Gembala dan domba, bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan agraris, termasuk Israel dan Palestina. Sehingga tidaklah mengherankan relasi antara gembala dan domba populer untuk menggambarkan relasi Allah dengan umat-Nya. Gambaran itu antara lain dapat kita temukan dalam Mazmur 23. Mazmur yang favorit bagi kebanyakan orang Kristen. Untuk Mazmur ini ada banyak gubahan nyanyian sehingga tidaklah mengherankan kalau sebagian besar orang Kristen pun akan segera tahu ketika berbicara tentang gembala dan domba. Gembala adalah Tuhan dan domba adalah umat-Nya. Namun tentu saja, meski tahu belum tentu kita pahami apa lagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat berbeda dengan Raja Daud. Daud memahami, sekaligus juga dapat mengalami Allah yang dirasakannya sebagai Gembala. Di lain pihak, ia seperti domba yang digembalakan-Nya.
Apa yang ada dalam benak Daud ketika ia mengatakan, “Tuhan adalah Gembalaku yang baik?” Ya, tentu saja ia merasakan bahwa Tuhan itu sebagai pelindung dirinya. Bagi domba, gembala adalah segalanya. Bagi setiap domba, tidak ada sosok lain yang paling diharapkan kehadirannya kecuali sang gembala. Sama seperti seorang ayah atau ibu yang memenuhi kebutuhan anak-anaknya, begitulah seorang gembala mencukupkan segala sesuatu untuk kawanan domba gembalaannya. Begitulah juga yang dirasakan Daud. Karena Tuhan adalah Gembalanya, maka ia tidak pernah merasakan kekurangan apa pun.
Sosok gembala akan berada di depan untuk memimpin kawanan dombanya ke tempat di mana domba-domba itu dapat beristirahat dan makan. Ia juga memimpin para dombanya di jalan yang benar. Artinya, tidak mungkin menjerumuskan atau mencelakakan. Madah indah Sang Gembala diakhiri dengan perasaan syukur karena kebajikan dan kemurahan akan menyertai seumur hidupnya sehingga ia enggan beranjak dari keterhubungannya dengan Tuhan (diam dalam rumah Tuhan) sepanjang masa.
Kini, Yesus menggemakan kembali madah indah Sang Gembala. Tentu saja dengan perspektif berbeda. Jika Daud memosisikan diri sebagai domba, maka Yesus menempatkan diri sebagai gembala, “Akulah gembala yang baik…” (Yohanes 10:11).
Dalam kontras dengan gembala yang baik, Yesus berbicara mengenai gembala upahan. Apa bedanya Gembala yang baik dengan gembala upahan? Ciri khas Gembala yang baik ialah bahwa Ia rela memberikan nyawa-Nya (Yoh.10:11, 15, 17-18) demi keselamatan domba-dombanya. Sebaliknya, gembala upahan akan lari ketika menghadapi kesulitan dan bahaya. Gembala-gembala yang palsu lebih memikirkan imbalan gaji dan namanya sendiri.
Orang-orang upahan tidak menunjukkan rasa memiliki terhadap domba-domba itu. Gembala upahan yang dimaksudkan Yesus adalah para pemimpin Yahudi. Mereka mengutuk dan mengucilkan rakyatnya sendiri (Yoh. 7:49; 9:22, 34). Mereka menggunakan orang-orang kecil untuk kepentingannya sendiri, untuk memperoleh kekuasaan yang dapat mengontrol mereka. Mereka menghalangi orang lain untuk berkembang kea rah kemerdekaan. Mereka keras terhadap pribadi-pribadi yang lemah dan tidak ada bela rasa terhadap mereka yang dianggap berdosa. Alih-alih merangkul dan memulihkan, mereka melabelinya dengan sampah masyarakat. Mereka tidak berusaha mengerti orang lain dengan segala kebutuhannya, tetapi cenderung menghakimi dan menghukumnya. Dalam keadaan konfliks, mereka membiarkan orang lain bingung dan sendirian, tanpa tahu harus melakukan apa.
Kontras antara Gembala yang baik dan gembala upahan itu tentu saja bermaksud penulis Injil Yohanes hendak menantang para pemimpin jemaat Kristiani. Dalam Kisah Para Rasul 20:29-30, para penatua jemaat di Asia Kecil diajak oleh Paulus untuk melindungi jemaat terhadap serigala-serigala yang akan masuk ke tengah-tengah mereka dan bahkan akan muncul dari antara mereka sendiri. Mereka diingatkan kembali akan peran serta kepemimpinan yang harus dikembangkan: bukan menjadi gembala dengan mengutamakan kuasa yang menekan dan menindas, melainkan bercerminlah kepada Sang Gembala Agung, yakni Yesus Kristus!
Belajar dari kepemimpinan Yesus sebagai Gembala yang baik, berarti: keluar dari kungkungan egoisme agar dapat memberi perhatian kepada orang-orang yang dipercayakan berada dalam tanggung jawabnya. Agar dapat menyatakan kepada mereka keindahan cinta kasih yang sesungguhnya. Puncak keluar dari kungkungan egoisme dan rasa nyaman adalah memberikan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya itu.
Memberikan nyawa searti dengan memberikan hidup bagi orang lain. Memberikan hidup berarti mengomunikasikan kepada orang lain, bahwa mereka itu sangat berharga, tentu tidak cukup dengan ucapan namun dibuktikan dengan segala karya untuk kebaikan orang lain. Sebab, percuma saja seseorang mengatakan kepada orang lain bahwa kamu berharga tetapi nyatanya tidak berbuat apa pun ketika mereka mengalami kesulitan, kegagalan dan penderitaan.
Memberikan hidup dapat berarti juga memberikan diri kepada orang lain dalam kepercayaan dan kasih yang utuh. Dapat berarti mempertaruhkan diri dengan menceburkan diri ke dalam air yang bergejolak untuk menyelamatkan seseorang agar tidak tenggelam. Yesus datang untuk itu dan ia telah membuktikan ucapan-Nya itu. Ia datang untuk memberikan hidup-Nya di salib, untuk menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi kita untuk berada dalam kesatuan dengan Allah dan sesama kita.
Betapa pun juga ketika Yesus berbicara tentang Gembala Baik, yang adalah diri-Nya sendiri. Ia bukan sedang pamer kebaikan-Nya. Melainkan Ia ingin setiap pengikut-Nya meniru gaya kepemimpinan-Nya. Kepemimpinan (baca: menggembalakan), bukanlah sebuah kesempatan untuk dengan leluasa memakai kekuasaan untuk kesenangan diri sendiri. Sudah banyak contoh para pemimpin negara atau politik menggunakan pelbagai cara termasuk penindasan, dan penghilangan hak-hak asasi sesamanya demi untuk kesenangan dan kepentingannya sendiri. Tidak menutup kemungkinan bahwa kekuasaan seperti ini bisa terjadi dalam lembaga-lembaga moral keagamaan, contohnya para pemimpin Yahudi yang Yesus kecam. Pun demikian, tidak menutup kemungkinan gereja atas nama pelayanan juga terbuka kemungkinan menggunakan konsep penggembalaan itu dengan kuasa tangan besi. Tidak memihak dan merangkul orang-orang yang benar-benar membutuhkan topangan dan pemulihan, lalu mengucilkannya.
Setiap orang berpotensi menjadi gembala atau pemimpin. Ya, minimal memimpin diri sendiri. Di sinilah kita belajar untuk menerjemahkan kepemimpinan bukan sebagai alat kuasa pemuasan diri melainkan sebagai wahana mendistribusikan kehidupan. Kehidupan yang terus tumbuh dan berkembang. Kehidupan yang menghidupi orang lain dengan cinta-Nya. membiarkan mereka menjadi diri mereka yang lebih baik sesuai dengan kodrat Sang Penciptanya. Kita menjadi pribadi-pribadi yang siap menceburkan diri dalam derasnya arus penderitaan yang menjerat orang-orang di sekitar kita. Itu artinya, kita bukan saja siap basah, melainkan berisiko mengalami kesulitan yang sama. Bisa menyita waktu, tenaga, pikiran, perasaan dan uang kita, bahkan hidup kita sendiri. Tetapi, bukankah Yesus mengajarkan hal itu?
Benar, adalah tidak mudah memberikan hidup untuk menyatakan kasih Allah kepada orang lain. Namun, percayalah hal itu bukan mustahil.
Jakarta, Minggu Paskah V 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar