Berbicara tentang kedaulatan, mengingatkan saya pada seorang filsuf Stoa, Epictetus. Epictetus lahir dalam situasi yang tidak menyenangkan. Ia dilahirkan sebagai seorang budak di Kota Hierapolis, kini Turki pada tahun 55 M. Namanya berarti “diperoleh”. Beberapa catatan tentang dirinya menyatakan bahwa ia dipukuli dan disiksa majikan pertamanya, dan kakinya patah sangat parah sehingga dia pincang seumur hidupnya. Namun, dia cukup beruntung mendapatkan majikan kedua yang bijaksana, bernama Epaphroditus, yang membolehkannya belajar di bawah bimbingan filsuf Stoik terbesar pada zamannya, Musonius Rufus.
Berangkat dari masa lalu kehidupannya yang penuh traumatis, alih-alih menjadikannya beban, ia memaknainya. Sebagai seorang budak, ia bisa diperlakukan apa saja: dipukuli, disiksa, atau dihukum mati. Sama sekali kehilangan hak! Epictetus berusaha mengatasinya. Tetap tenang dan memiliki jiwa yang kuat itulah kuncinya. Maka di tengah ketidakpastian dan tekanan yang begitu besar, ketika kemampuan diri untuk mengendalikan situasi tidak lagi mencukupi, ia tetap bisa mengendalikan diri, menguasai jiwa sendiri.
Epictetus berbagi bahwa mengingatkan diri sendiri secara terus-menerus tentang apa yang dapat dikendalikan dan apa yang tidak akan menolong seseorang melewati fase krisis atau kehidupan yang tidak menyenangkan. Epictetus membagi dua zona tentang kedaulatan. Zona pertama adalah apa yang dapat dikendalikan oleh diri kita sendiri. Di zona ini, kita adalah “raja”, zona ini adalah pemikiran dan prinsip kita. Itulah wilayah kedaulatan kita. Kita selalu bisa memilih apa yang perlu kita pikirkan dan kita percaya.
Zona kedua adalah hal-hal yang di luar kendali atau kedaulatan kita. Apa yang ada di zona kedua ini? Tubuh, harta, reputasi, pekerjaan, orang tua, teman-teman, cuaca, ekonomi, masa lalu, masa depan kita ini semua di luar kedaulatan kita.
Epictetus berpendapat, banyak penderitaan timbul karena dua kesalahan kita: Pertama, kita berusaha berdaulat penuh atas segala sesuatu yang berada di zona dua, di luar kedaulatan kita. Kemudian ketika gagal mengendalikannya, kita merasa tidak berdaya, lemah, marah, bersalah, cemas, atau depresi. Kedua, kita tidak bertanggung jawab di zona pertama: pikiran dan prinsif kita, yang semestinya dapat kita kendalikan. Malah kita menyalahkan pikiran sendiri terkait dunia luar, orang tua, kekasih, teman-teman, bos, ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya, kemudian kembali kita merasa getir, tak berkutik, dan menjadi seorang korban. Belajar dari Epictetus, segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan kita justru di luar kedaulatan kita. Hanya satu saja kita berdaulat, yakni atas pikiran dan prinsip hidup kita.
Dalam fase awal pelayanan-Nya, Yesus telah menarik banyak orang. Mereka mengikuti untuk melihat dan mendengar-Nya. Pada pihak lain, keluarganya: ibu dan saudara-saudara-Nya (Markus 3:31) juga para murid-Nya meragukan apa yang dilakukan Yesus khususnya tentang Kerajaan Allah. Dengan perumpamaan tentang penabur dan biji sesawi Yesus menjawab keraguan mereka. Melalui perumpamaan-perumpamaan ini, kita belajar tentang cara memandang Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah ibarat perkembangan benih yang ditabur oleh petani, yang kemudian pada akhirnya menghasilkan panen yang berlimpah. Sang penabur punya apa yang dapat dikendalikannya, yang ada dalam kedaulatannya, yakni pikiran optimis bahwa di ujungnya nanti akan memetik hasil panen yang berlimpah. Sang penabur jelas tidak punya kendali atau kedaulatan atas pertumbuhan benih itu hingga saat panen tiba. “…lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu bertunas dan bertumbuh bagaimana terjadinya, tidak diketahui orang itu.” (Markus 4:27).
Dalam proses pertumbuhan itu ada banyak kemungkinan bisa terjadi: serangan hama, kekeringan, kebanjiran, di rusak oleh hewan, dan lain sebagainya yang bisa menggagalkan hasil panen itu. Atau sebaliknya, tanaman itu terpelihara, bebas dari pelbagai serangan hama dan akhirnya bisa memanen. Sang penabur menjalankan tugasnya sesuai dengan kendali yang ada padanya, selebihnya ia mempercayakan kepada kedaulatan Allah Sang Pencipta dan pemilik kehidupan.
Seperti itulah hal Kerajaan Allah yang “ditabur” oleh pemberitaan Yesus Kristus dan terus kita wartakan, akan bertumbuh dan berkembang terus, juga pada waktu kita tidak tahu bagaimana cara bekerjanya dan kita tidak dapat mempercepatnya. Di sinilah kita mempercayakan pada kedaulatan Allah. Kita percaya dan menantikan hari yang tidak kita ketahui, ketika Kerajaan Allah ditegakkan sepenuhnya. Kita pun diajak percaya bahwa Kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus dan kini oleh Gereja-Nya, jemaat-jemaat yang tetap kecil dan minoritas, sebenarnya memiliki potensi besar, ibarat biji sesawi yang amat kecil yang akhirnya menjadi tanaman yang sangat besar. Kerajaan Allah mampu meluas ke segala bangsa dan akan memberi naungan kepada umat manusia yang universal.
Kini tugas kita, layaknya seperti si penabur itu. Kita belajar untuk mengoptimalkan apa yang mampu kita lakukan. Seperti apa yang dikatakan Epictetus, kita punya ruang kedaulatan, yakni pikiran dan prinsip kita. Jangan biarkan dikuasai oleh pesimisme dan hal-hal yang merugikan kita. Jangan pernah kita izinkan bimbang dan ragu menggantikan keyakinan iman kita. Kedaulatan kita, yang pada dasarnya adalah Allah sendiri yang memberikannya kepada kita adalah melakukan, mengerjakan tugas seperti penabur itu.
Mulailah dengan hal-hal yang kecil namun dengan cinta dan ketulusan yang besar. Mulailah menabur sekarang, itu yang dapat kita kerjakan. Jangan pernah bermimpi dapat “memetik buah” apabila kita tidak pernah menabur apa pun. Selanjutnya, kita percayakan kepada kedaulatan Allah. Allahlah yang akan memberi pertumbuhan.
Menyerahkan segala sesuatu dalam kedaulatan Allah itu tidak berarti bahwa kita hanya berpangku tangan, menyaksikan Allah bekerja. Tidak! Melainkan, terlibat dalam upaya pembumian Kerajaan Allah. Allah ingin Anda dan saya menjadi teman sekerja-Nya. Bekerja di ladang Tuhan dalam kedaulatan Allah bukanlah berada dalam posisi tertekan karena kita kehilangan kebebasan. Tidak demikian! Allah memakai pelbagai talenta, ekspresi dan daya kreativitas kita yang selanjutnya menjadi persembahan yang harum bagi-Nya.
Menyerahkan segala sesuatu dalam kedaulatan Allah, akan menolong kita untuk tidak patah arang mana kala pertumbuhan itu tidak sesuai dengan harapan kita. Sebab, dalam kedaulatan-Nya selalu saja ada maksud di balik semua pertumbuhan yang terjadi. Sekali lagi kita hanya dimintanya “menabur”. Sebaliknya, mana kala kita melihat hasil pertumbuhan yang luar biasa, kita tidak menjadi sombong atau tinggi hati. Semua itu hanya dapat terjadi dalam kedaulatan-Nya. Tidak atas kendali diri sendiri.
Jakarta, 28 Mei 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar