Pecinta kebugaran tubuh pasti mengenal Ade Rai, seorang mantan juara dunia Binaraga yang bahkan di usia lebih dari lima puluh tahun, otot dan penampilannya tidak kalah dari pemuda dua puluh tahunan. Namun, kali ini saya tidak ingin menceritakan pola makan dan Latihan beban yang dilakukannya setiap hari. Di balik tubuh kekar itu ternyata Ade Rai punya segudang ilmu filosofi yang menarik untuk kita simak.
Di beberapa podcast, Ade Rai banyak berbicara tentang kebahagiaan yang sifatnya bukan artifisial. Ia bercerita tentang seekor kucing muda yang berusaha menangkap ekornya sendiri. Mengapa kucing muda itu berusaha menangkap ekornya sendiri? Konon, ia pernah mengikuti kuliah dari “Sekolah Filsafat Kucing” yang mengajarkan tentang kebahagiaan. Bagi para kucing, kebahagiaan itu terletak pada ekornya, berhasil menangkapnya maka paripurnalah kebahagiaan itu!
Di tengah keasyikan kucing muda itu mengejar-ngejar ekornya, muncullah seekor kucing tua yang bijaksana. Kucing tua itu mengamati dengan seksama perilaku kucing muda. Setelah cukup kelelahan, kucing muda itu berhenti. “Mengapa kamu mengejar ekormu sendiri?” Tanya kucing tua. “Dalam pelajaran di sekolah filsafat kucing, di situlah letak kebahagiaan bagi semua kucing!” Jawab si kucing muda sambil menghela nafas.
“Dulu, aku melakukannya juga. Aku pikir, jika aku berhasil menangkapnya, aku akan menemukan kebahagiaan di sana. Tetapi, sekarang aku sadar bahwa aku tidak perlu mengejar ekorku lagi, karena aku tahu, ke mana pun aku pergi, ekorku akan mengikuti aku!” Lalu, kucing tua itu bangkit dan berjalan pergi dengan mengebaskan ekornya.
Dalam batas tertentu, kita mirip dengan kucing muda. Kita mengejar “ekor” kita sendiri dan meyakini bahwa di situlah letak kebahagiaan. Padahal, kebahagiaan itu telah ada dalam diri kita. Kita terlalu fokus dengan pencapaian materi atau uang karena, berpikir bahwa kita akan menjadi benar-benar bahagia ketika banyak uang dan harta benda. Atau kita mengejar jabatan dan takhta karena, kita melihat bukankah orang-orang yang berkuasa leluasa mengatur ini dan itu? Kita berpikir bahwa hanya ketika kita mencapai tujuan-tujuan ini maka kita merasa puas dan bahagia. Tidak salah bahwa dalam orang dengan uang, harta yang banyak dan punya jabatan dapat merasakan bahagia. Namun, sungguhkah sumber kebahagiaan yang sejati itu ada di sana? Betulkah orang yang banyak uang dan jabatan tinggi hatinya tidak pernah gundah gulana?
Yesus bukanlah kucing tua yang bijaksana. Namun, ajarannya kali ini sama bijaknya dengan si kucing tua itu. Barang kali para pendengar-Nya waktu itu sangat haus untuk menjadi orang-orang yang berduit dan punya jabatan. Mereka bosan menjadi jelata, blangsak dan melarat ditambah tekanan penderitaan dari penguasa. Andai kita juga ada di situ dan menjadi bagian dari mereka tentu saja berharap apa yang dulu pernah diucapkan Yesus akan terjadi di sini, yakni: Tahun pembebasan dan rahmat Allah akan terjadi dari diri Yesus yang telah menyatakan sendiri sebagai penggenapan nubuat Nabi Yesaya. Mengikut-Nya bukankah logis berangan menjadi kaya, makmur, sukses dan tersohor?
Namun, kali ini Yesus tidak membawa itu! Seperti si kucing tua, Yesus tidak menawarkan “ekor” diri sendiri yang harus dikejar. Bukan kekayaan, kuasa, berpengaruh yang harus diburu. Di situ bukan sumber kebahagiaan! Lalu, apa? Yesus tahu bahwa mereka yang mengikuti-Nya adalah mereka yang benar-benar lapar, miskin dan tersisih alias marjinal! Ingat loh ini versi Injil Lukas. Lukas menceritakan bahwa mereka yang miskin dan menderita adalah real seperti itu, bukan miskin secara rohani! Nah, kepada mereka ini Yesus menyebutnya sebagai orang-orang yang berbahagia.
Koq bisa, miskin, lapar, menderita dan berduka disebut bahagia? Di sini Yesus mau mengajak pendengar-Nya bahwa mereka juga dapat berbahagia. Kebahagiaan itu tidak berasal dari luar, yakni : harta benda, uang, posisi jabatan dan kehormatan. Bukan itu! Sekali pun mereka miskin, mereka punya kesempatan yang sama untuk berbahagia. Ingat loh bukan berarti orang kaya dan pejabat tertutup kemungkinannya untuk berbahagia.
Kebahagiaan menurut Yesus mengalir dari hati yang meyakini kebenaran dan yang dapat mempertahankannya. Bisa saja mereka miskin namun tidak berbahagia, bisa saja mereka menahan lapar namun tidak berguna dan kehilangan kebahagiaan itu ketika dengan alasan kemiskinan dan kelaparan,mereka merampok dan menjarah; menjadikannya kedok agar orang lain berbelaskasihan. Namun, berbeda ketika orang karena mempertahankan kebenaran, ia bertahan melakukan kehendak Allah, tidak mencuri, tidak merampok, dan tidak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berbuat kriminal, di situlah ia adalah orang yang benar-benar bahagia. Yeremia menyebutnya “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7) Kebahagiaan itu tidak usah dikejar karena ada di dalam dirinya sendiri, dan tentunya TUHANlah yang akan mengganjari dengan kebaikan-Nya.
Sebaliknya, orang yang mencari kebahagiaan di luar, ia tidak peduli dengan prinsip kebenaran. Kompromi dan mungkin juga mengandalkan koneksi. Bisa jadi, ia akan tertawa, terlihat gembira dan bersenang-senang. Lagi, Yeremia mengingatkan “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri dan yang hatinya menjauh dari TUHAN! (Yeremia 17:5). Hal serupa diingatkan Yesus dalam Lukas 6:24-26.
Menjadi jelas, Yesus tidak mengajarkan kepada para pengikut-Nya agar berusaha hidup sebagai orang-orang miskin, lapar dan tertindas. Atau, memusuhi orang-orang kaya dan penguasa. Bukan itu! Siapa pun dapat menjadi pengikut Yesus, baik miskin atau pun kaya. Namun, soal kebahagiaan bukanlah terletak pada seberapa banyak materi yang ada dalam genggaman tangan kita atau seberapa tinggi pangkat dan jabatan kita. Melainkan soal seberapa berani kita mempertaruhkan kebenaran yang terus berdengung di kedalaman sanubari kita. Jika suara kebenaran itu menjadi pandu bagi hidup kita, entah miskin, lapar, tertindas atau kaya raya dan berkuasa akan menjamin kebahagiaan hari ini dan esok; baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Coba bayangkan, sekarang Anda miskin dan lapar, namun Anda bertahan bahwa dengan kemiskinan dan kelaparan Anda. Lalu Anda punya prinsip: Saya akan tetap berbuat baik, saya tidak akan menyalahkan siapa pun, saya bukanlah orang yang paling menderita, saya sangat dikasihi Tuhan dan Tuhan pasti akan membuka jalan dan memberi kekuatan. Maka saya akan bekerja keras dengan talenta yang Tuhan sudah berikan kepada saya! Bukankah jauh di kedalaman hati Anda – meski hidup masih saja tetap sulit – ada senyum kecil buat Tuhan. Ini kebahagiaan otentik! Kebahagiaan kecil ini kelak akan menolongmu saat Yesus mengenalimu sebagai hamba-Nya, “Baik sekali engkau hamba-Ku yang setia, masuklah dalam kebahagiaan kekal bersama-Ku!”
Atau bayangkan ini, Anda seorang kaya raya dan terpandang. Anda bertahan dalam prinsip kebenaran yang telah Anda terima dari Tuhan, maka Anda akan menjalankan usaha dengan bersih, jauh dari suap dan markup, Anda tidak lagi memperhitungkan karyawan sebagai aset atau barang, tetapi berbagi rezeki dan benar-benar memanusiakan mereka, Anda ogah diajak kong kali kong, Anda tidak memanipulasi laporan pajak, walaupun pengelolaan pajak hari ini amuradul. Bukankah Anda akan lega, hati tenang karena tidak ada yang ditutup-tutupi. Ini bahagia! Yakinlah kebahagiaan ini juga akan menjamin Anda di masa mendatang ketika Tuhan menempatkanmu sebagai “domba” yang ada di sebelah kanan-Nya. Jadi, berhentilah mengejar ekormu!
Jakarta, 13 Februari 2025, Minggu VI Sesudah Epifani, tahun C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar