Jumat, 29 April 2022

KERAMAHAN YANG MENGGEMBALAKAN

Api unggun! Bagi kaum muda yang mengadakan acara out bond, retret, dan yang sejenisnya tidak asing. Bahkan acara api unggun kerap dinantikan. Seputar api yang membakar ranting dan potongan kayu, di bawah atap langit yang dingin ada kenikmatan tersendiri. Kita bisa ngobrol ditemani kopi, jagung dan ubi bakar. Bernyanyi bersama, talent show, atau yang lebih berat dan mendalam: merenung, berefleksi dan membuat komitmen. Dedication service!

 

Kala itu dalam pelukan dinginnya malam. Petrus mencari kehangatan. Ia duduk di dekat api, namun tanpa disadarinya ada seorang hamba perempuan yang mengamat-amati lalu mengenali wajahnya dan berkata: “Juga orang ini bersama-sama dengan Dia.” (Lukas 22:26). Sial! Api unggun itu tidak lagi ramah dan menghangatkannya. Alih-alih sinarnya membuka wajahnya. Seketika tudingan si hamba perempuan itu membuat Petrus gusar, “Bukan, aku tidak!” Di seputar api itulah penyangkalan pertama Petrus terhadap Yesus.

 

Setelah lewat beberapa hari, kembali kehangatan api unggun itu tidak bisa dihindari Petrus. Traumakah dia? Bisa jadi! Seperti pengalaman beberapa orang yang “dipaksa” menyajikan talentanya di hadapan teman-teman yang semakin membully-nya mana kala ia terlihat begitu malu. Mukanya semakin memerah terpapar cahaya api. Ia mati kutu karena memang tidak bisa tampil di hadapan orang banyak!

 

Yesus, Sang Guru yang pernah disangkalnya tiga kali, ada di hadapan perapian itu. Ia menyediakan roti dan ikan bakar. Perut yang lapar dan dingin setelah berjam-jam berusaha menangkap ikan di danau, tentu sangat merindukan hidangan hangat itu. Namun, bisa saja Petrus berpikir bahwa ini “jebakan” yang kemudian akan menghakiminya, menuntut dan menggugatnya atas ketidaksetiaan dan penghianatan terhadap Sang Guru.

 

Marilah dan sarapanlah!” Sang Guru yang dulu membasuh kaki mereka, kini menyajikan apa yang mereka butuhkan. Ikan dan roti di atas arang menjadi tanda keramahan. Tidak hanya menyiapkan, Yesus bahkan maju ke depan mengambil roti dan memberikannya kepada mereka demikian juga dengan ikan itu (Yohanes 20:13). Tak pelak lagi Yesus bertindak sebagai “tuan rumah” yang melayani murid-murid-Nya sendiri. Inilah sejatinya keramahan!

 

Saya percaya, Anda akan setuju dengan saya bahwa, keramahan bukan sekedar basa-basi ucapan bibir, atau menghidangkan makanan lalu di balik itu ada maksud tersembunyi yang berujung menguntungkan bagi diri sendiri. Ini bukan keramahan, melainkan strategi bisnis! Apa yang dilakukan Yesus adalah untuk memulihkan kembali kondisi para murid, khususnya Petrus. Tidak bisa dipungkiri, mereka mengalami trauma mendalam. 

 

Kini, di hadapan api, Yesus memberi kehangatan dan memulihkan. Secara khusus, Yesus memulihkan Petrus. Pada waktu pemanggilan murid-murid pertama, Yesus menyebut Simon Petrus sebagai “Kefas”, yang artinya “Batu Karang”. Di atas batu karang inilah komunitas orang percaya dibangun. Ciri-ciri Petrus sebagai pemimpin sudah tampak dari awal. Ia tampil atas nama kelompok dua belas murid untuk menyatakan imannya kepada Yesus. Petrus jugalah yang selalu lantang berbicara mengenai apa yang harus Yesus lakukan dan yang tidak boleh Ia lakukan. Petrus juga yang berusaha mencegah agar Yesus tidak ditangkap. Ia menghunus pedang dan memotong telinga hamba Imam Besar.

Akhirnya ketika terlihat Yesus begitu rentan, orang kuat sekaligus lemah ini jatuh dan mengatakan bahwa dirinya bukan murid Yesus. Sang “Batu Karang” jelas bukan lagi batu karang. Ia lembek, lemah dan rapuh, Petrus perlu dipulihkan!

 

Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”Rupanya Petrus telah belajar, ia tidak memberikan jawaban seperti sebelumnya “Tentu, dan saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu.” Tidak demikian. Ia telah diajar untuk rendah hati oleh pengalamannya, ia mengenal kelemahan-kelemahan dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Yang dapat ia katakan, sangat mungkin dengan suara gemetar dan lirih, “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Lalu Yesus menjawab dengan tugas perutusan, “Gembalakanlah domba-domba-Ku!” Tiga kali Yesus bertanya dengan pertanyaan yang sama dan tiga kali juga Ia menjawab dengan jawaban yang sama.

 

Petrus sedih karena Yesus mengulangi pertanyaan yang sama sampai tiga kali. Mungkin saja pertanyaan yang diajukan Yesus sebanyak tiga kali mengingatkan Petrus pada penyangkalannya sebanyak tiga kali juga. Bisa jadi ia sedih karena Yesus tahu bahwa dirinya adalah pribadi pengecut dan penghianat. Namun, melalui percakapan itu, yang jelas Yesus meneguhkan Petrus sebagai pemimpin dengan tugas menggembalakan. Petrus sudah diampuni, ia sudah dipulihkan dan sekarang sudah menjadi lebih rendah hati, menjadi gembala bagi domba-domba-Nya. Domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Yesus. Ia tidak punya hak untuk menguasai domba-domba itu; ia diberi tugas untuk membantu mereka agar berada dalam kesatuan dengan Yesus, agar mendengar suara Yesus.

 

Kawanan domba-domba itu bukan suatu industri atau perusahaan komersial, tempat Petrus diangkat menjadi menejer yang harus efisien dan membawa keuntungan. Bukan! Kawanan ini adalah mereka yang  dipanggil oleh Yesus sendiri untuk berkembang dalam kasih dan keramahan. Petrus dipanggil terutama untuk memberi makan yang kecil, yaitu arnia (anak-anak domba), untuk memberi perhatian lebih kepada mereka, untuk berada bersama mereka, mereka yang tidak bisa menjaga diri mereka sendiri, yang tersesat dan kesepian, yang lemah, sakit dan lapar, yang tersingkir dan tersisih dari masyarakat. Inilah tugas perutusan itu. Sama seperti Sang Bapa mengutus-Nya dan Dia menerjemahkan benar-benar sebagai Gembala Yang Baik, demikian juga Petrus.

 

Tak pelak lagi, tugas perutusan Petrus menjadi tugas utama gereja. Orang-orang miskin, kecil, lemah, dan tidak bisa menjaga diri mereka sendiri ada di pusat perhatian Gereja. Gereja yang mengaku Yesus sebagai Gembala Agung harus meneruskan cinta dan keramahan terhadap mereka. Gereja tidak boleh menutup pintu dan memilah hanya menyambut ramah domba-domba gemuk. Ingat, kawanan domba itu bukan industri, perusahaan, aset atau komersil yang harus menguntungkan secara finansial. 

 

Keramahan kepada mereka yang papa, lemah dan tersingkirkan bukan juga dikelola dan “dijual” seperti iklan yang kemudian mendatangkan imbal balik. Tidak! Keramahan adalah penerimaan tulus dan pemberdayaan. Membangun komunitas yang saling peduli dan tumbuh bersama sebagai tubuh Kristus. Keramahan yang membebaskan orang dari rasa bersalah dan kemudian menemukan kembali potensi diri untuk hidup yang lebih berkualitas.

 

Gereja sebagai “api unggun” bukan gereja yang pandai menunjuk dan menghakimi. Melainkan, memberi kehangatan, menghidangkan dengan ramah dan penuh cinta “roti dan ikan” lalu meneguhkan dan menguatkan.  

 

Jakarta, Minggu Paskah ke-3 tahun C 2022

Tidak ada komentar:

Posting Komentar