas gunung dan berdoa! Doa adalah cara Yesus menjalin persekutuan dengan Sang Bapa. Inilah rahasia terdalam mengapa Yesus dapat mengatasi semua tantangan dalam pelayanan-Nya. Doa!

 

Hal kedua, Lukas mencatat dengan apik tentang kehadiran dua tokoh besar Perjanjian Lama. Musa dan Elia. Mengenai dua orang ini banyak penafsir mengaitkannya; Musa adalah pembawa hukum Taurat dan Elia dari kelompok para nabi. Namun, dikaitkan isi pembicaraan rupanya Lukas lebih suka menampilkan kedua tokoh ini sebagai orang-orang yang mewakili umat pilihan surgawi. Mengapa? Selama hidupnya mereka banyak menderita karena imannya kepada Allah dan demi umat yang mereka bimbing. Maka, kehadiran mereka berkompeten untuk berbicara dengan Yesus tentang sengsara dan kemuliaan.

 

Lukas merekam baik percakapan ketiga tokoh ini. Musa dan Elia menyampaikan kepada Yesus sehubungan dengan kepergian-Nya ke Yerusalem. Yesus diberi semacam peneguhan yang berkaitan dengan via dolorosayang harus digenapi-Nya. Musa dan Elia tidak datang untuk menghibur Yesus, tetapi untuk menjelaskan kaitan sabda Allah dalam Perjanjian Lama dengan perjalanan Yesus ke Yerusalem.

 

Sayang, Petrus sama sekali tidak menangkap makna perjumpaan Musa dan Elia dengan Yesus. Petrus melihat wajah dan pakaian Yesus begitu agung dan mulia. Bagi Petrus, barang kali mewakili murid yang lain dan termasuk kita, inilah kesempatan untuk menikmati kemuliaan-Nya, maka harus mendirikan kemah. Kemah adalah tempat perhentian, Petrus mengira bahwa kemuliaan Yesus dapat ditahan untuk dirinya. Yesus tidak menggubris, alih-alih suara dari awan itu memerintahkan Petrus dan teman-temannya untuk mendengarkan Dia!

 

Tentu kita tidak ingin gagal fokus seperti Petrus. Kemuliaan itu bukanlah terpenuhinya segala ambisi diri. Kemuliaan itu adalah menemukan makna hidup. Hidup yang mengerjakan kebenaran sehingga terpenuhinya panggilan hidup. Sama seperti Musa dan Elia yang memperjelas misi Yesus ke Yerusalem agar seluruh misi Allah terpenuhi. Kini, suara Sang Bapa juga memerintahkan kita untuk mendengarkan Yesus Kristus. Jangan silau dengan kemuliaan yang dijanjikan dan dapat diberikan oleh dunia ini, tapi sambutlah kemuliaan yang ditawarkan Bapa karena yang ini sifatnya kekal, maka dengarkanlah Dia!

 

 

Jakarta, 28 Februari 2025, Minggu Transfigurasi tahun C 

 

 

Jumat, 21 Februari 2025

LEBIH DARI YANG BIASA

Apa yang membuat sebuah Novel menarik? Apa yang membuat Anda ketagihan menonton serial Drama Korea atau Drama China? Ya, tepat! Adanya unsur pembalasan yang setimpal. Lakon utama mengalami perlakuan persekusi, ditindas, dilecehkan, dianiaya sehabis-habisnya. Makin sengsara makin seru! Pada puncak cerita, keadaan menjadi terbalik. Kini, jagoan Anda mulai bangkit dan akhirnya dapat menguasai panggung. Happy ending!

 

Mengapa kisah-kisah itu menjadi menarik? Sebab, kisah itu memainkan perasaan, tepatnya emosi manusia. Ketika membaca atau menontonnya, di situ Anda merasa terwakili. Orang yang jahat harus menerima akibatnya, hukuman yang setimpal atau bahkan lebih. Sebaliknya, orang yang teraniaya, tertindas, dimusuhi harus menang dan mendapat kebahagiaan. Ini baru adil!

 

Apa jadinya jika pelaku antagonis tidak jadi dihukum atau malah mendapat tempat yang layak? Protes! Ya ini lumrah, ini biasa. Biasa dalam kehidupan yang terbentuk dari budaya turun-temurun yang dinamakan transaksional. Mirip seperti di pasar; saya mengeluarkan uang, kemudian saya mendapatkan barang atau jasa. 

 

Tidak ada yang salah dalam relasi transaksional. Bukankah baik, kalau kita mengingat dan berterima kasih kepada mereka yang telah membantu dan membuat kita berhasil? Bayangkan kalau kita melupakan mereka? Lupa kacang akan kulitnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau kita membalas dengan datang pada saat teman kita punya kenduri atau kedukaan, sebab ketika kita mengalami peristiwa yang sama, si teman itu juga hadir? Dalam pergaulan sosial, hal ini lumrah, biasa bahkan ada nilai keindahan. Namun, adakah perkara yang lebih dari biasanya?

 

Apa yang lebih dari biasa, bisa lebih buruk atau bisa lebih menakjubkan. Tentu, yang kita mau bahas sekarang bukan yang lebih buruk, melainkan yang menakjubkan! Yesus mengajak kita selangkah di depan. Ini bukan perkara gagah-gagahan, melainkan solusi yang menawarkan kehidupan dan relasi yang lebih indah, lebih baik dan lebih surgawi. “Jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang berdosa pun berbuat demikian.” (Lukas 6:33). Coba perhatikan apa yang diucapkan Yesus. Dalam kesadaran jernih, pasti kita akan membenarkan-Nya. Benar, setiap orang, termasuk orang-orang yang dikategorikan berdosa mereka akan membalas setiap tindakan baik dari orang lain kepada mereka dengan kebaikan yang serupa. Begitu pula ketika mereka mendapatkan perlakuan jahat, hal serupa pun akan mereka lakukan. Jika para pendengar Yesus melakukan tindakan serupa, jelas tidak ada lebihnya dari yang lain dan tidak ada gunanya juga Yesus mengajar mereka sebab ajaran-Nya hanya mengulang yang terdahulu.

 

Dalam hal ini Yesus mengingatkan kepada para pendengar-Nya bukan sekedar untuk mencari sensasi bahwa mereka harus lebih unggul dari orang lain yang tidak mendengarkan ajaran-Nya. Namun, Yesus hendak mengembalikan cinta kasih pada esensi yang sebenarnya. Bukankah benar juga kalau kita membalas sebuah tindakan kasih dari seseorang dengan perlakuan sama, maka seperti transaksi; dia memberikan sesuatu lalu saya membayarnya lagi. Impas, tidak ada lebihnya! Dalam hal ini bukan berarti Yesus mengajak pendengar-Nya untuk berperilaku tidak tahu berterima kasih. Bukan itu pointnya.

 

Biasanya orang berpegang pada patokan ketimbalbalikan dalam bahasa Latin terungkap dalam kalimat pendek, Quid pro quo? yang berarti “Yang sudah diterima harus dibalas apa? Yesus hendak mengajak kita berpikir lebih progresif: Kalian jangan bersikap baik hanya terhadap orang yang nyata-nyata membalas atau dapat membalas kalian dengan setimpal! Mentalitas seperti ini akan menciptakan “memberi untuk menerima kembali” alias transaksional. Dampaknya, orang hanya memikirkan sebuah tindakan kebaikan yang nantinya akan dibalas dengan kebaikan. Kebaikan semacam ini tidak pernah melahirkan “terima kasih” yang murni, melainkan selalu menciptakan kewajiban untuk membalas, atau yang kita kenal balas budi.

 

Cinta kasih melebihi itu, ada sesuatu yang benar-benar kita berikan lebih dari yang bisa orang itu balas. Salah satunya adalah tindakan mengasihi orang yang membenci dan memusuhi kita.

Mengasihi para pembenci dan musuh jelas tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa! Mari kita belajar dari kisah Yusuf bersama saudara-saudaranya. Kisah ini sangat menakjubkan, tidak kalah dari Drama Korea atau Drama China meski ujungnya sama-sama happy ending, namun ada perbedaan menarik. Kejahatan dan kebiadaban dari saudara-saudara Yusuf tidak harus dibalas setimpal. Yusuf, Si Tukang Mimpi itu memilih untuk melihat perkara yang baik dan positif di balik tragedi yang menimpa dirinya. Ia tidak membiarkan hatinya diliputi oleh dendam dan kebencian. Perlu diingat bahwa permusuhan dalam keluarga biasanya lebih langgeng ketimbang bermusuhan dengan orang lain, apalagi kalau sudah menyangkut harta waris. Namun, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya sebuah anomaly positif.

 

Perlakuan keji dari saudara-saudaranya diganti oleh perspektif karya penyelamatan dan pemeliharaan Allah terhadap sebuah bangsa. Yusuf melihat bahwa di balik liku-liku duka yang dia alami ternyata ada rancangan besar Ilahi bukan hanya terhadap dirinya, tetapi keturunan Yakub yang akan menjadi jawaban janji Allah terhadap Abraham. Dengan melihat rancangan Allah yang lebih besar, Yusuf mampu mengenyahkan kabut pekat kepahitan hatinya di masa lalu. Sehingga ia tidak lagi melihat saudara-saudaranya sebagai musuh yang harus dienyahkan. Tangannya terulur dan ia memberikan mukanya untuk mencium satu per satu saudaranya!

 

Ketika hatimu dipenuhi oleh cinta-Nya, maka engkau tidak lagi melihat musuh dan pembencimu sebagai sasaran untuk melampiaskan dendam. Tanganmu akan tergerak memeluk, pipimu tak akan kau buang untuk menghindar dari ciumannya.  Para musuh dan pembencimu akan terlihat seperti saudaramu sendiri yang memerlukan kehangatan cintamu. Ketika hatimu dipenuhi cinta-Nya, engkau tidak akan memperhitungkan lagi kesalahan dan besarnya penderitaan yang pernah kamu terima darinya. Engkau akan seperti Yesus yang tidak pernah mengungkit dan memperhitungkan kesalahanmu. Tetapi, memelukmu dengan erat sambil berbisik di telingamu, “Aku mengasihimu, dan untukmu Aku merelakan nyawa-Ku!”

 

Yesus meminta kita lebih dari yang biasa, untuk lebih mengasihi dengan kasih yang benar bukan sekedar tuntutan, tetapi Dia telah memberi kita bekal yang lebih dari cukup. Bekal itu adalah pengurbanan-Nya sendiri. Dia tahu siapa kita. Yesus mengasihi kita dengan tanpa syarat. Ia mengasihi kita walaupun kita sering kali jatuh bangun bahkan memberontak kepada-Nya. Namun, kasih-Nya tetap tidak berkurang. Tentu, Ia ingin kita meneruskannya kepada yang lain, sekalipun kepada mereka yang membenci dan memusuhi kita. Ini baru lebih dari yang biasa!

 

Jakarta, 21 Februari 2025, Minggu VII setelah Epifani, tahun C

 

 

 

 

Kamis, 13 Februari 2025

KEBAHAGIAAN SEKARANG DAN MENDATANG

Pecinta kebugaran tubuh pasti mengenal Ade Rai, seorang mantan juara dunia Binaraga yang bahkan di usia lebih dari lima puluh tahun, otot dan penampilannya tidak kalah dari pemuda dua puluh tahunan. Namun, kali ini saya tidak ingin menceritakan pola makan dan Latihan beban yang dilakukannya setiap hari. Di balik tubuh kekar itu ternyata Ade Rai punya segudang ilmu filosofi yang menarik untuk kita simak.

 

Di beberapa podcast, Ade Rai banyak berbicara tentang kebahagiaan yang sifatnya bukan artifisial. Ia bercerita tentang seekor kucing muda yang berusaha menangkap ekornya sendiri. Mengapa kucing muda itu berusaha menangkap ekornya sendiri? Konon, ia pernah mengikuti kuliah dari “Sekolah Filsafat Kucing” yang mengajarkan tentang kebahagiaan. Bagi para kucing, kebahagiaan itu terletak pada ekornya, berhasil menangkapnya maka paripurnalah kebahagiaan itu!

 

Di tengah keasyikan kucing muda itu mengejar-ngejar ekornya, muncullah seekor kucing tua yang bijaksana. Kucing tua itu mengamati dengan seksama perilaku kucing muda. Setelah cukup kelelahan, kucing muda itu berhenti. “Mengapa kamu mengejar ekormu sendiri?” Tanya kucing tua. “Dalam pelajaran di sekolah filsafat kucing, di situlah letak kebahagiaan bagi semua kucing!” Jawab si kucing muda sambil menghela nafas.

 

“Dulu, aku melakukannya juga. Aku pikir, jika aku berhasil menangkapnya, aku akan menemukan kebahagiaan di sana. Tetapi, sekarang aku sadar bahwa aku tidak perlu mengejar ekorku lagi, karena aku tahu, ke mana pun aku pergi, ekorku akan mengikuti aku!” Lalu, kucing tua itu bangkit dan berjalan pergi dengan mengebaskan ekornya.

 

Dalam batas tertentu, kita mirip dengan kucing muda. Kita mengejar “ekor” kita sendiri dan meyakini bahwa di situlah letak kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan itu telah ada dalam diri kita. Kita terlalu fokus dengan pencapaian materi atau uang karena, berpikir bahwa kita akan menjadi benar-benar bahagia ketika banyak uang dan harta benda. Atau kita mengejar jabatan dan takhta karena, kita melihat bukankah orang-orang yang berkuasa leluasa mengatur ini dan itu? Kita berpikir bahwa hanya ketika kita mencapai tujuan-tujuan ini maka kita merasa puas dan bahagia. Tidak salah bahwa dalam orang dengan uang, harta yang banyak dan punya jabatan dapat merasakan bahagia. Namun, sungguhkah sumber kebahagiaan yang sejati itu ada di sana? Betulkah orang yang banyak uang dan jabatan tinggi hatinya tidak pernah gundah gulana? 

 

Yesus bukanlah kucing tua yang bijaksana. Namun, ajarannya kali ini sama bijaknya dengan si kucing tua itu. Barang kali para pendengar-Nya waktu itu sangat haus untuk menjadi orang-orang yang berduit dan punya jabatan. Mereka bosan menjadi jelata, blangsak dan melarat ditambah tekanan penderitaan dari penguasa. Andai kita juga ada di situ dan menjadi bagian dari mereka tentu saja berharap apa yang dulu pernah diucapkan Yesus akan terjadi di sini, yakni: Tahun pembebasan dan rahmat Allah akan terjadi dari diri Yesus yang telah menyatakan sendiri sebagai penggenapan nubuat Nabi Yesaya. Mengikut-Nya bukankah logis berangan menjadi kaya, makmur, sukses dan tersohor?

 

Namun, kali ini Yesus tidak membawa itu! Seperti si kucing tua, Yesus tidak menawarkan “ekor” diri sendiri yang harus dikejar. Bukan kekayaan, kuasa, berpengaruh yang harus diburu. Di situ bukan sumber kebahagiaan! Lalu, apa? Yesus tahu bahwa mereka yang mengikuti-Nya adalah mereka yang benar-benar lapar, miskin dan tersisih alias marjinal! Ingat loh ini versi Injil Lukas. Lukas menceritakan bahwa mereka yang miskin dan menderita adalah real seperti itu, bukan miskin secara rohani! Nah, kepada mereka ini Yesus menyebutnya sebagai orang-orang yang berbahagia.

 

Koq bisa, miskin, lapar, menderita dan berduka disebut bahagia? Di sini Yesus mau mengajak pendengar-Nya bahwa mereka juga dapat berbahagia. Kebahagiaan itu tidak berasal dari luar, yakni : harta benda, uang, posisi jabatan dan kehormatan. Bukan itu! Sekali pun mereka miskin, mereka punya kesempatan yang sama untuk berbahagia. Ingat loh bukan berarti orang kaya dan pejabat tertutup kemungkinannya untuk berbahagia.

 

Kebahagiaan menurut Yesus mengalir dari hati yang meyakini kebenaran dan yang dapat mempertahankannya. Bisa saja mereka miskin namun tidak berbahagia, bisa saja mereka menahan lapar namun tidak berguna dan kehilangan kebahagiaan itu ketika dengan alasan kemiskinan dan kelaparan,mereka merampok dan menjarah; menjadikannya kedok agar orang lain berbelaskasihan. Namun, berbeda ketika orang karena mempertahankan kebenaran, ia bertahan melakukan kehendak Allah, tidak mencuri, tidak merampok, dan tidak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berbuat kriminal, di situlah ia adalah orang yang benar-benar bahagia. Yeremia menyebutnya “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7) Kebahagiaan itu tidak usah dikejar karena ada di dalam dirinya sendiri, dan tentunya TUHANlah yang akan mengganjari dengan kebaikan-Nya.

 

Sebaliknya, orang yang mencari kebahagiaan di luar, ia tidak peduli dengan prinsip kebenaran. Kompromi dan mungkin juga mengandalkan koneksi. Bisa jadi, ia akan tertawa, terlihat gembira dan bersenang-senang. Lagi, Yeremia mengingatkan “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri dan yang hatinya menjauh dari TUHAN! (Yeremia 17:5). Hal serupa diingatkan Yesus dalam Lukas 6:24-26.

 

Menjadi jelas, Yesus tidak mengajarkan kepada para pengikut-Nya agar berusaha hidup sebagai orang-orang miskin, lapar dan tertindas. Atau, memusuhi orang-orang kaya dan penguasa. Bukan itu! Siapa pun dapat menjadi pengikut Yesus, baik miskin atau pun kaya. Namun, soal kebahagiaan bukanlah terletak pada seberapa banyak materi yang ada dalam genggaman tangan kita atau seberapa tinggi pangkat dan jabatan kita. Melainkan soal seberapa berani kita mempertaruhkan kebenaran yang terus berdengung di kedalaman sanubari kita. Jika suara kebenaran itu menjadi pandu bagi hidup kita, entah miskin, lapar, tertindas atau kaya raya dan berkuasa akan menjamin kebahagiaan hari ini dan esok; baik sekarang maupun di masa yang akan datang.

 

Coba bayangkan, sekarang Anda miskin dan lapar, namun Anda bertahan bahwa dengan kemiskinan dan kelaparan Anda. Lalu Anda punya prinsip: Saya akan tetap berbuat baik, saya tidak akan menyalahkan siapa pun, saya bukanlah orang yang paling menderita, saya sangat dikasihi Tuhan dan Tuhan pasti akan membuka jalan dan memberi kekuatan. Maka saya akan bekerja keras dengan talenta yang Tuhan sudah berikan kepada saya! Bukankah jauh di kedalaman hati Anda – meski hidup masih saja tetap sulit – ada senyum kecil buat Tuhan. Ini kebahagiaan otentik! Kebahagiaan kecil ini kelak akan menolongmu saat Yesus mengenalimu sebagai hamba-Nya, “Baik sekali engkau hamba-Ku yang setia, masuklah dalam kebahagiaan kekal bersama-Ku!”

 

Atau bayangkan ini, Anda seorang kaya raya dan terpandang. Anda bertahan dalam prinsip kebenaran yang telah Anda terima dari Tuhan, maka Anda akan menjalankan usaha dengan bersih, jauh dari suap dan markup, Anda tidak lagi memperhitungkan karyawan sebagai aset atau barang, tetapi berbagi rezeki dan benar-benar memanusiakan mereka, Anda ogah diajak kong kali kong, Anda tidak memanipulasi laporan pajak, walaupun pengelolaan pajak hari ini amuradul. Bukankah Anda akan lega, hati tenang karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Ini bahagia! Yakinlah kebahagiaan ini juga akan menjamin Anda di masa mendatang ketika Tuhan menempatkanmu sebagai “domba” yang ada di sebelah kanan-Nya. Jadi, berhentilah mengejar ekormu!

 

 

Jakarta, 13 Februari 2025, Minggu VI Sesudah Epifani, tahun C

 

 

Kamis, 06 Februari 2025

DICINTAI DAN DIPANGGIL-NYA

Saya yakin, Anda pasti pernah melakukan sebuah perjalanan. Entah menggunakan mobil dan mengendarai sendiri atau jadi penumpang yang baik. Atau menggunakan pesawat terbang, kapal laut dan mungkin bersepeda atau jalan kaki. Namun, pernahkah dalam perjalanan itu, sambil melihat pemandangan atau hiruk pikuk orang-orang yang beraktivitas yang Anda lewati, Anda merenung “Siapakah saya?”, “Mengapa saya ada di sini?”, “Untuk apa saya harus berada di sini?”, “Sampai sejauh ini, apa sebenarnya yang saya cari?” Jika dalam qalbu Anda terbersit pertanyaan-pertanyaan itu, Anda tidak sendirian. Ada banyak orang menyimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar itu, yang walaupun sederhana, tetapi percayalah tidak mudah untuk menjawabnya. Namun, jika belum pernah terbersit dalam pikiran Anda pertanyaan-pertanyaan itu, saya menggelitik untuk mengajak Anda bertanya.

 

Sebaiknya, jangan bertanya kepada orang lain karena Anda yang mampu menjawab semua pertanyaan sederhana itu. Jangan juga meniru jawaban orang lain, kalau pun hasil pergumulan Anda membuahkan jawaban yang sama, itu perkara lain. Tidak seorang pun memiliki pemahaman tentang hidup Anda sedalam dan semengerti Anda sendiri. Andalah yang tahu siapa Anda, untuk apa Anda ada di sini, dan apa yang Anda cari. Hanya Andalah satu-satunya orang yang paham perihal apa saja yang bermakna bagi hidup Anda.

 

Mari kita mulai. Andai terasa sulit, mari kita belajar dari tokoh yang bernama Yesaya. Yesaya adalah anak Amos, ia mulai berkarya sekitar tahun 740 SM, setelah kematian Raja Uzia. Yesaya hidup pada zaman Raja Ahaz. Ahaz tercatat sebagai raja Yehuda yang buruk, 2 Raja-raja 16:2-3 menyebutnya, “…Ia tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN, Allahnya seperti Daud, bapa leluhurnya…, bahkan ia mengurbankan anaknya dalam api, seperti perbuatan menjijikan bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari hadapan orang Israel.” Anda bisa membayangkan jika rajanya saja tidak benar, bagaimana dengan keseluruhan bangsa itu? Penyembahan berhala terjadi di mana-mana, moralitas dipandang sebagai barang usang yang sama sekali tidak ada harganya, fitnah dan berita bohong menjadi santapan setiap hari, keadilan jauh panggang dari api. Sehingga tepatlah kalau Yesaya mengatakan, “Celakalah aku! Aku binasa! sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir,….” (Yesaya 6:5).

 

Meski Yesaya tidak turut larut dalam eforia penyembahan berhala atau hidup seperti kebanyakan orang-orang Yehuda, ia tidak merasa diri suci dan paling benar. Sebagai anak bangsa yang hidup dalam lingkungan bejat moral, Yesaya merasa menjadi bagian dari bangsa itu yang patut mendapat murka Allah. Jika Allah murka dan membinasakan seluruh Kerajaan Yehuda, maka sudah sepantasnyalah demikian! Namun, apa yang terjadi dengan Yesaya? Yesaya waktu itu sedang mengikuti upacara persembahan korban bakaran yang dilakukan para imam. Asap korban bakaran itu memenuhi seluruh ruangan Bait Suci. Yesaya merasa berada di ruang mahasuci. Ia dikelilingi oleh kemuliaan dan kesucian Allah yang duduk di takhta yang menjulang tinggi. 

 

Dalam kesadaran sebagai orang yang berdosa di tengah-tengah bangsa yang berdosa dan Yesaya menyatakan bahwa dirinya akan binasa, namun justru diperkenankan melihat TUHAN! “namun mataku telah melihat Sang Raja, TUHAN Semesta Alam!” Jika bukan karena cinta-Nya, Yesaya pasti binasa. Manusia tidak dapat melihat Allah, lalu tetap hidup (Keluaran 33:20-23). Karena cinta-Nya alih-alih binasa, Yesaya dibersihkan, ia disucikan lidahnya dengan bara api dan kemudian ia diutus kepada bangsanya. 

 

Melalui Yesaya, kita belajar tentang jati dirinya yang tidak lebih dari bagian orang-orang berdosa yang layak untuk dibinasakan. Namun, perjumpaannya dengan TUHAN, membuatnya merasakan dan mengalami cinta kasih Allah yang begitu dahsyat melebih segala kenajisannya dan dengan kesadaran itu, ia tahu dengan jelas untuk apa ia berada di tengah-tengah bangsanya. Tidak lain untuk mengembalikan mereka pada jalan TUHAN. Itulah makna hidup yang tidak hanya untuk diri Yesaya tetapi juga untuk bangsanya!

 

Hal serupa terjadi pada pemanggilan murid-murid Yesus yang pertama. Berbeda dari catatan Markus, tampaknya Lukas menunda menuliskan narasi kisah pemanggilan murid-murid yang pertama ini. Markus mencatat kisah pemanggilan ini di bagian awal Injilnya, yakni ketika Yesus memulai karyanya di Galilea. Membaca kisah ini, mungkin kita menjadi heran. Mengapa? Para murid begitu cepat mengikuti Yesus dengan meninggalkan jala dan ayah mereka. Belum ada pernyataan dan tindakan apa pun dari Yesus yang menjadi dasar kuat untuk mengikuti-Nya. Yang ada hanyalah panggilan Yesus, “Mari, ikutlah Aku!”

 

Lukas seolah mengisi kekosongan yang membuat kita bertanya, mengapa mereka cepat sekali memutuskan untuk mengikut Yesus. Menurut catatan Lukas, para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus karena mereka sudah mengenal siapa Yesus. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus di dalam rumahnya. Di rumahnya, Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang, di danau ini, Simon mengalam kuasa Yesus. Ia yang sepanjang malam menebarkan jala dan tidak menangkap apa-apa tunduk pada sabda Yesus untuk menebarkan jalanya kembali. Ketaatan kepada Yesus itu membuahkan hasil yang mengagumkan. Namun ternyata, bukan hasil melimpah yang menjadi pusat perhatian Simon. Ketaatan kepada sabda itu dan buah dari ketaatan itulah yang menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula ia mengenali Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi kini ia mengenali-Nya sebagai Tuhan (Lukas 5:8). Simon pun kini menyadarinya sebagai orang yang berdosa dan meminta Yesus untuk pergi dari dirinya.

 

Pernyataan Simon sebagai orang yang berdosa tidaklah menghentikan Yesus untuk memanggilnya, “Jangan takut! Mulai sekarang engkau akan menjala manusia”. (Lukas 5:10b). Selang beberapa waktu, Yesus juga mengatakan, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat.” (Lukas 5:32). Tidak hanya Simon, mereka yang bersama-sama Simon meninggalkan segala sesuatunya dan mengikut Yesus. Murid-murid inilah yang kemudian terus bersama dengan Yesus. Mereka jugalah yang kelak akan melanjutkan pelayanan Yesus sampai ke ujung bumi.

 

Belajar dari kisah pemanggilan Simon dan teman-temannya, jelaslah bahwa mereka menyadari sebagai orang berdosa yang berhadapan dengan Tuhan. Mereka merasa tidak layak dan menyuruh Yesus meninggalkan mereka. Apakah Yesus tidak tahu latar belakang dan apa yang mereka pikirkan, jelas tahu. Yesus mengasihi mereka, memulihkan dan meneguhkan. Kini kepada mereka diberikan tugas menjadi penjala manusia. Mengundang sebanyak mungkin orang untuk datang, merasakan, dan mengalami cinta kasih Allah. Kini, Simon dan teman-temannya tahu untuk apa mereka hidup dan memaknainya.

Begitu pula perjumpaan Saulus dengan Yesus. Perjumpaan itu bermuara pada pertobatan. Tidak sekedar ganti nama, Saulus yang kini berganti nama Paulus menghayati bahwa dirinya adalah orang berdosa di hadapan Tuhan, bahkan tidak hanya itu. Paulus merasa dan menganggap dirinya yang paling hina di antara rasul-rasul yang lain. Kasih Kristuslah yang membuat dirinya dipulihkan dan mampu menyaksikan Yesus Kristus adalah Tuhan yang bangkit yang mengasihi orang berdosa. Paulus tahu siapa dirinya dan untuk apa ia hidup.

 

Sekarang, bagaimana Anda dan saya? Yang duduk di sini mengikuti ibadah dan menyimak khotbah. Saya berharap Anda tahu: Siapa diri Anda? Mengapa ada di sini? Dan, untuk apa Anda hidup?

 

 

Jakarta, 6 Februari 2025. Minggu V sesudah Epifani, tahun C