Selasa, 25 Februari 2020

BUKAN SEKEDAR SIMBOL

Manusia adalah makhluk yang akrab dengan simbol. Lihatlah jari-jari, dalam budaya kita setiap jari dapat menjadi simbol tertentu. Jempol ketika diacungkan ke atas maka mengisyaratkan sebuah kekaguman atau kehebatan, telunjuk mempunyai makna untuk mengatur, jari tengah…wah sebaiknya yang ini tidak Anda acungkan sendiri. Maknanya menjadi tidak elok. Demikian juga dengan jari manis dan kelingking, masing-masing punya maknanya sendiri. Keluar dari rumah, segera kita disambut dengan berbagai simbol. Tanda-tanda lalu lintas semua memakai gambar simbol dan warna.

Dalam kehidupan beragama, simbol mempunyai makna signifikan. Bahkan Paul Tillich, seorang teolog dan filsuf eksistensial Amerika-Jerman menegaskan bahwa simbol merupakan sarana tertinggi bagi manusia untuk dapat berbicara tentang Allah dan tindakan-tindakan-Nya. Namun sayangnya, dalam kehidupan beragama, manusia sering terjebak dan berhenti pada tataran simbolis. Sehingga abai terhadap makna yang mau disampaikan oleh simbol itu. Ibarat sebuah rambu petunjuk jalan, banyak orang berhenti dan memegangi rambu petunjuk itu, enggan beranjak melangkah menuju apa yang ditunjukkan oleh rambu itu.

Tidaklah mengherankan kalau banyak orang Kristen memahami bahwa yang namanya beribadah, melayani atau bersaksi itu ya tempatnya di gereja. Akibatnya ada kesenjangan antara perilaku seorang Kristen pada hari Minggu di gereja dengan kehidupan sehari-hari.

Memang benar, gereja tidak dapat dihindari sebagai tempat orang Kristen beribadah, melayani dan bersaksi. Namun, harus diingat bahwa di gereja juga banyak simbol-simbol ibadah, pelayanan dan kesaksian yang harus ditindaklanjuti setelah orang keluar dari gedung itu. Di gereja ada liturgi. Tentu saja bukan sekedar tata cara atau susunan ibadah belaka. Ibadah dimulai dengan votum, yakni pernyataan umat bahwa pertolongan kita adalah di dalam nama Tuhan yang menjadikan langit dan bumi. Maka setelah kita keluar dari gedung gereja, logikanya sebelum kita melakukan segala sesuatu dimulai dengan votum. Kita meminta dan meyakini serta menyatakan bahwa Tuhan yang menolong kita. Setelah votum ada salam. Kita menyatakan salam dengan mendoakan kepada sesama kita bahwa, “Tuhan besertamu!”. Mestinya, dalam keseharian setiap perjumpaan dengan sesama kita selalu termotivasi untuk mendoakan bahwa rahmat Tuhan beserta orang yang kita jumpai, dan kita berusaha mewujudkannya dengan mengupayakan syalom bagi sesama. Begitulah seterusnya sampai pengutusan dan berkat. Alangkah indahnya kalau liturgi bukan sekedar simbol namun menjadikannya hidup dalam seluruh derap kehidupan kita!

Ibadah di gereja yang sarat simbol itu penting. Namun, lebih penting lagi untuk menghidupinya dalam keseharian. Sebab jika tidak demikian kita menjadi orang-orang munafik yang memenjarakan ibadah hanya di dalam dinding-dinding gereja saja!  Kesalehan-kesalehan yang dilakukan umat bukanlah sebuah atraksi atau tontonan dengan imbalan orang berdecak kagum memuji kesalehan tersebut. Bukan, bukan itu yang Yesus mau! Kesalehan yang dipertontonkan hanya akan melahirkan kemunafikan. Benar, segala apa pun yang kita lakukan pasti dilihat orang lain, termasuk tindakan-tindakan kesalehan. Namun, yang dimaksudkan di sini bahwa orang mencanangkannya supaya terlihat sebagai orang baik, benar dan saleh itulah yang disebut dengan pencitraan yang hanya dilakukan oleh orang-orang munafik. Tetapi ketika seseorang menghayati hidup keagamaannya dengan tulus. Ia berbagi sedekah dengan sesamanya oleh karena kasih Allah yang mendorongnya untuk membantu orang yang sedang membutuhkan. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh agar Tuhan ikut campur tangan dalam jalan hidupnya. Dan, ia berpuasa untuk memohon pengampunan dan rakhmat-Nya, lalu kemudian orang lain melihatnya dan mereka berpendapat bahwa orang ini adalah orang yang baik, tulus dan jujur, maka itulah reputasi. Ia dikenal sebagai orang saleh!

Yesus membahas tiga hal kesalehan religius yang dijalankan oleh orang-orang Yahudi: sedekah, doa dan puasa (Matius 6:1-6, 16-21). Setiap pembahasan pokok kesalehan ini, Yesus mendahuluinya dengan peringatan agar para murid tidak melakukan kewajiban agama mereka di depan orang supaya mereka melihatnya. Yesus membahas ketiganya dengan cara yang relatif sama: “Jika engkau … janganlah … tetapi…” Kesalehan-kesalehan itu bukan untuk dipertontonkan agar dilihat orang. Apa yang tersembunyi di hadapan orang-orang tetap dilihat oleh Bapa dan Bapa yang melihat apa yang tersembunyi itu akan memberi balasan pula.

Dari ketiga bentuk kesalehan itu, Yesus memulai dengan kesalehan memberi sedekah. Memberi sedekah (Matius 6:1-4) merupakan keutamaan. dalam tradisi Yahudi. Yesus tidak membatalkan praktik kesalehan religius bersedakah ini. Namun, menekankan bahwa memberi sedekah mestinya tidak dilakukan demi popularitas yang akhirnya mengeksploitasi orang-orang sengsara demi diri dikagumi sebagai seorang dermawan. Sedekah harus diberikan, tetapi dalam kerahasiaan dengan ketulusan hati sebagai wujud kasih yang sejati. Orang yang diberi tidak merasa dipermalukan dan dimanfaatkan sebagai obyek kebaikan. Ia akan merasa bahwa Tuhan telah memakai orang yang baik itu untuk menjawab doanya dalam memenuhi kebutuhannya.

Setelah beranjak dari pengajaran sedekah, Yesus berbicara tentang doa. Doa tak pelak lagi adalah bentuk kesalehan. Doa telah menjadi kewajiban baku bagi umat beriman, maka lama kelamaan doa telah menjadi ukuran kualitas hidup religius orang-orang Yahudi. Lalu terjadi kesalahkaprahan dalam praktik doa. Doa tidak lagi menjadi media komunikasi relasi yang jujur antara manusia dan Tuhan. Doa justru menjadi kesempatan untuk menampilkan diri di hadapan orang lain, untuk memperoleh pujian di tempat-tempat ibadah, di pasar dan di jalan-jalan. Yesus meminta supaya para murid berdoa di kamar tertutup dan tidak dengan kalimat yang bertele-tele. Yesus tidak meniadakan atau meminta para murid-Nya untuk tidak berdoa. Namun, tidak mengekspoitasi doa demi tujuan menunjukkan kesalehan di depan umum!

Kesalehan terakhir yang dibicarakan Yesus adalah tentang puasa. Berpuasa merupakan kesalehan yang tidak boleh berhenti sebagai sebuah ritual hampa dan yang hanya dipakai sebagai pertunjukan kesucian di depan umum. Puasa sejati mengalir dari kesanggupan untuk tidak menjadikan diri sendiri dan kebutuhan diri sendiri sebagai satu-satunya yang harus dikejar dan dipenuhi. Puasa menjadi jalan pengosongan diri, asketisme yang menyuburkan hidup seorang beriman. Yesus mengingatkan agar para murid tidak berpuasa hanya supaya ditonton orang lain.

Hari Rabu ini, kita merayakan Rabu Abu. Rabu Abu juga sarat dengan simbol. Antara lain abu yang ditorehkan ke kening kita. Ada banyak orang Kristen setelah melakukan ritual ini kemudian bersuafoto dan mengunggah dalam pelbagai media sosial. Menunjukkan bahwa dirinya telah melakukan ritual dan tentu saja sebagai orang saleh yang beribadah dan memasuki masa pertobatan sebelum perayaan Paskah. Kita dapat menduga bagaimana reaksi Yesus ketika melihat praktik ritual Rabu Abu seperti ini. Lalu apa bedanya kita dengan mereka yang dikritik Yesus lantaran memamerkan kesalehan mereka di depan umum? 

Bukan hanya sekedar simbol! Marilah kita memulai hidup pertobatan kita dengan sungguh-sungguh! Melakukan segala tindakan kebaikan yang diajarkan Yesus tanpa harus dipamerkan. Saat ini adalah momen yang tepat untuk kita melihat kembali bagaimana kita beribadah, bagaimana kita bersedekah, berdoa dan berpuasa!

#RabuAbu  2020

1 komentar:

  1. Strange "water hack" burns 2 lbs overnight

    More than 160 000 men and women are using a easy and secret "liquid hack" to burn 1-2lbs each night while they sleep.

    It is painless and works with everybody.

    This is how you can do it yourself:

    1) Grab a clear glass and fill it half full

    2) And now do this proven HACK

    so you'll become 1-2lbs thinner in the morning!

    BalasHapus