Kisah berikut saya kutip dari pengalaman James Bryan Smith dalam bukunya, The Good and Beautiful Community. James mengungkapkan kisah seorang hamba Tuhan yang terlibat dalam rapat sebuah panitia. Panitia pembangunan gedung gereja!
Rapat digelar pada malam hari, agenda utamanya adalah mengenai bangunan gedung gereja baru. Ada dua alasan mengapa gereja harus dibangun kembali: pertama, anggota jemaat tidak mengalami pertambahan dalam jumlah. Ini disebabkan karena mereka tidak memiliki ruangan lagi untuk menampung umat yang baru. Semua ruangan telah digunakan dan mereka memerlukan perluasan. Kedua, beberapa orang menengarai gereja yang berlokasi di seberang gereja mereka mengalami pertumbuhan pesat. Beberapa orang anggota gereja mereka pergi ke sana. Dalam rapat itu, beberapa orang berpendapat bahwa mereka hijrah ke gereja seberang oleh karena fasilitas di seberang itu lebih baik!
Sang hamba Tuhan itu meneruskan ceritanya. Dalam rapat itu mereka bertanya kepada seorang arsitektur tentang rancangan bentuk bangunan gereja, perkiraan anggaran dan daya tampung jemaat. “Saya ingin tahu, dapatkah kami membuat sebuah bangunan gereja yang bisa menolong kita untuk bersaing dengan gereja seberang?” Arsitektur itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Sebentar,” lalu ia menarik nafas dalam-dalam dan menjawab, “saya harus merenung apakah saya akan menjawab pertanyaan tersebut dengan pola pikir Kerajaan Allah atau tidak.”
Respon arsitek itu menunjukkan adanya dua pola pikir, dua konsep yang berbeda dalam ruangan itu. Yang satu didasari oleh prinsip-prinsip yang lumrah dilakukan oleh dunia ini seperti, persaingan, kesuksesan yang dinilai dari prestasi, aset, dan keegoisan diri. Yang lain, prinsip yang didasari oleh nilai-nilai Kerajaan Allah, yang ditandai dengan sebuah tempat yang harmonis, kesuksesan yang didasari oleh penghambaan diri, mentalitas melayani, serta kemauan untuk berkorban. Menurut hamba Tuhan itu, kedua konsep ini sering saling bertabrakan dalam sebuah rapat gerejawi. Alasannya, karena para anggota gereja memang dibentuk berdasarkan dua konsep berbeda. Ketika seseorang telah selaras dengan nilai-nilai Kerajaan Allah dan melakukan perintah-perintah itu dalam kehidupan sehari-hari, maka keselarasan itu akan terlihat dari caranya bersikap!
Yesus mengingatkan kepada para murid-Nya dalam sebuah “rapat” setelah perjamuan malam. Kata-Nya, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14:23). Nilai-nilai Kerajaan Allah begitu kuat melekat pada diri Yesus oleh karena Dialah firman yang telah menjadi manusia. Mengasihi Allah adalah manifestasi seseorang hidup dalam zona Kerajaan Allah. Dampaknya, tidak hanya sekedar membicarakannya melainkan – sama seperti Yesus – telah menyatu dalam karakter dan perilaku.
Dalam pengajaran perpisahan-Nya, Yesus mengungkapkan dua kelompok berbeda. Ada kelompok yang menanggapi positif, yakni mereka yang mengasihi-Nya dengan melakukan perintah-Nya. Tetapi ada kelompok yang berbeda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengasihi-Nya. Dunia, mereka yang tidak mengasihi-Nya, tidak akan memegang firman-Nya, apalagi melakukannya. Konsekuensinya, tidak akan pernah mengalami kehadiran-Nya bersama dengan Sang Bapa dan Roh Kudus. Bagi mereka yang memegang firman-Nya, Yesus mengatakan, “Kami akan datang kepadanya dan akan membuat kediaman (monèn poièsometha) bersama-sama dengan dia.” Janji ini mengingatkan kita pada janji Yesus tentang “rumah Bapa”. Yesus menegaskan kembali apa yang sudah dikatakan-Nya di awal bahwa Ia akan pergi ke rumah Bapa dan akan kembali kepada mereka dengan maksud membawa mereka juga ke situ (Yohanes 14:2,3).
Pada saatnya Yesus meninggalkan para murid, Ia tidak meninggalkannya begitu saja. Yesus memberi warisan, yakni: damai sejahtera. Damai (eirènè) yang ditinggalkan Yesus, bukanlah berarti berakhirnya perang, atau suatu keadaan aman dan tenteram menurut ukuran dunia, tetapi “damai sejahtera-Ku” yang diberikan bersamaan dengan Roh Kudus kepada mereka yang mengasihi Yesus dan menuruti firman-Nya. Sebagai terjemahan dari kata Ibrani syalom, kata Yunani eirènè mencakup seluruh pemahaman Injil Yohanes tentang keselamatan yang lazimnya disebut “hidup”. Yesus memberi murid-murid-Nya hidup damai sejahtera yang berakar dalam kesatuan mereka dengan Yesus Kristus dan Bapa. Hal inilah yang akan membuat mereka bertahan dan mampu hidup dalam kebenaran ketika mereka diutus ke tengah masyarakat yang memusuhi dan menganiaya mereka.
Memberikan damai sejahtera tidak lain adalah memberikan hidup abadi. Hidup abadi ini hanya bisa diberikan oleh Bapa melalui Yesus. Oleh karena itu, Yesus mengatakan bahwa damai yang diberikan-Nya berbeda dari damai yang diberikan oleh dunia kepada mereka. Dunia tidak akan memberikan kehidupan abadi sebab dunia telah menolak Dia yang memberi hidup.
Kata-kata wasiat perpisahan ini mencerminkan suasana orang percaya setelah kepergian dan kebangkitan Yesus. Saat Yesus secara fisik tidak lagi tinggal bersama-sama dengan mereka, mereka tidak perlu gelisah. Kesetiaan terhadap Yesus dan firman-Nya akan memberikan pengalaman-pengalaman baru. Malah, kesetiaan untuk melakukan firman-Nya merupakan tanda yang menyatukan mereka dengan Yesus Kristus dan Sang Bapa. Firman Yesus yang berasal dari Bapa memberikan bagi siapa saja yang melakukannya bukan hanya pengalaman akan kasih Bapa dalam hidup sekarang, tetapi juga harapan bahwa Yesus yang telah pergi kepada Bapa, akan datang membawa kita kepada tempat-Nya untuk tinggal bersama Bapa dan Anak.
Jangan gelisah! Sebab, Roh Kudus akan hadir untuk menolong dan mengingatkan umat tentang ajaran dan firman Yesus serta kemudian menemukan maknanya untuk setiap situasi baru. Roh Kudus yang adalah Roh Kebenaran akan menolong kita untuk memahami maksud Injil di tempat dan zaman kita yang jauh dari Galilea atau pun Efesus pada abad pertama. Kasih setia kepada Yesus dan firman-Nya di dalam Roh Kudus akan membawa kita pada pengalaman-pengalaman lain. Dalam keadaan dunia yang secara nyata tidak aman bagi pengikut Yesus, mereka yang percaya dalam damai sejahtera yang diberikan Yesus, mereka akan dapat hidup tanpa terganggu oleh permusuhan lingkungan.
Kepergian Yesus tidak lagi menjadi peristiwa dukacita, yang menimbulkan kegelisahan. Damai sejahtera ditinggalkan Yesus agar para murid dapat menghadapi kegentaran dan kesulitan di kemudian hari. Mereka tidak perlu gelisah dan gentar karena kepergian Yesus, karena kepergian itu bukanlah akhir dari segalanya. Yesus memang akan pergi, tetapi Ia akan datang kembali. Mereka bahkan harus bersukacita karena Yesus pergi kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Kepergian Yesus menjadi momentum baru bagi para murid untuk “membuka wasiat”, yakni menerjemahkan wejangan Yesus itu dalam kehidupan nyata. Bersama dengan Roh Kudus, karya kasih Yesus Kristus akan tampak terus sampai pada kedatangan-Nya kemudian.
Inilah saatnya, kita yang telah menerima warisan damai sejahtera itu untuk menghidupinya. Sehingga dalam pelayanan gerejawi dan rapat-rapatnya, juga dalam kehidupan keluarga, bisnis dan pekerjaan kita tercerminlah sebagai orang-orang yang benar-benar menerima warisan yang berharga itu. Sebaliknya, coba bayangkan kalau setiap orang Kristen hanya memikirkan kepentingannya sendiri, egois, tidak mau mengalah baik dalam urusan gerejawi maupun dalam bisnis. Apa kata dunia?
Jakarta, Minggu Paskah ke-6 Tahun C 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar