Jumat, 15 November 2019

TETAP TEGUH DI TENGAH HIDUP YANG RUNTUH

Menjelang usianya yang ke-19, Benedetta Bianchi Porro, atas nama adik-adik dan seluruh keluarganya mengirimkan sepucuk surat untuk ulang tahun ke-56 dari ayahnya yang bekerja di kota lain. Bersama surat itu, Benedetta menyertakan foto dirinya, yang tampak cantik dan muda. Pada bagian bawah foto, ia menulis, “buat ayah!” dan tanda tangannya yang tegas.

Siapa mengira bahwa di balik wajah yang cantik dan ceria itu Benedetta menyimpan penderitaan yang nyaris tidak dapat ditanggungnya? Surat ulang tahun itu mengungkapkan jeritan seorang gadis remaja yang ingin bebas seperti teman-teman yang lainnya. Apakah yang menekan hidupnya? Bukan ayah, ibu atau saudara-saudaranya. Namun, keadaan dirinya!

Benedetta sejak dilahirkan menderita penyakit polio yang memaksanya menggunakan sepatu penyangga yang berat. Tahun demi tahun, penyakitnya bukannya berkurang, melainkan terus memburuk. Baru kemudian diketahui bahwa hal itu disebabkan oleh peradangan syaraf. Foto yang dikirimkan kepada ayahnya itu memperlihatkan “bunga yang mekar” untuk terakhir kalinya. Sesudah itu, ia semakin layu. Pada usia 24 tahun, Benedetta harus meninggalkan segala-galanya, kuliahnya, masa depannya. Perlahan tapi pasti, ia kehilangan kepekaan indranya: Mula-mula ia kehilangan pendengarannya, kemudian penglihatannya, bahkan pencecap, dan penciumannya. Seluruh tubuhnya menjadi lumpuh dan ia harus berbaring tanpa bisa merasakan apa-apa. Keadaan ini mengakibatkan krisis jiwa yang luar biasa.

Menjelang kematiannya pada usia 27 tahun, ia hanya berkomunikasi lewat rabaan tangan ibunya dan lewat suaranya yang nyaris tak terdengar. Namun dari seluruh hidupnya yang penuh dengan penderitaan dan di tengah pergulatan jiwanya untuk menerima kenyataan yang pahit itu, ia ternyata memiliki kekaguman akan karunia kehidupan yang senantiasa dipendamnya. Kekaguman itu dapat ditemukan dalam catatan harian yang ditulisnya dengan setia sejak ia menginjak usia 8 tahun. Ia mempunyai harapan besar seperti yang ditulis dalam catatan itu, “il dolore é il nostro pane, ma anche la nostra grande Speranza, il nostro riscatto!” (“penderitaan adalah makanan kita, tetapi juga pengharapan kita yang besar, yang kita berikan sebagai tebusan!”). (Dikutip dari A. Sudiardja. “Menemukan Tuhan Dalam Segala).

Yerusalem bagai gadis cantik yang sedang mekar. Bangunan Bait Suci dengan batu-batu indah bagai lekuk tubuh yang eksotik. Sehingga banyak orang terpesona dan berdecak kagum! Namun siapa sangka, Sang Guru alih-alih ikut terpana justru mengingatkan akan keruntuhannya, “…tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Lukas 21:6). Mendengar pernyataan itu, para murid bertanya: kapan peristiwa itu terjadi dan apa tanda-tandanya? Jawaban Yesus memperlihatkan bahwa murid-murid sedang berpikir ada hubungannya antara kehancuran Bait Allah dengan akhir zaman.

Yesus menjawab, akan datang nabi-nabi palsu. Mereka akan datang dengan memakai “Nama-Ku”, yaitu Mesias. Akan datang juga peperangan dan pemberontakan. Tetapi itu semua bukanlah tanda-tanda. Semuanya itu merupakan tanda palsu. Oleh karena itu Yesus menasihati mereka agar senantiasa waspada supaya jangan terkecoh oleh hal-hal itu. 

Akan ada banyak peristiwa gawat: perang antar bangsa, gempa dasyat, penyakit sampar, kelaparan, dan banyak peristiwa dasyat lainnya. Sebelum semuanya itu terjadi, mereka akan ditangkap dan dianiaya. Selama masa penganiayaan itu, mereka akan menanggung kesulitan-kesulitan besar. Tetapi penganiayaan itu justru menjadi kesempatan bagi mereka untuk memberi kesaksian. Mereka tidak perlu memikirkan pembelaan mereka. Yesus sendiri akan memberikan kata-kata hikmat dalam menghadapi lawan-lawan mereka. Yang mereka butuhkan adalah meneguhkan hati mereka. Yesus memberi jaminan bahwa siapa yang bertahan pada saat penganiayaan itu akan memperoleh hidup. Tentu yang dimaksudkan hidup di sini adalah hidup kekal.

Di tengah kekaguman terhadap bangunan Bait Allah, Yesus mengingatkan akan keruntuhannya. Hal serupa yang mau Yesus ingatkan adalah, bahwa mereka pun akan menghadapi masa-masa seperti “Bait Allah yang runtuh itu”. Kekaguman yang sudah terbangun terhadap Yesus, mukjizat-mukjizat dan pelbagai tanda – yang dengan itu mereka kagum dan percaya – sebentar lagi akan menghadapi ujian besar: kebencian, penangkapan, pemenjaraan dan penganiayaan bahkan pembunuhan. Dalam situasi seperti ini apa yang harus mereka lakukan?

Yesus menyatakan untuk waspada, tidak terkecoh oleh figur dan pernyataan-pernyataan seseorang  yang tampaknya seperti diri-Nya. Yesus menyadari bahwa setelah diri-Nya akan tampil mesias-mesias palsu yang dapat memikat banyak orang dan mengalihkan iman yang sebenarnya. Daya pikat mesias-mesias palsu pasti menakjubkan. Selain perkataannya manis didengar, bisa jadi mereka juga mampu menghadirkan “mukjizat-mukjizat” seperti apa yang dulu Yesus lakukan. Kita bisa lihat sekarang ada banyak orang menggunakan trik-trik mukjizat untuk meraup banyak pengikut. Ada juga yang menawarkan pelbagai macam kesuksesan dan kemakmuran ketika seseorang mengikuti ajarannya. Di sini kita diminta untuk waspada. Waspada yang seperti apa? Ya, kita harus mengkritisi apakah hal seperti ini yang benar-benar diajarkan oleh Yesus? Apakah Yesus mengajarkan orang untuk mengejar mukjizat dan kemakmuran? Jelas tidak demikian! Mukjizat dan segala macam kemakmuran bukanlah tujuan kehidupan orang beriman! Yesus mengingatkan, dari buahnyalah orang akan tahu sebuah pohon baik atau tidak.

Penderitaan, kesulitan dan bahkan penganiayaan bukanlah sesuatu yang kita cari-cari, melainkan jika hal itu terjadi, maka iman kita harus dapat menopangnya agar kita tetap bertahan dan tidak menjadi penghianat. Yesus mengajarkan, justru lewat penderitaan dan penganiayaan adalah kesempatan untuk kita bisa menyaksikan iman dan karya Kristus, “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.” (Lukas 21:13)

Barangkali saat ini kesulitan sedang menimpa kita. Hidup kita diambang keruntuhan. Bandingkanlah kondisi kita dengan murid-murid Tuhan terdahulu yang mengalami begitu banyak aniyaya dan penderitaan. Atau bandingkalah dengan kisah hidup  Benedetta Bianchi Porro. Mungkin kita mengatakan, tidak bisa membanding-bandingkan kesulitan dan penderitaan seseorang dengan yang lain. Benar! Namun, yang saya hendak katakan, setiap orang pasti tidak seteril dengan yang namanya penderitaan dan kesulitan hidup. Nah, pada tataran ini, apakah iman kita mampu menghadapi situasi keruntuhan hidup?

Banyak orang yang mempunyai pengalaman dalam penderitaan, namun hanya sedikit saja yang mampu memaknai penderitaan itu dalam terang imannya. Viktor Frankel, seorang psikolog yang pernah mengalami penderitaan dalam kamp konsentrasi Nazi, menganggap bahwa kemampuan bertahan dalam penderitaan merupakan salah satu nilai yang tidak kalah indahnya, di samping nilai kreativitas (ekspresi, produksi) dan nilai afektivitas (cinta, relasional). Akan tetapi tampaknya tidak semua orang memiliki kemampuan itu.

Hanya orang-orang yang pernah menderita, yang mampu memberi makna pada penderitaannya. Hanya orang-orang yang dengan sungguh-sungguh percaya pada perkataan Yesus bahwa Ia menjamin di balik kesulitan dan penderitaan itu Ia tetap menyertai, mereka adalah orang-orang yang menemukan bahwa Yesus adalah Tuhan yang berkuasa di atas penderitaan bahkan maut sekali pun. Hanya orang-orang yang meyakini bahwa Allah tidak hanya hadir di Bait Suci-Nya, melainkan dalam diri manusia yang hancur hatinya, merekalah yang akan mengalami pemulihan. Hanya orang-orang yang teguh hatinya ketika melihat puing reruntuhan hidupnya, merekalah yang akan tahu senyum kemenangan.


Jakarta,  15 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar