Rabu, 20 Desember 2023

NANTIKANLAH DIA DALAM KETAATAN

Senin, 19 September 1853, Amelia Taylor berada di dermaga Liverpool untuk melepas putranya yang baru berusia 21 tahun memenuhi panggilannya sebagai misionaris. Hudson muda menjawab panggilan Tuhan menuju Tiongkok. Baik ibu maupun anak, sama sekali tidak yakin apakah mereka kelak akan bertemu lagi atau tidak. Tiba saatnya Dumfries, kapal kecil itu mulai menjauh dari tepi dermaga, ibu itu dengan bingung duduk di dermaga dan seluruh tubuhnya mulai gemetar.

Melompati pantai, misionaris muda itu memeluk sang ibu dan berusaha menghiburnya, "Ibu tersayang, jangan menangis. Kita akan bertemu kembali. Pikirkan tentang tujuan mulia yang saya datangi dengan meninggalkanmu! Ini bukan demi kekayaan dan ketenaran, tetapi untuk mencoba membawa Tiongkok mengenal Yesus. 

Hudson Taylor kembali melompat ke seberang, dan ketika kapal menuju ke laut lepas, ibunya berdiri di dermaga sambil melambaikan saputangan. Naik kembali ke tali-temali, Hudson mengangkat topinya dan penuh semangat membalas lambaian perpisahan sang bunda sampai sosoknya menghilang dari pandangan.

Tibalah Dumfries itu menuju Laut Irlandia. Kapal itu menghadapi badai dahsyat dan hanya dapat melaju sedikit saja dalam beberapa hari. Pada Hari Minggu, angin kencang begitu dahsyat. Berjuang menuju dek dari kamarnya pada tengah sore hari, Taylor disambut oleh pemandangan yang tidak pernah ia lupakan. Laut berbuih putih dan gelombang menjulang tinggi di atas kapal di kedua sisinya, sepertinya gelombang itu hendak menggulung kapal itu. Meskipun para kru berupaya sekuat tenaga, angin membawa  kapal ke arah pantai yang berbatu.

"Saya belum pernah melihat laut seganas ini," seru Kapten Morris. "Jika Allah tidak menolng kita, mustahil ada harapan!" Ketika malam datang, bulan terang muncul, tetapi bukan berarti badai reda. Angin tidak henti-hentinya menghantam. Kapal mereka terus-menerus didorong ke arah pantai berbatuan itu. "Mungkinkah skoci bertahan pada laut seperti ini?" Tanya Taylor kepada sang kapten. Ketika Morris menjawab, "tidak bisa!" Taylor bertanya lagi, "Bisakah kita memukul tiang-tiang longgar dan merobohkannya untuk membuat semacam rakit?"

"Kita mungkin tidak akan punya waktu," jawab sang kapten. "Kita mungkin akan bertahan hidup hanya setengah jam saja." Kemudian sang kapten bertanya kepada misionaris muda itu, "Bagaimana panggilanmu untuk bekerja bagi Tuhan di Tiongkok sekarang?"

"Aku tidak ingin berada dalam posisi lain, " sahut Taylor jujur. "Aku masih berharap sampai di Tiongkok. Namun, jika tidak, Tuhanku akan mengatakan itu baik jika aku ditemukan sedang berusaha menaati perintah-Nya!" 

".... Namun, jika tidak, Tuhanku akan mengatakan itu baik jika aku ditemukan sedang berusaha menaati perintah-Nya!" Sebuah kalimat yang menggambarkan ketaatan sesungguhnya. Hudson Taylor meninggalkan ibunya, kampung halaman tempat ia dibesarkan demi sebuah panggilan mengenalkan Yesus kepada orang-orang di Tiongkok. Padahal, bisa saja bersama sang ibu, keluarganya, dan gerejanya ia hidup dan melayani dengan baik-baik saja. Taylor menanggapi panggilan itu dengan kesungguhan dan ketaatan!

Maria, gadis muda belia tentu saja punya impian ketika dilamar oleh sang kekasih, Yusuf. Sangat mungkin ia ingin membangun keluarga kecil yang sederhana. Suaminya kelak akan menjadi seorang tukang kayu kampium. Ia akan menjaga buah hati dari cintanya itu. Membesarkan bersama dan, ah... tentu bahagia!

Betapa terkejutnya kini, tiba-tiba Gabriel, Sang Malaikat itu menyampaikan salam yang tidak biasa. Kehadiranya saja sudah mengejutkan, apalagi berita yang dibawa oleh Sang Malaikat itu. Bagaikan petir di siang bolong yang menghancurkan mimpi-mimpi indah bersama dengan sang kekasih. Mungkin itulah kira-kira ketika kita mencoba menyelami perasaan si gadis desa yang lugu itu.

"Bersukacitalah, selamatlah engkau hai Maria! Engkau memperoleh kasih karunia dari Allah!" Begitu kurang-lebih salam yang disampaikan Gabriel kepada Maria. Salam itu dilanjutkan dengan alasan mengapa Maria bersukacita dan diberkati Tuhan. Maria akan mengandung seorang anak laki-laki yang akan menjadi Juruselamat dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan. "Benar, berita itu sangat agung dan mulia. Tetapi bagimana dengan mimpi-mimpiku bersama Yusuf orang yang kucintai itu?" Dan, bagaimana pula aku harus bercerita kepadanya tentang kehamilanku yang bukan dari darah dagingnya? Tentu ini akan menyakitkan baginya!" Barang kali itu yang berkecamuk di benaknya, dan itulah juga yang menjadi kekalutannya! "Jangan takut!" Malaikat Tuhan itu mengerti gejolak yang terjadi dalam diri Maria. Gabriel meyakinkan bahwa itu semua dalam kendali Tuhan.

Gabriel berusaha meyakinkan Maria bahwa segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah. Gabriel seolah menunjukkan kepada Maria bahwa ada perkara yang jauh lebih penting, jauh lebih besar dan dahsyat ketimbang mimpi-mimpinya bersama dengan Yusuf. Gabriel membuka cakrawala baru buat Maria untuk berjalan bersama dengan rancangan Allah bagi dunia ini. Maka tidak salah kalau Maria disapa dengan salam sukacita. Inilah yang pada akhirnya, dengan kesadaran Maria menjawab panggilan itu, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Lukas 1:38).

Hudson Taylor, Maria dan masih banyak lagi orang-orang yang terpanggil dalam rencana-Nya. Jelas, mereka bukan orang-orang tidak punya rencana. Mereka menjawab panggilan itu. Mereka bersedia menanggalkan mimpin-mimpi mereka untuk sebuah perkara yang jauh lebih mulia, jauh lebih besar. Mereka menyambutnya dengan ketaatan di dalam kasih, bukan karena terpaksa dan dipaksa. Mereka menantikan buahnya dengan sabar.

Tidak mustahil, Tuhan juga sedang merancangkan sesuatu yang indah dan itu melibatkan diri kita. Kita yang sekarang ini sedang berjuang mewujudkan mimpi dan angan kita. Yang mungkin saja sangat logis dan masuk akal untuk kehidupan yang lebih baik. Nah, apakah kita bersedia menyambut rancangan-Nya itu?

Lima bulan kemudian, setelah pelbagai bahaya dan keganasan gelora laut, Hudson Taylor tiba dengan selamat di Tiongkok dan ia memulai lima puluh tahun karyanya dalam misi Allah itu banyak orang menjadi percaya kepada Kristus. Demikian pula dengan Maria, ia setia menantikan kelahiran Sang Imanuel itu bersama dengan kekasihnya, Yusuf.  Sehingga kemudia dia dapat menyanyikan Magnifikat, "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku..." (Lukas 1:46).

Tidak mustahil ketika Anda dan saya menyambut karya Tuhan dengan ketaatan, maka penantian kita tidak akan sia-sia. Ia akan menghadirkan kebahagiaan yang lebih dahsyat dari pada yang bisa diberikan oleh mimpi-mimpi kita sekarang. Jadi, jangan takut berjalanlah bersama dengan Dia yang memanggilmu!

 

Jakarta, 20 Desember 2023, Minggu Adven IV. Tahun B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar