Anda bisa bayangkan seperti apa raut wajah Yohanes Pembaptis yang menurut keyakinannya adalah orang yang menyiapkan jalan untuk Sang Mesias, kini melihat Sang Mesias itu membawa muridnya bukan digembleng tentang hidup pertobatan alih-alih dibawa ke tempat perkawinan. Pesta! Bagaimana pula Yohanes dapat memahami bahwa Sang Mesias tidak membawa kapak yang siap menebang pohon yang tidak berbuah? Di manakah karya Dia yang akan membaptis dengan Roh dan api? Wajarlah ketika di kemudian hari Yohanes mempertanyakan, betulkah Dia ini? Atau haruskah kami menantikan yang lain? (bnd Lukas 7:18-19).
Hal pertama yang dilakukan oleh Anak Domba Allah menurut Injil Yohanes adalah memilih lima orang murid dari Galilea, desa kampung halaman-Nya, sebagian di antara mereka adalah murid Yohanes Pembaptis. Kita mungkin membayangkan, Yesus mestinya memberikan pembinaan spiritual dan intelektual kepada orang-orang ini, khususnya mereka yang akan memegang peranan penting setelah nantinya Yesus kembali ke surga. Sebenarnya wajar atau setidaknya begitulah yang berlaku pada zaman-Nya: Yesus meluangkan waktu yang cukup dengan mereka, berbagi dan berdoa bersama mereka, membawa mereka ke padang gurun untuk merasakan pengalaman rohani, atau membawa mereka ke sekolah untuk memperdalam pengetahuan orang-orang kecil sederhana ini agar kelak fasih berdebat dengan para pemuka agama.
Namun justru Yesus membawa mereka ke suatu perayaan besar, pesta pernikahan di Kana, Galilea. Di sanalah mereka mulai peziarahan iman. Pada zaman itu lazimnya pesta pernikahan berlangsung kira-kira satu minggu. Menarik, dalam bahasa Aram, kata “pesta nikah” mempunyai akar kata yang sama dengan “minum”. Itu berarti pesta nikah adalah saat orang bergembira dan bersenang-senang. Pernikahan adalah kesempatan istimewa di mana keluarga dan tetangga serta penduduk desa dapat berkumpul. Pernikahan adalah realitas manusiawi yang indah. Orang mengenakan pakaian paling bagus, bergembira, bernyanyi, menari, berkelakar, tertawa dan bersenda gurau bersama.
Yesus mengajak murid-murid-Nya yang baru ke dalam realitas manusiawi. Rombongan Yesus lebur dalam sukacita pernikahan! Maka sulit dibayangkan kalau Yesus duduk di sana sendirian dengan wajah ja’im, tampang serius hanya berbicara lirih dengan satu atau dua orang dan pada saat terakhir Ia mengadakan mukjizat. Sebaliknya, pasti Yesus menjadi bagian dari pesta itu: bernyanyi dengan semua orang, bergembira dalam pesta, merasakan kebahagiaan bersama keluarga mempelai.
Yesus sungguh-sungguh begitu manusiawi! Yesus merayakan pesta itu, karena pesta nikah adalah perayaan kasih. Dan Yesus datang untuk menyatakan, meneguhkan, dan memperdalam kasih. Bagi Yesus, pernikahan bukanlah penjara kesetiaan yang menjemukan, melainkan suatu tanda persatuan suci yang dibungkus kasih yang memungkinkan orang untuk berkembang dalam pengampunan, kelembutan, kebaikan, dan bela rasa.
Di tengah-tengah pesta itu terjadilah hal yang membuat cemas. Kondisi yang dapat merusak kegembiraan. Keluarga mempelai cemas dan panik, anggur habis! Ini sangat memalukan bagi tuan rumah si empunya pesta. Ibu Yesus yang tampaknya kerabat dekat mempelai segera mengambil inisiatif. Ia tergerak oleh belas kasihan lalu berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur!” (Yohanes 2:3) Yesus segera tahu apa arti ucapan sang bunda ini. Namun, tampaknya Ia enggan untuk melakukan apa yang diharapkan sang bunda, “Mau apakah engkau dari Aku? Saat-Ku belum tiba!” Dalam dialek Semit, ini pertanda Yesus menolak untuk bertindak. Maria yang menjadi perantara orang yang sedang dalam kesulitan agar tidak dipermalukan itu tampaknya tidak tersinggung apalagi marah. Ia meyakini bahwa anaknya pasti tahu cara dan waktu terbaik untuk menolong keluarga itu sehingga ia menemui para pelayan dan berkata kepada mereka, “Apa yang dikatakan-Nya kepadamu, buatlah itu!” (Yohanes 2:5)
Benar apa yang diyakini Maria. Tidak berapa lama, Yesus meminta para pelayan mengisi enam tempayan dengan air. Tempayan-tempayan yang semula digunakan untuk membasuh kaki, masing-masing berisi seratus liter atau lebih. Untuk mengisinya pasti diperlukan tenaga dan waktu. Kemudian Yesus meminta mereka mengambil air itu dan membawanya kepada pemimpin pesta. Kita mungkin berpikir, sebagai pelayan mereka tidak bisa menolak. Apa pun yang diperintahkan harus dilakukan. Namun, bayangkan betapa mereka juga punya risiko. Bagaimana kalau air itu tetap air. Apa jadinya dengan reaksi si pemimpin pesta itu? Mungkin mereka akan sangat-sangat dipermalukan dengan membuat lelucon konyol itu!
Namun, betapa besar iman dan kepercayaan para pelayan itu. Mereka melaksanakan apa yang diperintahkan Yesus. Mereka adalah orang-orang sederhana dan rakyat jelata. Bayangkan betapa mereka terkejut ketika mereka melihat bahwa ternyata itu anggur! Yesus menggunakan iman orang-orang sederhana untuk melakukan hal-hal yang indah. Kini, dalam keluarga itu tersedia anggur yang melimpah. Kelimpahan anggur pertanda Mesias sudah tiba itulah sebabnya Nabi Amos berseru, “Sesungguhnya, waktunya akan datang demikian firman Tuhan,… gunung-gunung akan meniriskan anggur baru, dan segala bukit akan kebanjiran. Aku akan memulihkan kembali umat-Ku Israel … mereka akan menanam kebun-kebun anggur dan minum anggurnya.” (Amos 9:13-14).
Dengan mengubah air menjadi anggur, Yesus menyatakan bahwa Ia ingin mengubah air kehancuran kemanusiaan kita menjadi kegembiraan; sukacita. Agar dapat melakukan hal ini Yesus membutuhkan kerja sama kita. Ia membutuhkan kesediaan untuk percaya dan tunduk pada apa yang menjadi perintah-Nya. Seperti halnya Ia membutuhkan iman, kepercayaan dan kerja keras hamba-hamba yang mengisi enam tempayan dengan air penuh. Ia membutuhkan kepercayaan dan iman kita. Ia membutuhkan kita untuk bekerja dalam transformasi batin yang menghayati kemanusiaan kita dengan utuh. Yesus sedang membawa kita ke dalam pesta “pernikahan” yang abadi. Pesta ini bukan sekedar khayalan yang akan kita alami sesudah kematian. Pesta ini dapat dimulai dari sekarang dengan masuk ke dalam relasi yang utuh, penuh kepercayaan dan bersahabat dengan Yesus. Itulah kegembiraan - sukacita!
Injil Yohanes mulai dengan perayaan yang amat indah, mengagumkan, dan amat manusiawi. Ada nyanyian, tawa ria, dan anggur. Bukankah ini semua juga mengingatkan kita akan pentingnya perjamuan dan perayaan dalam kehidupan kita? Agama tidak melulu menyangkut hal-hal serius sehingga kehilangan kegembiraan dan humor. Hal hakiki yang Yesus ajak pertama-tama kepada murid-murid-Nya yang baru adalah tentang realita manusia, tentang relasi, perayaan dan persekutuan dalam kegembiraan kasih. Manusia diciptakan untuk merayakan kehidupan.
Jika Yesus berkarya dalam perayaan kehidupan. Ia mengatasi dan menjadi solusi dari sebuah persoalan. Maka kini pun Allah terus berkarya. Ia hadir dalam hal-hal manusiawi yang tidak selalu doktrinal, kaku dan beku. Ia berkarya melalui orang-orang sederhana yang tentunya punya kepekaan batin terhadap suara panggilan-Nya.
Benar, ada waktunya Sang Mesias menampakkan kuasa-Nya. Namun bukankah Ia lebih banyak tampil dalam kesederhanaan dan berbagi bersama-sama dengan orang-orang sederhana? Orang-orang sederhana itu diajak-Nya masuk ke dalam realita kemanusiaan, berbaur dan menjadi bagian utuh dari komunitas. Kini, kita pun bersama-sama dengan orang-orang yang menyambut-Nya diajak untuk memasuki dunia nyata. Komunitas yang sedang tenggelam dalam ketiadaan asa dan harap. Kita diajaknya untuk mengubah air kehancuran kemanusiaan menjadi sukacita yang tidak memabukkan. Caranya? Sederhana seperti Maria, seperti para pelayan pesta, tidak membantah tetapi menuruti apa saja yang diperintahkan-Nya. Keajaiban sulit terjadi di tengah polemik dan perbantahan. Namun, ada banyak cerita keajaiban ketika orang menuruti apa yang dikehendaki-Nya. Anda dan saya sangat berpotensi dipakai Allah menjadi buah karya-Nya, tinggal kini kita menjawabnya!
Jakarta, 12 Januari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar