Sabtu, 22 Juni 2019

MENJANGKAU YANG TAK TERJANGKAU

Pada umumnya manusia, termasuk kita, tidak mau mengambil risiko. Kita hanya mau bertindak dan mengerjakan sesuatu sejauh yang ada dalam jangkauan kita. Tolok ukurnya adalah pengetahuan dan kepandaian kita. Sama seperti kebanyakan manusia modern, kita cenderung menggunakan terlalu banyak belahan otak kiri kita, yang berfungsi pada aspek logis, rasional, dan berpikir analitis. Sejauh menurut logika dan analisa sebuah tindakan itu menguntungkan, maka kita kerjakan. Sebaliknya, ketika analisa itu menyimpulkan banyak kendala, risiko, bahkan kerugian, maka sebaiknya tidak usah dilakukan. Logis!

Namun, apa yang logis ini berpotensi menjadi penghalang untuk kita mengembangkan sisi baik dari kemanusiaan kita. Misalnya, tindakan memberi, berbelas kasih atau belarasa jelas-jelas secara analisis merugikan. Ya, kita memberi, itu artinya kita mengeluarkan apa yang ada pada kita. Uang atau harta benda kita berkurang. Memang bisa saja pemberian itu dapat menguntungkan diri sendiri, yakni ketika perbuatan baik itu dirancang menjadi sarana publisitas politis popularitas dan investasi menanamkan budi baik. Namun bukan ini yang dimaksud. Pemberian tulus, tanpa pamrih untuk memberdayakan orang lain, jelas-jelas akan mengurangi apa yang ada pada kita. Apakah kita bertindak hanya memakai sebelah perintah otak saja?

Padahal, menurut kajian neuroscience, manusia bukan hanya dilengkapi dengan belahan otak kiri. Masih ada otak kanan. Ini terkait dengan menolong manusia untuk melihat keadaan secara keseluruhan, ungkapan emosi, kreativitas, kesadaran non verbal, persepsi visual dan spasial, dan itu adalah sisi syaraf empati. Ada cukup banyak penelitian menunjukkan bahwa kemauan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain sudah tertanam dengan apa yang disebut “mirror neurons”,yang menghubungkan otak kita layaknya WI-Fi dengan orang yang sedang kita amati (www.livescience.com/220-scientiest-read-minds.html). Gambar dari hasil FMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa daerah otak yang melibatkan baik sensasi emosi dan fisik menyala pada seseorang yang mengamati atau menyadari rasa sakit atau penderitaan orang lain. Sebenarnya, kita merasakan penderitaan atau emosi orang lain. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa kemurahan hati dan perilaku altruistic memicu pusat kesenangan otak yang biasanya berhubungan dengan makanan atau seks (www.psyichologytoday.com/basics/altruism).

Contohmirror neurons: Ketika Anda jalan-jalan, kemudian ada seseorang berjalan menuju Anda, kemungkinan Anda dan orang yang sedang menuju Anda itu akan bergerak ke arah yang sama, walaupun Anda berdua berusaha untuk tidak saling menghalangi. Ini dikarenakan mirror neuronsmerasakan niat orang lain dan Anda “merefleksikan” tindakan-tindakan orang lain itu, sampai otak kognitif Anda merencanakan arah berlawanan, dan Anda pun memberikan jalan. Mirror neuronsini memungkinkan kita untuk berempati dan menunjukkan bahwa, di tingkat yang lebih besar atau kecil, kita masing-masing didesain untuk bermpati.

Lalu, apakah salah kalau kita menggunakan “otak kiri” dengan segala fungsi nalar analisisnya. Tentu saja tidak! Namun, pastilah tidak lengkap karena Tuhan juga menciptakan bagian sisi otak kita untuk mengembangkan sisi kepedulian, atau tepatnya empat terhadap orang lain. Analisis nalar dan kepedulian idealnya saling melengkapi: yang satu menolong mengkaji pemahaman, bagaimana menganalisis masalah, dan merancangkan tindakan-tindakan nyata. Yang lainnya, membuka wawasan kepedulian dan sekat-sekat yang membentengi nilai-nilai kemanusiaan.

Yesus, dalam pelayanan-Nya tidak hanya memakai analisis logika analisis nalar – bukan tidak perlu – namun Ia tidak menjadikannya sebagai penghalang untuk peduli dan menyatakan cinta kasih Allah kepada siapa pun. Yesus memakai analisis nalar untuk memahami hukum-hukum Allah. Ia membuka cakrawala baru: hukum-hukum itu harus menolong manusia menemukan kemanusiaannya yang sejati. Tidak boleh menghambat pada akses cinta kasih Allah. Itulah sebabnya, dalam Injil kita banyak menemukan kisah-kisah penyembuhan yang dilakukan Yesus tidak dibatasi oleh hukum, tradisi bahkan area wilayah pelayanan-Nya.

Injil yang kita baca hari ini (Lukas 8:26-39) mengisahkan pemulihan yang dilakukan Yesus berada di Gerasa (wilayah orang-orang Gerasa). Gerasa adalah daerah yang terletak sekitar 33 mil sebelah timur Galilea. Penduduknya mempunyai keturunan campuran yang lebih banyak unsur bangsa asing. Gerasa terletak di pegunungan Gilead. Kota ini didirikanoleh Aleksander Agung dan pada waktu itu menjadi sebuah kota Romawi. Masih bisa dijumpai gerbang kota, lapangan (forum), tempat pascuan kuda, teater, dan kuil para dewa. Inilah satu-satunya kisah dalam Injil Lukas di mana Yesus berkarya di sebuah tempat orang asing. Kisah ini sering dianggap sebagai prefigurasi pelayanan misi terhadap orang-orang non Yahudi. Benar, Yesus pernah berbuat sesuatu bagi seorang non-Yahudi (Lukas 7:1-10), tetapi hal itu terjadi masih di dalam wilayah orang-orang Yahudi dan dilakukan untuk seorang yang takut akan Allah. Kini, peristiwanya terjadi di luar wilayah Yahudi, di antara orang-orang non-Yahudi, dan terhadap orang yang tidak menyatakan imannya.

Yesus memasuki daerah kecil yang terletak di atas sebuah bukit yang menghadap ke laut itu. Pekuburan dan batu-batu penutup makam berdiri teguh di atasnya. Suasana damai ini terusik oleh omelan orang tanpa pakaian, yang disebutkan kerasukan setan. Tampaknya, setan-setan itu mengenali Yesus, “Anak Allah, Yang Mahatinggi.”Mereka memohon agar Yesus tidak menyiksa mereka dan mengizinkan mereka pindah ke babi-babi yang sedang digembalakan. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Babi-babi itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati.

Berapa harga yang harus dibayar untuk menolong seorang anak manusia? Tak ternilai! Hitung-hitungan bisnis, berapa harga kawanan babi yang mati itu? Bisa saja nalar analisis orang-orang Gerasa mengatakan, “Untuk apa menolong manusia yang tidak berguna, gila dan tinggal di kuburan ini, dengan mengorbankan babi-babi itu? Bukankah lebih baik dia yang binasa saja, agar penduduk tentram dan babi-babi mereka aman?” Yesus, melampaui pikiran itu! Ia melihat penderitaan anak manusia itu dan Dia harus menolongnya. Ia menjangkau apa yang tidak dijangkau oleh nalar manusia.

Apa yang terjadi kemudian? Orang yang kerasukan setan itu sembuh dan orang-orang Gerasa menjadi takut. Mereka meminta supaya Yesus meninggalkan daerah mereka. Penggunaan kekuatan dan kuasa oleh Yesus ternyata tidak saja mengagumkan, tetapi juga menakutkan. Para murid sebelumnya mengalami ketakutan pada peristiwa badai yang kemudian diredakan. Kini, orang-orang Gerasa juga mengalaminya. Di sinilah Yesus mempunyai kuasa juga atas kekuatan yang begitu besar yang melawan Allah.

Setan-setan itu menghadapi Yesus sebagai Anak Allah Yang Mahatinggi. Mereka menempatkan diri berhadapan dengan kuasa Allah yang mereka lawan. Oleh karena itu, mereka juga merumuskan pernyataan kepada Yesus dalam sebuah pernyataan oposisi: “Apa urusan-Mu dengan aku….?”Urusan Yesus dengan mereka jelas: Pewartaan akan Kerajaan Allah memuat di dalamnya tindakan konkrit untuk mengalahkan kuasa-kuasa yang melawan dan merintangi Kerajaan Allag tersebut.

Orang yang telah mengalami pemulihan itu ingin mengikuti Yesus. Namun, Yesus tidak mengizinkannya. Kepadanya, Yesus memberikan tugas, “Pulanglah ke rumahmu dan ceritakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu!”Orang itu taat kepada perintah Yesus. Ia mengelilingi seluruh kota dan memberitakan segala apa yang diperbuat Yesus terhadap dirinya.

Sekarang, apakah logika nalar dan hati kita menolong untuk membebaskan kita bertindak menyebarkan cinta kasih Tuhan yang tanpa batas itu? Dan, apakah hukum-hukum agama, ritual, liturgi dan segenap kehidupan agama itu mampu meneruskan urusan Yesus di muka bumi ini? Ataukah kita lebih banyak mengatakan, “Apa urusan semua ini dengan aku?”. Ketika kita lebih banyak menggunakan kalimat terakhir ini, kita tidak mau diganggu dan diusik, bukankah kalimat ini senada dengan apa yang diucapkan setan itu? 

Setiap orang yang menghambat Kerajaan Allah, ia menempatkan diri sebagai lawan Allah. Dan setiap orang yang meneruskan karya Allah dalam Kristus yang melampaui batas itu, maka ia merupakan bagian dari Kerajaan Allah.


Jakarta, 22 Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar