Kamis, 11 Januari 2024

HIDUP BUKAN MILIK KITA SENDIRI

Bayangkan, sejak dalam kandungan Anda sudah diserahkan untuk suatu tugas tertentu. Anda lahir, segera sesudah lepas menyusui tidak lagi ada dalam belaian kasih ibu dan lindungan ayah. Anda harus terpisah dan memulai misi suci itu. Anda tidak berhak memilih bahkan untuk memotong rambut sesuai keinginan Anda pun, tidak bisa. Apa yang Anda punya, bahkan diri Anda bukan milik sendiri. Itulah yang terjadi dengan Samuel, anak nazir dari Hana yang dulunya disebut mandul itu!

 

Itu pula yang terjadi dengan murid-murid Yesus yang pertama. Mereka punya cita-cita, pekerjaan, kehidupan dan dunianya sendiri. Tiba-tiba panggilan itu terjadi, “Ikutlah Aku!” Ya, kesannya janggal. Bagaimana mungkin seseorang menjawab dengan segera perintah orang yang baru saja berjumpa. Terlebih jawabannya menyangkut hidup matinya seseorang. Serius! Namun, itulah yang terjadi. Yesus memanggil mereka dari tengah-tengah keluarga, pekerjaan, kehidupan dan dunia mereka. Injil sinoptis menceritakan bahwa mereka yang terpanggil itu meninggalkan segalanya dan mengikut Yesus. Apa untungnya?

 

Adakah sesuatu yang lebih nyaman dan membuat gembira ketimbang pilihan dan penentuan nasib sendiri? Bukankah, aku bebas menentukan ke mana haluan hidupku? Bukankah hidupku adalah milikku? Benar, tampaknya apa yang kita bayangkan, rancang dan lakukan sendiri dalam kebebasan, itu yang akan membahagiakan kita. Mari kita telusuri adakah sesuatu yang lebih membahagiakan dan menguntungkan ketika kita menyadari bahwa hidup ini bukan milik kita sendiri? 

 

Injil Yohanes mengisahkan pemanggilan para murid Yesus yang pertama itu seperti metode MLM, pesan dan reaksi berantai! Pesan yang bermula dari Yohanes Pembaptis, tiba pada seorang yang bernama Natanael. Perjumpaan pertama Natanael dengan Yesus diawali dengan sanjungan Yesus, “Lihat, inilah seorang Israel sejati!” (Yohanes 1:47). Apakah ini seperti seorang sales marketing yang sedang menawarkan produk agar dibeli? Tentu saja tidak! Ada alasan mengapa Yesus menyatakan bahwa Natanael adalah seorang Israel sejati. Yesus mengenal kedalaman hati Natanael. Orang Israel sejati mengenal tindakan-tindakan Allah dalam Kristus, tidak seperti orang lain yang mengklaim diri sebagai anak-anak Abraham tetapi menolak untuk percaya. Natanael berbeda dari kebanyakan orang Yahudi!

 

Natanael heran bahwa Yesus mengetahu dirinya. Meskipun Yesus hanya secuil mengatakan bahwa ia telah melihatnya tengah berada di bawah pohon ara. Bagi Natanael ini sudah cukup membuktikan bahwa Yesus mengenalnya dengan utuh. Maka tidaklah mengherankan kalau kemudian Natanael mengatakan, “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” (Yohanes 1:48). Bayangkan, Yesus menyatakan kepada Natanael bahwa dia adalah orang Israel sejati dan Natanael mengungkapkan keyakinan imannya bahwa Yesus selain guru, Anak Allah tetapi juga Raja orang Israel. 

 

Orang Israel sejati berjumpa dengan Raja Israel sejati! Kesadaran inilah yang membuahkan tanggapanNatanael untuk mengikut Yesus. Natanael tahu siapa dirinya, dalam hal ini Yesus yang menyatakannya, dan Natanael tahu dengan siapa ia berhadapan, Rajanya sendiri! Jadi, dalam kesadaran inilah Natanael meyakini bahwa ada sesuatu yang lebih baik, lebih besar dan menguntungkan ketika Sang Raja itu memanggilnya untuk turut serta dalam kiprah-Nya yang sebentar lagi akan dilakukan-Nya di tengah-tengah umat Israel itu. Kepadanya, Yesus menjanjikan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar… engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.” (Yohanes 1:50, 51).

 

Benarkah ada yang namanya milik sendiri? Benarkah bahwa tubuh, impian, kerja keras, harta dan kekayaan adalah milik kita sendiri? Kalau itu benar, berarti kita berkuasa untuk mengendalikan semuanya itu. Nyatanya tidak, semuanya yang tampaknya milik kita ternyata tidak bisa kita kuasai dan kendalikan sendiri, bahkan tubuh kita pun tidak dapat kita kendalikan. Kita tidak bisa menahan penuaan, bahkan tidak bisa menghentikan satu saja rambut yang rontok di kepala kita. Jelas, ada otoritas lain yang lebih berkuasa! Dialah Sang Raja itu, Raja yang menyapa, memperkenalkan diri dan memanggil Natanael dan teman-temannya.

 

Lalu, apakah kita tidak boleh punya mimpi, keinginan dan menikmatinya dan semuanya itu harus ditinggalkan dengan panggilan Sang Otoriter itu? Tidak juga demikian. Benar, tampaknya Samuel kecil tidak ada pilihan, ia hidup dalam ruang dimensi keimaman. Namun, bukankah setelah besar ia juga dapat melihat Hofni dan Pinehas, kakak-kakak asuhnya. Bisa saja seorang anak bau kencur ini terlibat dalam tindakan-tindakan amoral dari anak-anak imam Eli. Nyatanya, Samuel merelakan diri untuk taat dalam bimbingan imam Eli dan belajar mendengar panggilan TUHAN. Setelah dewasa, Samuel tahu apa yang terbaik yang harus ia lakukan dan apa yang terbaik bagi bangsanya.

 

Panggilan Yesus Kristus terhadap murid-murid pertama juga bukan bersifat otoriter. Namun, Yesus membawa mereka pada titik kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai ketimbang mengurus kepentingannya sendiri. Ada sesuatu yang lebih berharga ketika mengerti wawasan Kerajaan Allah sehingga mereka mau meninggalkan semuanya demi mengikut Yesus. Benar, bahwa tahap-tahap awal keikutsertaan mereka, mereka belum sepenuhnya mengerti akan apa yang Yesus kerjakan, bahkan hal ini terjadi sampai pada peristiwa kebangkitan itu. Di sinilah kita memahami bahwa mengikut Tuhan perlu terus belajar dan dalam bimbingan.

 

Apakah mengikut Tuhan selalu diartikan meninggalkan segala-galanya seperti kisah murid-murid Tuhan yang pertama? Tentu saja tidak! Dengan kesadaran diri bahwa hidup kita sesungguhnya bukan milik kita sendiri maka Sang Pemilik yang sesungguhnya itu juga punya rancangan yang indah untuk setiap kita. Bisa jadi, dalam rancangan-Nya ada orang-orang tertentu yang Dia siapkan untuk sebuah tugas khusus yang mengharuskannya meninggalkan segalanya. Namun, bisa juga Dia memanggil kita dalam tugas di mana kita berada saat ini.

 

Seperti Yesus memperlihatkan kepada para murid di mana Dia tinggal dan apa yang dikerjakan-Nya. Bukankah, melalui firman-Nya kita juga tahu dan mengenal apa yang dikehendaki-Nya untuk kita kerjakan? Bagi sebagian besar orang, tidak perlu kita meninggalkan segala-galanya untuk memenuhi panggilan-Nya itu. Cukup milikilah hati seperti hati Yesus, kepedulian seperti Yesus peduli, belas kasih dan empati seperti yang Dia miliki. Bukankah seperti yang Paulus katakan bahwa kita adalah bagian dari tubuh Kristus yang harus didayagunakan untuk perbuatan baik. Menjaga diri dari kecemaran dan hawa nafsu karena tubuh kita adalah Bait Allah untuk memperjumpakan sebanyak mungkin manusia dengan Kristus sehingga mereka juga merasakan kasih dan pelukan Yesus!

 

Ingatlah bahwa tubuh dan hidup kita bukan milik kita sendiri. Dalam kesadaran iman Kristiani kita telah ditebus oleh Kristus dan menjadi milik-Nya, oleh karena itu marilah kita pergunakan tubuh dan hidup kita untuk memuliakan-Nya. Caranya? Jangan mengumbar nafsu duniawi, jangan tamak dan serakah, cukupkan diri dengan apa yang kita terima, berjuang terus agar dapat berbagi dengan sesama, pergunakan hidup ini agar bermanfaat bagi orang lain. 

 

Jakarta, 11 Januari 2024 Minggu ke-2 setelah Epifani tahun B

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar