Kamis, 05 Mei 2022

EVERLASTING LIFE

EVERLASTING LIFE

 

Panjang umur adalah salah satu doa yang sering kita ucapkan untuk teman, kerabat dan sahabat kita yang berulang tahun. Mungkin itu adalah harapan kita juga. Namun, seriuskah kita dengan doa dan harapan itu? Michael Hebb dalam karyanya “Let’s Talk About Death Over Dinner” memberi judul dalam setiap babnya dengan kalimat tanya. Ada sebuah bab yang menarik tentang seberapa keinginan orang untuk meraih umur panjang. Judul bab itu, begini: “Jika kamu bisa memperpanjang hidupmu, berapa BANYAK tahun yang akan kamu TAMBAHKAN? Dua puluh, lima puluh, seratus, selamanya?”

 

Tampaknya Hebb serius, ia menanyai beberapa orang. Di luar dugaan, ternyata beberapa orang perpendapat, dengan usia yang panjang justru merupakan kondisi mengerikan. “Dengan asumsi kualitas hidup yang baik - cukup lama untuk memiliki hubungan yang bermakna dengan cucu-cucu kesayangan - maka mungkin tambahan dua puluh tahun… jawaban sederhana adalah bahwa aku ingin hidup selama itu masih kata kerja. Aku ingin hidup sampai hari akuy tidak lagi menggendong cucu, mengingat nama anak-anakku, mengemudi, memberi makan diri sendiri, dan berjalan tanpa bantuan serta sehari setelah kehilangan teman baik terakhirku. Aku telah melihat betapa kesepiannya menjadi satu-satunya yang tersisa. Jika itu lima puluh tahun, itu akan bagus. Namun, … sisi lain pertanyaan itu adalah aku tidak yakin ingin hidup di dunia dengan perubahan iklim yang tidak terkendali. Aku merasa, aku akan sangat merindukan hari-hari ketika kita memiliki keindahan alam yang dunia inginkan untuk kita tinggali.” Begitu salah satu tanggapan favorit dari survei yang dilakukan Hebb.

 

Sangat mungkin, kita berpikir dengan cara demikian ketika usia beranjak tua dan kondisi menjadi renta. Alih-alih kebahagiaan, hidup menjadi susah dan kesepian. Kehilangan makna! Kalau demikian, mestinya kehidupan kekal yang dijanjikan Tuhan Yesus bukan berarti hidup dengan umur panjang yang tidak kunjung mati. Melainkan, kehidupan kekal itu sejajar dengan kehidupan yang bermakna; kehidupan yang berkualitas. Banyak orang mengartikan bahwa kehidupan kekal itu hanya diperoleh di seberang kematian. Kita akan dibangkitkan dan memperoleh ganjaran hidup kekal!

 

Benar! Kehidupan kekal sepenuhnya dikaruniakan Allah setelah kita berjuang di dunia ini. Namun, hal ini bukan berarti selagi kita hidup di dunia tidak dapat menikmati kehidupan kekal itu. Jika saja kehidupan kekal itu dikaitkan dengan hidup yang bermakna dan hidup yang berkualitas, justru di dunia inilah kita harus memberi makna pada kehidupan kita. Hidup kita harus menampakkan hidup yang berkualitas. Kualitas sebagai domba-domba gembalaan Yesus Kristus!

 

“Death be not proud”   merupakan kalimat pertama sonata abad ke-17 yang ditulis oleh John Donne, yang selama berabad-abad digunakan untuk mereka yang sedang berkabung, dengan keyakinan bahwa kematian hanya sebuah gerbang menuju kehidupan abadi. Ini merupakan suatu cara untuk tidak membiarkan kematian dipandang sebagai suatu kemenangan terhadap kita. Salah satu pelajaran penting berharga adalah bahwa kematian berjalan paralel dengan cara memandang kehidupan. Jika kematian hanya dipandang sebagai musuh yang pada akhirnya mengalahkan kita, maka kehidupan kita tidak bermakna (David Kessler : Finding Meaning: The Sixht Stage of Grief). Selanjutnya, Kessler menguraikan bahwa kematian menjadikan hidup lebih bermakna. 

 

Ketika kita sadar bahwa hidup kita di dunia ini berujung pada kematian, maka kita akan menjadikan kehidupan ini penuh makna. Tidak main-main dengan waktu atau kesempatan yang Tuhan berikan untuk kita hidup. Sebab, di balik kematian itu ada gerbang kehidupan abadi. Nah, apakah gerbang itu akan terbuka lebar untuk kita atau tertutup rapat? Ini sangat bergantung dari bagaimana kita hidup sekarang ini.

 

Hidup abadi sangat bergantung pada masa kini, selagi kita hidup. Hidup abadi itu bersumber pada sikap iman kita sekarang kepada Kristus, apakah menyambut atau menolaknya. Apakah kita benar-benar telah menjadi domba-domba gembalaan-Nya atau bukan. “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku”(Yohanes 10:27-28). 

 

Mengapa Yesus dapat memberikan hidup yang kekal? Sebab, Yesus adalah Sang Firman yang sehakekat dengan Allah. Kebangkitan-Nya menegaskan bahwa Yesus adalah Yesus sehakekat dengan Allah Bapa yang kekal sehingga berkuasa memberikan kehidupan yang abadi. Domba-domba tidak dapat direbut dari tangan Yesus karena tangan-Nya menyatu dengan tangan Bapa. Kesatuan tangan ini mengungkapkan siapakah Yesus sesungguhnya sebagai Mesias - ini yang sulit dipahami oleh mereka yang “di luar” Yesus, yang menuntut-Nya membuktikan kemesiasan-Nya. Seharusnya mereka dapat melihat, di mana Yesus bertindak, di situ Bapa bekerja (bnd. ayat 25: pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa). Dalam pekerjaan Yesus, Allah sendiri bekerja dengan penuh kuasa. Karena itu hubungan Yesus dengan murid-murid-Nya; sama seperti hubungan Gembala dan domba tidak dapat diputuskan oleh apa dan siapa pun. Inilah hidup abadi (everlasting life)! Dasarnya adalah kuasa Bapa yang telah memberikan mereka kepada Yesus; kesatuan Yesus dengan Bapa. “Aku dan Bapa adalah satu.”

 

Makna kalimat ini hanya dapat dimengerti oleh “kawanan domba Yesus” sehingga makna kalimat ini akan membawa setiap kawanan domba itu memberi makna dalam hidup mereka masing-masing. Sebab, di luar kawanan domba gembalaan-Nya, mereka menuntut Yesus membuktikan Mesias seperti apa yang dulu dilakukan oleh Yudas Makabeus yang melawan Raja Siria, Antiokhus Epifanes yang telah menajiskan Bait Allah itu. Mereka berharap Yesus membuktikan kuasa Mesias yang melebihi Yudas Makabeus itu. 

 

Tentu saja Yesus sangat sedih dengan sikap mereka itu. “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang Kulakukan dalam nama Bapa-Ku, itulah yang memberikan kesaksian tentang Aku, tetapi kamu tidak percaya, karena kamu tidak termasuk domba-domba-Ku.” (Yohanes 10:25,26). Apakah kita juga termasuk kelompok ini? Bisa jadi iya. Ketika yang kita pikirkan adalah ambisi kepentingan diri sendiri, ambisi untuk menaklukkan orang atau kelompok lain, keinginan untuk memegahkan diri dan semacamnya maka kita tidak pernah akan mengerti apa yang diajarkan dan dinyatakan oleh Yesus Kristus. Mengenal dan percaya kepada Yesus tidak sama dengan mendapatkan kepastian akan salah satu gelar yang tersedia.

 

Sebaliknya, kita akan disebut domba-domba-Nya ketika kita memenuhi apa yang dikatakan Yesus, yakni : mendengar dan mengikuti Sang Gembala! Ciri penting seorang beriman sudah terangkum di sini. Orang beriman mendengar dan mengikuti Yesus, mempercayai-Nya sebagai Mesias yang melampaui segala bayangan dan khayalan selama ini. Orang-orang yang dalam rentang waktu kehidupannya memilih sikap seperti ini merekalah yang kelak diberikan hidup abadi (ainios) oleh Yesus Kristus. Mereka tidak akan binasa. Siapa pun tidak bisa merebutnya dari tangan Gembala baik!

 

Dalam iman kepada Yesus, kita akan semakin menemukan siapa Dia, Sang Mesias Gembala yang berbicara dan bekerja dalam kesatuan dengan Sang Bapa. Dalam diri Yesus, Bapa sendiri hadir bersabda dan bekerja di tengah kita, dan memberi kita kepenuhan yang tidak akan binasa. Dalam iman, kesatuan kita dengan Kristus membuat kita bisa tinggal bersama-Nya saat sekarang juga. Dalam tinggal bersama-Nya, menjadi kawanan domba gembalaan-Nya, kita akan mengalami makna hidup itu. Ya, makna hidup yang menuntun kita pada kehidupan abadi!

 

Jakarta, Minggu Paskah ke-4 Tahun C, 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar