Jumat, 19 Februari 2021

HARGA MENGIKUT YESUS

Berbicara harga, hampir dipastikan kita akan menghubungkannya dengan manfaat atau nilai ekonomis yang erat kaitannya dengan kebutuhan. Selain itu, harga punya hubungan dengan apa yang kita sukai. Ini berkaitan dengan estetika, keindahan dan hobi; kesenangan kita. Apa yang kita lihat indah, lalu kita menyukainya maka, seberapa pun harganya kita akan membayarnya. Contohnya yang sekarang lagi booming tanaman hias. Mungkin Anda akan heran, jika ada tanaman hias ditukar dengan mobil atau rumah. Demikian juga dengan hobi. Kita akan membayar berapa pun harganya untuk memuaskan hobi kita.

 

Lalu “Harga mengikut Yesus”, kira- kira kita akan letakan di mana? Apakah cocok dihubungkan dengan nilai ekonomis, kebutuhan? Sehingga ketika kita mengikuti-Nya itu karena kita membutuhkannya dan untuk itu kita akan membayar harganya? Atau kita letakan sebagai hobi? Ya, mengikut Yesus adalah hobi yang menyenangkan dan untuk itu berapa pun harganya akan kita bayar? 

 

Saya berharap kita tidak terburu-buru memosisikan harga mengikut Yesus seperti kita menilai kebutuhan ekonomi, estetika, atau pun hobi kita. Sebab Yesus bukan produk ekonomi dan Yesus juga bukan obyek hobi atau kesenangan kita. Dia kudus, Dia berbeda! Meski tidak dipungkiri nantinya kita akan menemukan ada unsur-unsur mendasar yang saling terkait ketika kita memutuskan untuk mengikut Yesus. Ya, di sana akan ada kebutuhan dan selanjutnya ketika kita mengenal-Nya dengan baik, akan tumbuh rasa cinta dan senang untuk mengikuti-Nya.

 

Ya, jangan terburu-buru. Itu pula yang Yesus katakan kepada para murid-Nya seusai Petrus menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Bahkan Yesus melarangnya. Larangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia tidak mengandung maksud merahasiakan siapa Yesus, tetapi larangan itu bermasud untuk mendidik murid-murid, supaya pemberitaan mereka mengenai diti Yesus sungguh-sungguh memadai dan utuh. Pengakuan itu tidak dirahasiakan, tetapi pengajaran terhadap para murid dilanjutkan. Karena itu mereka harus membisu sementara, sampai saatnya mereka dapat bicara lagi mengenai Sang Mesias dan karya-Nya sesuai dengan Kitab Suci, tepatnya sesudah peristiwa kebangkitan.

 

Bagaimana pun para murid disuruh berdiam diri. Kemudian Yesus mulai mengajar mengenai karya terpenting Dia Yang Diurapi Allah. Dalam pengajaran ini Yesus tidak memakai sebutan Kristus yang dihubungkan dengan Anak Allah yang diurapi. Sebaliknya, Dia memakai gelar Anak Manusia, yang mengacu pada jabatan-Nya sebagai Anak Adam yang dijanjikan. Anak Allah menjadi Anak Manusia yang menanggung banyak penderitaan selaku manusia.

 

Para murid bukannya tidak tahu bahwa Yesus mengalami banyak pertentangan dari pihak para pemimpin, khususnya ahli-ahli Taurat, termasuk yang di Yerusalem. Kini ternyata perlawanan itu tidak bersifat sementara, tidak akan berlalu. Perlawanan itu harus ada. Yesus bahkan akan menanggung banyak penderitaan. Yesus akan menerima banyak penolakan dan penderitaan tidak hanya oleh satu kelompok dalam lingkungan umat Israel, tetapi juga oleh para pemimpin resmi. Semua golongan yang terwakili dalam pengadilan tertinggi Israel, yakni Sanhedrin (Mahkamah Agama), akan ikut membunuh Yesus: para tua-tua, ahli Taurat, dan Imam Besar.

Yesus menyampaikan pesan itu terus terang, yakni dalam lingkungan para murid-Nya. Rupa-rupanya Petrus merasa terganggu, ia menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Bagaimana respon Yesus terhadap tindakan Petrus? Yesus berpaling dan menegur Petrus, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Mengherankan bahwa Yesus menyebut Petrus dengan “Iblis”.

 

Petrus disebut “Iblis” bukan karena ia dirasuki oleh Iblis yang datang dari neraka, tetapi apa yang dikatakan Petrus itu adalah cobaan bagi Yesus. Seolah Petrus mencegah Yesus agar jangan melalui jalan sengsara itu dan dengan demikian membujuk Yesus untuk melawan kehendak Bapa-Nya. Bisa saja Petrus tidak bermaksud seperti itu karena apa yang diucapkannya berdasarkan pada pemahamannya mengenai Mesias yang berbeda dari pandangan Yesus. 

 

Hardikan keras yang diucapkan Yesus itu mengungkapkan sikap-Nya terhadap godaan yang dapat menggagalkan rencana penyelamatan Allah yang sedang dikerjakan-Nya. Kalau Yesus menuruti apa yang dikatakan Petrus, Ia gagal melakukan kehendak Bapa-Nya untuk menghadirkan Kerajaan Allah. Bahkan sebaliknya, bila Ia mewujudkan pengharapan Yahudi mengenai Mesias, Yesus akan mulia sebagai raja yang berkuasa. Ia akan terbebas dari penderitaan, tetapi gagal melaksanakan tugas yang diserahkan Bapa kepada-Nya.

 

“Enyahlah Iblis!” (Yun: “hupage opiso mou, satana”) dapat diterjemahkan “Pergilah ke belakang-Ku, Penggoda!” Kalimat yang diucapkan Yesus ini adalah perintah kepada Petrus untuk mengikuti-Nya sebagai murid, termasuk dalam penderitaan, dan tidak mengatur Sang Guru akan apa yang harus dilakukan-Nya.

 

Bagi Yesus sudah sangat jelas bahwa jalan yang harus dilalui-Nya adalah jalan penderitaan, yakni jalan salib. Ia menegaskan kepada orang banyak dan para murid-Nya bahwa orang yang mau mengikuti-Nya, “harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”. Mengikut Yesus tidak bisa dilakukan dengan pasif, yakni menonton apa yang dilakukan dan mendengarkan apa yang dikatakan Yesus. Orang yang mau mengikut Yesus harus pergi ke tempat Dia pergi; jelas bahwa tujuan kepergian-Nya adalah salib. Sebagaimana lazimnya semua manusia, Yesus tidak menginginkan penderitaan, tetapi Ia menempuh jalan penderitaan itu karena Allah menghendaki hal itu untuk menghadirkan Kerajaan-Nya. Mereka yang mau menjadi murid-Nya harus melakukan hal yang sama: meninggalkan keinginan pribadinya, lalu dengan rela menanggung penderitaan dan pengorbanan demi Kerajaan Allah.

 

Kalau pun orang yang mengikut Yesus itu harus mati, ia tidak perlu khawatir karena, “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya justru akan kehilangan nyawanya; tetapi yang kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia justru menyelamatkannya.” Yesus bukan mengajak orang untuk kehilangan nyawa mereka, mati konyol. Bukan begitu! Sebaliknya, justru Yesus mengajak orang untuk menyelamatkan nyawanya. Kehidupan adalah hal yang paling berharga dari manusia dan pada dasarnya manusia tidak ingin kehilangan kehidupan: nyawanya. Dalam kehidupan biasa, orang merelakan benda atau harta miliknya, tetapi tidak untuk nyawanya. Kalau orang kehilangan harta, ia dapat mencarinya kembali dengan bekerja. Tetapi kalau sudah kehilangan nyawa, tidak ada yang dapat menggantikannya. Keberadaan nyawa manusia dalam dirinya tidak tergantikan. Dengan satu pertanyaan retoris, Yesus membandingkan nilai nyawa manusia dengan seluruh dunia. “Apa gunanya memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawa?” Jawab dari pertanyaan itu jelas: Tidak ada! Seluruh dunia tidak dapat menggantikan nyawa manusia dan nyawa itu tidak dapat dibeli dengan harta benda, seberapa pun banyaknya.

 

Lebih dari itu, Yesus sebenarnya berbicara tentang kehidupan dan kematian abadi. Dalam pandangan orang pada umumnya, kehilangan nyawa manusia berarti terpisahnya nyawa dari badan, yang juga berarti kematian. Orang yang kehilangan nyawa tidak dapat hidup lagi di dunia ini. Badan memang akan mati, tetapi nyawa harus tetap hidup. Mereka yang rela kehilangan nyawa di dunia ini demi Yesus akan diselamatkan oleh Allah: Kehidupan kekal disediakan Allah. Sebaliknya, orang yang tidak berani “membayar” harga, karena takut menderita dan mati di dunia ini, nyawanya akan terpisah dari Allah dan tidak akan mengalami kebahagiaan dalam kehidupan yang kekal itu.

 

Yesus mengingatkan para pengikut-Nya bukan hal-hal yang menyenangkan dalam ukuran duniawi. Ia memperlihatkan kenyataan yang harus dipertimbangkan, dipikirkan dan dilakukan oleh setiap murid-Nya. Bagi setiap orang yang mengenal dengan jelas visi Kerajaan Allah yang dilaksanakan Yesus, adalah sebuah kebahagiaan bila dapat terus mengikuti-Nya kendati melewati lembah air mata bahkan kehilangan nyawa di dunia ini. Ia akan bersukacita “membayar harga” untuk mengikuti-Nya. Sebaliknya, bagi orang yang mengukur kebahagiaan lewat materi, sanjungan dunia, dan terpenuhinya nafsu-nafsu duniawi, jelas peringatan Yesus ini merupakan beban berat dan tidak mungkin rela untuk membayarnya dengan melepaskan semua kesenangannya itu, apalagi dengan nyawanya.

 

 

Jakarta, Minggu Pra-Paskah II 2021

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar