Konon, orang yang sukses – dalam bidang apa pun – adalah mereka yang dapat melihat tantangan bukan sebagai kendala, melainkan sebagai sebuah peluang. Di kisahkan, ada seorang pengusaha sepatu. Ia memanggil dua orang salesmannya dan membicarakan perluasan pemasaran produk mereka. Daerah yang ingin dijangkau oleh boss sepatu itu adalah wilayah yang penduduknya jangankan terbiasa memakai sepatu, melihat dan mencobanya secara langsung pun belum. Daerah terpencil!
Sales A dengan pikiran penuh kejengkelan berkata dalam hatinya, “Apalah gunanya menawarkan sepatu kepada mereka. Mereka sudah terbiasa hidup tanpa alas kaki. Lagi pula berapa sih keuntungan yang bakal diraih dari orang-orang sederhana nan miskin itu? Buang-buang waktu dan tenaga saja!” Berbeda dari sales A, sales B berpikir dalam hatinya, “Ini dia kesempatan buat saya. Saya akan mengajarkan para penduduk di daerah terpencil itu tentang kegunaan sepatu. Setidaknya, dengan mereka menggunakan sepatu akan mengurangi jatuhnya korban akibat gigitan ular. Lagi pula jika mereka sudah tahu manfaat dan tergugah untuk membeli sepatu, bukankah ini merupakan pasar yang besar!”
Kisah sederhana itu mengajarkan kepada kita sebuah situasi dan kondisi yang sama dapat dilihat secara berbeda: sesuatu yang menyulitkan, sia-sia atau sebuah peluang yang menjanjikan. Pada kenyataannya setiap saat kita pun diperhadapkan pada kondisi dan situasi seperti itu. Maka untuk dapat melihat peluang di balik tantangan, kita harus pandai membaca dan mengenali situasi lapangan.
Yesus, sekali pun sejak dari awal pelayanan-Nya telah nyata-nyata disertai Allah melalui kuasa Roh Kudus – setidaknya itu yang terlihat dalam peristiwa pembaptisan-Nya di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis – namun tidak serta-merta Ia “hantam kromong” tanpa melihat dan membaca situasi apa yang sedang berkembang dalam konteks pelayanan-Nya.
Pada saat itu, Yesus tentunya sudah mulai dikenal di Yudea, terutama di Kawasan dekat Yerusalem. Ketika keadaan politik kurang menguntungkan, Ia menyingkir ke wilayah Galilea di utara. Ia tinggal untuk beberapa lamanya di kampung tempat Ia dibesarkan, Nazaret. Selanjutnya, Ia pindah ke Kapernaum di tepi danau (Matius 4:12-14). Di situlah Ia mulai mewartakan kedatangan Kerajaan Surga (Matius 4:15). Di situ juga Ia memanggil murid-murid pertama, yakni Simon Petrus dan saudaranya, Andreas, selanjutnya Yakobus dan Yohanes, kedua anak Zebedeus (Matius 4:18-22).
Tidaklah berlebihan kalau kita mengatakan bahwa Yesus adalah orang yang pandai memahami keadaan dan bertindak untuk mengantisipasinya. Bayangkan, Yesus punya peluang besar di Yerusalem dan sekitarnya. Orang-orang di daerah itu haus akan kebenaran dan kehidupan spiritualitas yang baru. Kita masih ingat kisah sebelumnya bahwa ada begitu banyak orang berbondong-bodong dari pelbagai penjuru datang kepada Yohanes Pembaptis dan minta dibaptis olehnya sebagai tanda komitmen untuk bertobat dan hidup baru. Arus kebangunan rohani yang begitu masif ini menggusarkan Herodes. Tidak menutup kemungkinan penguasa Roma menganggap ada gerakan religius yang mau memberontak seperti yang pernah dilakukan oleh Yudas Makabeus. Maka itu, Herodes mengamankan Yohanes Pembaptis yang juga mengkritik secara terang-terangan tindakan amoral dari Herodes.
Bila Yesus tetap tinggal di Yerusalem atau Yudea, Ia tentu saja akan mendapatkan kesulitan yang sama. Karena itu, Ia menyingkir ke utara (Matius 4;12). Dalam Injil Matius, kata “menyingkir” memiliki arti “menjauhi bahaya dengan bijaksana”, ini persis seperti apa yang dilakukan oleh Yusuf ketika membawa Maria dan Yesus kecil ke Mesir (Matius 2:14, 22). Kadang menyingkir merupakan tindakan bijaksana ketimbang menghadapi permusuhan dengan keberanian belaka.
Yesus menyingkir ke wilayah utara. Wilayah utara sejak zaman dulu berbeda dengan Yudea baik alam maupun budayanya. Tanahnya lebih subur. Perekonomian lebih maju. Orang-orangnya lebih berpikir merdeka. Oleh sebab itu sering mereka dicurigai sebagai orang-orang yang kurang taat beragama oleh kaum elit di Yerusalem. Orang di utara lebih terbiasa bersinggungan dengan budaya lain. Di wilayah yang terbiasa berpikir lebih luas itulah Yesus mulai menawarkan hal baru. Ia didengar! Lihat, misalnya kekaguman orang Kapernaum ketika mereka mendengar uraian-Nya yang segar mengenai Taurat (Markus 1:21,22). Mereka membicarakan yang dikatakan-Nya. Jadi, mereka bukanlah orang-orang pasif, yang mendengar lalu melupakannya atau orang-orang yang selalu setuju. Tidak! Mereka adalah orang-orang yang kritis.
Perekonomian wilayah utara cukup maju. Pasar-pasar ikan bermunculan di tepi danau sampai menjadi wilayah hunian dan kota yang ramai. Kapernaum adalah satu di antara kota-kota itu. Begitu pula Magdala, Betsaida, dan wilayah Genesaret di tepi Danau Galilea. Di sinilah kelak Yesus mondar-mandir di antara kota-kota itu ikut perahu nelayan. Dalam ukuran zaman itu, para nelayan ialah orang-orang yang lebih maju berbisnis ketimbang para gembala. Salah satu pengusaha itu ialah Zebedeus, ayah Yakobus dan Yohanes. Juga Simon Petrus dan Andreas adalah pebisnis ikan yang mapan. Mereka inilah yang dijumpai Yesus. Mereka ini kemudian menjadi pengikut-Nya. Yesus melihat berbagai kemungkinan, peluang yang ada. Kadang kita melihat Ia tidak hanya menunggu orang datang kepada-Nya. Ia mendatangi para nelayan itu, lalu menyertai mereka. Begitulah Ia semakin didengar banyak orang!
Yesus memanggil dan memilih murid-murid sebagai rekan sekerja. Simon Petrus dan Andreas dipanggil ketika mereka sibuk menjala ikan. Segera sejak itu mereka meninggalkan jala mereka untuk mengikut Yesus. Juga Yakobus dan Yohanes meninggalkan perahu serta ayah mereka – pemilik dan pengusaha ikan yang sukses itu. Orang-orang ini melihat sinar wajah Yesus yang memandangi mereka dan tidak ingin kehilangan lagi. Mereka yang dipanggil itu akan dijadikan-Nya sebagai penjala manusia (Matius 4:19). Kalimat ini sering salah dimengerti. Menjadi penjala manusia disamakan dengan mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Seperti mendulang lubuk misi! Tafsiran seperti itu tidak klop, baik dulu maupun sekarang, bahkan bisa mendegradasi dan memerosotkan panggilan rasuli. Dalam Lukas 5:10 menjelaskan, “penjala manusia” sebagai anthropous (esē) zōgrōn, artinya memegang manusia untuk membawa kepada kehidupan. Tanggung jawab rasuli bukan menangkapi, tetapi mendukung, menuntun, memelihara, menguatkan agar orang bisa hidup terus, dan menemukan jalan mereka.
Murid-murid Yesus yang pertama itu berasal dari kalangan yang cukup mapan serta terpandang di masyarakat. Mereka bisa membantu orang yang berkekurangan. Murid-murid yang pintar mengelola ikan itu kini dipanggil menjadi pengelola terang bagi manusia – bukan mengelola manusia demi terang.
Yesus tidak menjadikan kekejaman Herodes atau penindasan Roma sebagai sesuatu yang layak ditangisi dan disesali. Namun, kondisi yang harus disikapi arif dengan mengenali dan memahami situasi zaman yang sedang berkembang. Menyingkirnya Yesus ke Galilea juga bukan karena Ia mencari aman. Namun, di sanalah Ia juga memenuhi apa yang dulu dinyatakan oleh Nabi Yesaya (Yesaya 8:23 - 9:1), yakni agar bangsa-bangsa yang diam dalam kegelapan kini dapat melihat terang yang besar. Negeri-negeri atau orang-orang yang dulu biasanya dianggap tidak masuk hitungan kini telah memperoleh terang. Dan terang itu adalah kedatangan Yesus di tengah mereka. Tantangan yang dihadapi Yesus kini semakin membuka peluang berita Injil dapat didengar oleh banyak orang! Di negeri yang jauh dari Yerusalem itulah Yesus mendapatkan murid-murid-Nya yang pertama sehingga pekerjaan Tuhan semakin besar dan semakin nyata.
Sama seperti Yesus yang akrab dengan pelbagai hambatan, tantangan, kebencian dan penganiayaan. Demikian juga dengan gereja. Belajar dari Yesus, mestinya gereja tidak harus meratapi, menyesali dan mengutuk setiap bentuk-bentuk kesulitan. Belajarlah mengenali konteks atau situasi yang ada. Bukan hanya dari dugaan atau berita-berita medsos. Namun, kenali dengan masuk ke dalamnya. Pahami dan temukan kondisi yang sebenarnya, bertindaklah tidak selalu berbekal keberanian, melainkan dengan hikmat. Adakalanya kita harus mengalah – memberikan pipi kanan ketika pipi kiri tertampat. Tetaplah mengerjakan apa yang menjadi keprihatinan Yesus, dalam hal ini menjadi penjala manusia: bukan kristenisasi, melainkan memanusiakan manusia, membawa manusia pada kehidupan yang sesungguhnya!
Jakarta, Imlek 2571
Tidak ada komentar:
Posting Komentar