Kamis, 08 Juni 2023

BELAS KASIH ALLAH

"Saya bilang 'Boss percaya sama saya enggak? Saya bawa lah (Sha Wang) ke Indonesia, saya jaga di sana'. Dia (ayah Sha Wang) nangis, katanya 'nggak ada pilihan lainnya," Ungkap Siti dalam video yang viral beberapa hari belakangan ini.

Siti, tenaga kerja asal Karawang itu nekad membawa pulang Sha Wang yang berkebutuhan khusus. Ia tidak tega melihat perlakuan ibu kandungnya yang tidak mau mengurus, bahkan menolaknya. tidak hanya berhenti di situ, Ibu Sha Wang sempat ingin mengakhiri hidup anaknya itu. Sejak kecil Sha Wang dibesarkan oleh pengasuh dan tinggal bersama ayah dan kakaknya. Sementara ibunya Sha Wang tinggal di rumah lain yang masih satu komplek.

Setelah ayah Sha Wang meninggal, Sha Wang hidup telantar, ibunya yang mengambil alih rumah tidak lagi memngirim uang untuk kebutuhan hidup. Ya, kebutuhan hidup itu lebih besar daripada kebutuhan orang-orang biasa yang tidak membutuhkan kebutuhan khusus. Hanya rasa iba, belas kasihanlah yang mendorong Siti Aisyah nekad memboyong Titi (panggilan Sha Wang) ke kampung halamannya. Ia begitu trenyuh melihat segala kesulitan Titi. Di tangannya yang penuh belas kasihan itu, Titi sudah mulai bisa berdiri dan belajar berjalan, badannya yang selalu menguning sekarang mulai kembali normal dan sedikit-demi sedikit Titi belajar mandiri dalam beraktivitas. Tidak terbayang oleh Siti, apa jadinya kalau Titi ditinggalkan seorang diri?

Belas kasihan lintas budaya, bangsa, keyakinan diperlihatkan ke ruang publik oleh Siti Aisyah. Siti tidak berpikir risiko apa yang bakal dihadapinya. Belas kasihan itu mengesampingkan bagaimana izin tinggal Sha Wang di Indonesia, biaya yang harus dikeluarkan, atau mungkin saja ada tuduhan penculikan dan perdagangan orang. Apa yang dilakukan Siti menuai banyak pujian. Sebagian besar orang berpendapat positif dan mendukung tindakan belas kasihan Siti.

Ya, pada umumnya setiap orang akan tergerak hatinya oleh belas kasihan atau iba ketika melihat penderitaan sesamanya, entah itu karena sakit, musibah kecelakaan, bencana alam, atau kondisi bekebutuhan khusus. Banyak upaya dilakukan untuk mewujudkan belas kasihan itu, di antaranya seperti tindakan heroik Siti Aisyah, membuka website, dompet amal, kotak peduli sesama dan semacamnya. Sejatinya memang kita tidak tahan melihat penderitaan sesama kita bahkan sesama makhluk!

Ketika Yesus Kristus berkeliling dari desa ke desa menyembuhkan orang-orang sakit, mentahirkan orang kusta, memulihkan keadaan manusia bahkan membangkitkan orang mati, sebagian besar orang terharu dan memuji. Mereka kagum atas apa yang dilakukan Yesus. Benar, selalu saja ada yang tidak suka utamanya dari kalangan Farisi, Saduki dan ahli Taurat. Namun, itu segelintir orang. Ketidaksukaan mereka lebih pada sisi pengaruh Yesus yang semakin kuat. Bukan pada tindakan belas kasihan itu sendiri. Mereka yang membeci-Nya takut kehilangan pengaruh dan pengikut.

Apa yang terjadi ketika belas kasihan Yesus itu ditujukan terhadap orang berdosa. Dosanya besar banget, contohnya pemungut cukai! Hal ini tidak mudah diterima. Tidak seperti Yesus menolong orang yang tanpa daksa atau kerasukan Setan, belas kasihan itu mengalir dan hati kebanyakan orang menyetujuinya. Namun, penjahat dan pendosa dikasihani? Tunggu dulu! Bukankah itu yang terjadi, seorang pencuri handphne digebuki habis-habisan nyaris meregang nyawa. Belakangan, anggota polisi yang memeriksanya mengatakan bahwa si pemuda itu mencuri karena ingin mengobati ibunya yang sedang sakit. Meski terlambat, belas kasihan itu tetap mengalir. Si korban memilih memaafkan pemuda pelaku pencurian itu. 

Pemungut  cukai, si pendosa diberi belas kasihan? Oop, tunggu dulu! Pemungut cukai adalah orang yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Penghianat! Dalam Kekaisaran Romawi pengumpulan pajak dilakukan dengan tender, siapa yang bisa memberikan terbesar kepada Kaisar dialah yang ditunjuk menjadi kepala pemungut cukai. Bagi si pemungut cukai, untuk mendapat keuntungan, kelebihan dari target yang disetor harus memungut setinggi-tingginya kepada rakyat. Para pemungut cukai tidak peduli dengan kondisi usaha dan kehidupan ekonomi rakyat, yang penting pajak beserta tambahan yang lainnya harus dibayar. Kalau tidak, serdadu yang disediakan oleh pemerintahan Romawi yang akan menghadapinya!

Masyarakat Yahudi yang berada dalam jajahan Romawi memandang para pemungut cukai sebagai kaki tangan penjajah yang memeras para petani, nelayan dan pedagang. Mereka adalah antek-antek penghianat yang pantas disebut orang-orang berdosa, najis, dan jahat! Namun, apa yang terjadi dengan Yesus? Kepada pendosa publik ini Yesus menawarkan belas kasihan Allah dan memanggil mereka untuk mengikuti-Nya! Bahkan dalam perjamuan malam di rumah Matius itu, tawaran belas kasihan Allah meluas kepada banyak pemungut cukai dan orang berdosa lainnya.

Apa yang terjadi dengan publik yang melihatnya. Coba bayangkan kalau peristiwa itu terjadi saat ini. Viral! Bagaimana mungkit, seorang Guru Yahudi yang saleh kini bersama-sama dengan orang-orang keji, berdosa dalam sebuah perjamuan! Sangat mungkin Anda dan saya akan memviralkan berita ini disertai komentar kutukan pedas. Belas kasihan macam apa pulak yang diperagakan Yesus? Bukankah orang berdosa, pemeras dan sampah masyarakat seharusnya dilibas-binasakan saja? Bukankah ini yang terjadi ketika kita melihat pengadilan kasus-kasus korupsi dan pelecehan seksual? Kita geregetan dan mendukung untuk hukuman mati dan kebiri!

Lalu, bagaimana Yesus menjawab tanggapan pedas orang-orang saleh itu? Jawaban Yesus mengagetkan dengan hikmat-Nya: Tabib diperlukan oleh orang sakit dan bukan oleh orang sehat. Karena itu Yesus, Sang Tabib, mendekati dan memanggil orang berdosa. Itulah tujuan kedatangan Yesus yang sudah menjadi nyata dalam pengampunan dosa untuk orang lumpuh, panggilan seorang pemungut cukai, dan sekarang dalam perjamuan Yesus bersama banyak orang berdosa. Mereka dikontraskan dengan orang benar, maksudnya benar di mata mereka sendiri, dan karena itu mereka tidak mencari Yesus.

Dalam tanggapannya itu, Yesus mengutip Hosea 6:6 yang konteksnya pada waktu itu berbicara tentang kesetiaan (hèsèd) umat Allah (Israel) terhadap Allah sebagai respon mereka terhadap perjanjian Allah. Terjemahan Yunani elos membuka wawasan untuk menafsirkan Matius 9:13, yaitu bahwa yang dikehendaki Allah ialah belas kasihan terhadap sesama manusia yang menderita atau bersalah, dan bukan persembahan. Melampaui arti harfia, persembahan di sini menunjuk pada cara hidup beragama yang mengutamakan ritual ketahiran, makanan halal, hari Sabat, itu semua dipandang lebih utama ketimbangkeadilan, belas kasihan, dan kesetiaan.

Benar, belas kasihan Tuhan terhadap orang berdosa tidak mudah diapresiasi, tidak  mudah diterima oleh orang-orang saleh yang menghayati hidup beragamanya sebagai hal yang suci seturut dengan segala syareaat yang mengharuskannya demikian. Jelas hal ini tidak memberi ruang sama sekali terhadap mereka yang kotor: koruptor, pencuri, penjahat, perampok dan sejenisnya. Termanya, Allah di dalam Kristus punya perhatian serius, punya belas kasihan yang tidak kalah besarnya untuk mereka!

Lalu, apa yang terjadi ketika para penjahat, pendosa yang kotor itu diberi belas kasihan? Bagimana dengan keadilan dan efek jera? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa kejahatan semakin bertambah memenuhi seluruh bumi ini, sebab untuk mereka Yesus mau menghadiri perjamuan?

Belas kasihan Yesus menantang kita yang kini giat hidup saleh dan melayani Tuhan. Yang dengan kesalehan kita, giat juga mengejar dan memperjuangkan keadilan, memberantas korupsi dan sebagainya. Tantangan itu ialah bahwa kita dapat memperjuangankan keadilan, melakukan pemberantasan kejahatan namun pada saat yang sama mewartakan belas kasihan Allah kepada manusia berdosa agar ia pun dapat bangkit dari dosanya dan menemukan jalan kembali kepada Tuhan. Kita terpanggil untuk merangkul mereka dalam kerapuhan kemanusiaannya, sambil menunjukkan jalan pertobatan yang senantiasa terbuka bagi siapa pun yang mau menyambutnya!


Jakarta, 8 Juni 2023, Minggu Biasa Tahun A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar