Dalam era dijital ada dua hal yang menarik. Pertama, dengan perangkat gaway orang cenderung hidup asyik dengan perangkatnya. Katanya era sekarang disebut gengan "Generasi menunduk", bukan tunduk berdoa, tetapi menunduk menatap dan memainkan gawainya. Masa bodoh dengan lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang kedua, apakah benar "Generasi menunduk" ini adalah orang-orang yang tidak mau tahu dengan lingkungannya? Ternyata tidak! Kita kenal dengan istilah kepo : rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Paradoks: satu pihak teknologi mendorong kita untuk hidup semakin individual, di lain pihak teknologi yang sama digunakan untuk mewujudkan rasa ingin tahu berlebihan.
Dalam era moderen atau postmoderen, budaya individualisme semakin menguat. Sebagaimana kita tidak mau dinganggu orang lain, kita juga tidak mau mengusik kehidupan orang lain. Sehinggi tema tentang menegur kesalahan terasa kurang pas. Yang penting urus diri sendiri dan keluarga sendiri, jangan mengurusi orang lain. Mereka yang salah akan ada sangsi hukum dan pihak berwenang yang menangani, bukan kita! Begitu kira-kira yang sering kita hadapi bersama.
Kebalikan dengan itu, justru tren yang membarengi individualisme adalah budaya kepo yang ingin menelanjangi kehidupan orang lain, apalagi orang itu adalah pesohor atau publik figur. Banyak kabar buru berseliweran melalui gajet kita. Konon, ini khas Indonesia. Siaran televisi dan portal-portal media dijejali dengan rumor, gosip, cerita-cerita aib, perselingkuhan dan semacamnya! Bayangkan, kalau hal yang seperti ini menjadi konsumsi masyarakat kita setiap hari, apa yang akan terjadi dengan mentalitas bangsa ini? Rasa ingin menelanjangi aib dan kesalahan orang lain merembes juga dalam kehidupan rohani. Youtube, Tik-tok dan yang lainnya dipakai untuk mencela, menghakimi pandangan atau ajaran yang dianggapnya keliru dan sesat.
Antara tidak mau peduli, hidup individualis dan ingin tahu berlebihan yang menjurus pada penghakiman, hari ini kita mau belajar firman Tuhan tentang kepedulian; tentang teguran yang memulihkan. Yesus memberi pengajaran kepada pengikut-Nya, ini berlaku bukan saja pada zaman-Nya, ketika Ia berhadapan langsung dengan para murid, tetapi juga untuk kita saat ini. Yesus mengajarkan bahwa setiap orang yang percaya kepada-Nya bertanggung jawab bukan saja pada dirinya, keluarganya tetapi juga terhadap sesama saudara seiman. Jadi, tidak ada istilah kesalahnmu dan dosamu tidak ada urusannya dengan diriku!
Benar bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Namun, Allah menghadirkan kita sebagai komunitas orang percaya untuk saling mengingatkan, saling membangun dan menjaga. Salah satunya adalah menegur kalau ada saudara seiman yang melakukan dosa atau kesalahan. Teguran bukan perkara mudah, sebab pada dasarnya setiap orang yang ditegur akan merasakan ketidaknyamanan. Sebagiannya akan tersinggung, marah dan merasa dirinyalah yang benar.
Yesus memahami, benar tidak mudah. Tetapi, justru hal ini harus dilakukan sebagai tanda komunitas yang saling mengasihi. Tidak membiarkan saudaranya terjebak dalam dosa yang dapat menghancurkan dirinya dan orang lain. Dalam ketidakmudahan inilah Yesus memberikan petunjuk-petunjuk dengan rinci. Beberapa langkah dalam proses pendamaian ini mencerminkan praktik penanganan orang berdosa dalam jemaat Matius yang diilhami oleh Taurat Musa (Imamat 19:17-18; Ulangan 19:15) dan oleh praktik orang-orang Yahudi pada zaman Yesus (bnd. Aturan Hidup Komunitas Qumran, 1QS 5:24-6:2).
Yesus mengatakan, "Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata..." (Matius 18:18). "Tegurlah" (imperatif elegxon) dalam perkataan Yesus ini bukan berarti menegur dengan nada mencela. Lebih pas dikatakan "yakinkanlah dia", dalam arti "jelaskan dosanya" (Imamat 19:17). Maksudnya bukan mencela, menghakimi dan memarahi saudaranya yang berbuat dosa itu. Bukan juga menunjukkan aib dan kesalahan orang lain agar dirinya dipandang lebih saleh dan benar seperti orang Farisi. Bukan itu! Tetapi menyadarkannya bahwa apa yang dilakukannya itu keliru. Tujuan teguran itu bukan penghukuman, tetapi agar ia menyadari, ia berbalik dan berbaik kembali dengan komunitas jemaat.
Lalu, bagaimana kalau dianya itu ngeyel? Tidak terima dan tidak mau tahu dengan kesalahan yang dilakukannya? Yesus menjelaskan proses selanjutnya. Bila saudara yang berdosa itu tidak dapat diyakinkan akan kesalahannya oleh satu orang saja. Maka perlu dipanggil satu dua orang lagi untuk menambah kesaksian yang membantu menyadarkan. Sekali lagi, membantu menyadarkan. Jadi penambahan orang itu bukan dimaksud untuk menekan dan memojokkan si pendosa. Petunjuk ini sesuai dengan peraturan tentang saksi-saksi dalam proses pengadilan (Ulangan 19:15). Meskipun demikian yang dimaksudkan oleh Yesus bukan dalam tata cara pengadilan umum, melainkan usaha pendamaian dan penerimaan kembali secara persaudaraan.
Bisa terjadi bahwa si pendosa itu tetap ngeyel, tidak mengakui dan menyadari dosanya. Lalu? Bila saudara itu tidak juga mau mengakui kesalahannya maka permasalahannya di bawa dalam komunitas orang percaya, dalam hal ini jemaat lokal atau ekklesia setempat. Artinya jelas bukan diperhadapkan di depan ruang ibadah lalu dibeberkan dosa-dosanya. Bisa jadi yang dimaksud diserahkan kepada jemaat adalah kepada orang-orang yang bertanggungjawab dalaam komunitas lokal itu agar masalahnya dapat ditangani dengan komprehensif; lekap fakta dan datanya. Sekali lagi dalam lingkup jemaat pun tujuannya bukan untuk memojokan orang yang berdosa itu, melainkan untuk meyakinkannya bahwa tindakannya itu salah, dan mereka siap menerima kembali berdasarkan pengakuan dan pertobatannya itu.
Apa yang terjadi kalau sampai sejauh itu pun, orang ini memungkiri perbuatannya? "... Dan jika tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai." (Matius 18:17b). Saudara yang bersalah juga bisa menolak untuk disadarkan dan ia bersih keras tidak mengakui dosanya, baik di depan para murid, jemaat atau bahkan Allah sendiri. Setiap anggota jemaat mesti memandang saudara yang telah melakukan dosa itu sebagai pemungut cukai atau orang yang tidak mengenal Allah (kafir).
Perkataan Yesus ini terasa keras dan mengejutkan. Namun, kita tidak boleh melepaskannya dari perhatian Yesus kepada para pemungut cukai, antara lain Matius sendiri. Yesus justru bergaul dan menawarkan anugerahnya untuk kalangan pendosa ini. Jadi, ketika Yesus mengatakan mereka yang berdosa dan tidak mau mengakui kesalahannya itu sebagai "pemungut cukai" bukan berarti kita harus membencinya, melainkan ini adalah sebuah tantangan. Jika Yesus dapat memenangkan pemungut cukai menjadi murid-Nya, demikian juga dengan gereja.
Gereja harus selalu terbuka bahkan merangkul mereka yang berdosa. Lihat bagaimana Yesus meraih kembali pemungut cukai dan orang berdosa! Tujuan dan cara saling melengkapi. Tujuannya agar orang berdosa sadar dan dapat kembali pada jalan Tuhan. Caranya? Yesus datang, mengajak makan dan menerimanya. Bagaimana cara kita menegur? Buatlah orang yang berdosa itu tidak merasa terancam. Lihat kondisi dan tempat kita bicara, apakah dia tidak sedang merasa dipermalukan? Bahasa apa yang kita gunakan dan intonasi yang kita pilih? Kadang maksud baik kita terhalang oleh cara kita untuk menerima dan memulihkan mereka kembali.
Di
sinilah seni dalam bergereja. Gereja tidak boleh kompromi dengan dosa. Tidak
ada toleransi dengan perbuatan dosa. Namun, gereja selalu terbuka untuk para
pendosa. Gereja harus dapat menyadarkan orang dari perbuatannya yang salah
tanpa orang itu merasa dipojokan, ditekan dan dipermalukan. Gereja adalah Anda
dan saya, jadilah orang-orang yang dapat memulihkan sesama yang sedang
tersandung tanpa kita juga ikut jatuh tersandung!
Jakarta, 5 September 2023, Minggu Biasa Tahun A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar