Kamis, 28 Maret 2019

SUKACITA PENDAMAIAN

Sebuah peristiwa dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Itulah perspektif! Injil Lukas 15:11-32 diberi judul oleh Lembaga Alkitab Indonesia “Perumpamaan tentang anak yang hilang”. Mau tidak mau ketika pertama kali membacanya, fokus kita mengarah pada perilaku si anak bungsu yang menuntut pembagian waris dari ayahnya – sebuah tindakan put hauw:kurang ajar, karena sang ayah masih segar bugar – kemudian si anak durhaka ini pergi, berfoya-foya dengan ke-hweyang dia terima. Anak bungsu ini “terhilang” dari bapaknya.

B.J. Boland menawarkan perspektif lain, yang menjadi pokok inti perenungan dari perumpamaan ini bukanlah “si anak hilang” tetapi sang ayah yang penuh kasih, sosok dialah yang disebutkan sebagai subyek utama pada awal cerita (Luk.15:11) dan akhir kisah (Luk.15:32). Injil (baca: kabar baik) yang diberitakan lewat perumpamaan ini adalah, “begitulah Tuhan Allah – yakni seperti bapak dalam perumpamaan ini – begitulah sikap dan perlakuan-Nya terhadap anak-anak-Nya, penuh anugerah dan kasih sayang!”

Seberapa besar kasih bapak itu? Kita dapat melihat kembali dalam tradisi Yahudi mengenai pembagian harta waris. Sesuai dengan adat Yahudi di Palestina, seorang ayah dapat membagikan hartanya melalui surat waris yang pelaksanaannya nanti ketika ia telah meninggal. Bisa juga diberikan ketika ia masih hidup. Kemungkinan hal ini terjadi ketika sang anak menuntut pembagian, seperti dalam perumpamaan ini. Namun, mestinya cara seperti ini tidak terjadi. Bagi orang Yahudi ada peringatan agar pembagian waris tidak dilakukan ketika si pemberi waris masih hidup (Kitab Sirakh 33:19-23). Bayangkan, meski ada pelarangan si anak bungsu tetap memaksa dan si ayah memberikannya.

Pembagian waris itu diatur, anak tertua menerima dua bagian dari segala kepunyaan sang ayah, yaitu dua kali lipat daripada harta yang diberikan kepada anak-anak lain. Namanya “hak kesulungan” (Ulangan 21:17). Dalam perumpamaan ini tampaknya sang ayah hanya punya dua anak, sehingga dapat dipastikan bahwa si sulung diberi 2/3, sedangkan anak bungsu 1/3 kekayaan keluarga. Dengan jatah tersebut, masing-masing disebut “pemilik”, namun hasil kelola harta itu tetap menjadi milik sang ayah selama ia hidup. Bila si anak menjula harta waris itu, maka si pembeli baru dapat mengambilnya setelah sang ayah meninggal. Dari perumpamaan ini kita mengerti bahwa, meskipun sang ayah telah membagi-bagikan hartanya, ia tetap mempunyai kuasa atas hartanya. Ia dapat memberi perintah kepada para hambanya (ay.22), ia menyuruh hambanya untuk menyembelih lembu (ay.23), dan tetap berbicara tentang “segala milikku” (ay.31).

Tampaknya, si sulung menjadi seorang anak u-hauw, tinggal dan mengabdi kepada ayahnya. Sedangkan si bungsu menjual seluruh bagiannya. Dengan uang hasil penjualan itu ia hidup berfoya-foya di negeri entah berantah. Lama-kelamaan hartanya habis. Demi memertahankan hidup, ia bekerja pada seorang peternak babi. Begitu kelaparannya, hingga ia hendak mengambil ampas pakan babi. Namun, tidak seorang pun memberikannya. Tragis! Kenyataan ini membuat si bungsu berefleksi bahwa keadaanya kini jauh lebih buruk ketimbang orang-orang upahan yang bekerja di rumah ayahnyamereka menikmati kelimpahan roti.

Melalui peristiwa menyedihkan ini, apakah si bungsu bertobat? Kebanyakan para penafsir sependapat bahwa si bungsu pulang ke rumah ayahnya bukan karena bertobat, melainkan karena kehabisan uang sehingga menderita kelaparan hebat. Juga karena kehilangan warisannya. Seandainya ia tidak kehabisan uang, ia tidak akan pulang dan tidak akan pernah mengaku dirinya berdosa pula. Tetapi, ia sadar bahwa dengan memboroskan uang, ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai perintah Tuhan, yakni memelihara ayah di hari tuanya. Dalam arti inilah ia merasa berdosa terhadap ayahnya! Namun demikian, tampaknya ia tidak peduli dengan kesusahan sang ayah ketika masih tinggal bersamanya.
Sang ayah pastitahu, mengenal dengan baik tabiat anaknya. Namun, ketika sang anak muncul kembali dari kejauhan, ia bangkit dan menyongsong si anak put-hauwini. Ia memerintahkan para hambanya untuk mengadakan pesta. Namun, tampaknya hal ini menyakitkan bagi sang kakak. Ia tidak rela kalau adiknya yang durhaka itu disambut dan dirayakan dengan pesta. Sang ayah menjawab keberatan si sulung, “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk.15:32).

Dari kata-kata sang ayah, kita dapat menyimpulkan bahwa ia sama sekali tidak peduli tentang motivasi yang mendorong anaknya pulang. Ia juga tidak mengucapkan sepatah kata pun yang dapat diartikan sebagai pernyataan pengampunan (Yesus tidak memperkenalkan si bungsu sebagai teladan pertobatan). Ayah itu mementingkan satu hal saja, yakni : Anaknya selamat dan kembali! 

Perumpamaan ini berakhir dengan ucapan sang ayah. Dialah pelaku utama kisah ini! Tidak jelas, apakah kemudian si sulung akhirnya berhasil dibujuk oleh ayahnya untuk menyambut adiknya sendiri. Tidak diungkapkan juga apakah ia pada akhirnya mengambil bagian dalam pesta sukacita Bersama sang adik. Dapat disimpulkan bahwa Yesus dengan sengaja mengakhiri kisah perumpamaan ini sampai di situ. Oleh karena itu, kata-kata sang ayah harus dibaca sebagai imbauan yang ditujukan kepada para pendengarnya, yakni orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang sedang menggugat Yesus lantaran bergaul dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (Lukas 15:1-3 sebagai konteks Yesus berbicara). Pendengar-Nya itu diajak mengambil bagian dalam sukacita Allah. Maukah mereka menyambut orang-orang berdosa itu? Mampukah hati mereka mengasihi para pendosa seperti Allah yang tanpa hentinya manusia sebagai anak-anak-Nya? Banyak orang begitu rajin melaksanakan segala perintah Allah, sehingga akhirnya mereka jijik memandang sesamanya yang melanggar perintah-perintah Allah itu. Lalu mereka tidak sudi bergaul dengan kaum pendosa itu lagi!

Perumpamaan ini bagai cermin yang diletakkan di depan muka kita sendiri. Apakah kita seperti anak bungsu itu, artinya sebagai orang-orang yang menjadi sadar akan kasih karunia Bapa, lalu kemudian bertobat dan memilih jalan pulang dan menemukan kasih Bapa yang luar biasa itu? Ataukah barangkali, kita adalah seperti anak sulung itu. Artinya, sebagai orang-orang yang secara lahiriah mencoba melayani dan menaati Allah, tanpa menyadari bahwa kita pun bisa seperti “anak yang hilang” itu, yakni memerlukan pengampunan Sang Bapa. 

Tentu saja melalui perumpamaan ini, Yesus menghendaki kita ikut bersukacita dalam pesta pendamaian. Untuk dapat ikut dalam sukacita itu, mau tidak mau kita harus berdamai dengan diri sendiri. Bisa saja kesibukan pelayanan, cara-cara kita memelihara ibadah dan hidup dalam kesalehan justeru menghambat kita menerima orang lain. Sering seperti anak sulung, malah kita menuntut imbalan dan keistimewaan. Kita tidak merasakan kebahagiaan hidup Bersama dalam pekerjaan Bapa!

“Kamu salah jika kamu melakukan kebaikan pada orang dan berharap dibalas, dan tidak melihat perbuatan baik itu sendiri sudah menjadi upahmu. Apa yang kamu harapkan dari membantu seseorang? Tidaklah cukup bahwa kamu sudah melakukan apa yang dituntut Alam (Nature)? Kamu ingin diupah juga? Itu bagaikan mata menuntut imbalan karena ia sudah melihat, atau kaki meminta imbalan karena sudah melangkah. Memang sudah itu rancangan mereka…begitu juga kita manusia diciptakan untuk membantu sesama. Dan ketika kita membantu sesama, kita melakukan apa yang sudah dirancangkan untuk kita. Kita melakukan fungsi kita.” (Marcus Aurelius /Meditation).

Meminjam kalimat Marcus Aurelius, kita dirancang Tuhan untuk hidup menjadi berkat, meraih yang terhilang, melayani sesama, bersukacita dan berdamai. Jadi, ketika kita – seperti si anak sulung – menuntut penghargaan dari ayahnya, maka kita sedang mengingkari jati diri kita!

Jakarta, Minggu Pra=paskah IV 2019

Kamis, 21 Maret 2019

BERBUAH DI DALAM ANUGERAH

Bencana, malapetaka dan kematian tragis sering dikaitkan dengan keberdosaan orang yang ditimpanya. Kita sering ikut-ikutan meramaikannya. Dulu, Ahok dizolimi. Kini, beberapa tokoh yang berperan menghentikan langkah Ahok dan memenjarakannya tersandung kasus-kasus pidana. Sebagiannya mendekam dipenjara, ada yang sakit dan meninggal, dan pergi keluar negeri sampai sekarang belum kembali. Kita mengatakannya itu semua sebagai balasan! Demikian juga kasus-kasus yang lain. Entah, kita belajar dari mana menarik kesimpulan seperti itu. Padahal, Yesus sendiri menolak pandangan seperti itu.

Penolakan itu tercermin dari reaksi Yesus terhadap dua laporan bencana yang menimpa orang-orang di sekitar mereka. Pertama, pembunuhan terhadap orang Galilea atas perintah Pilatus. Pembunuhan itu tidak hanya mengerikan tetapi juga sadis dan biadab: darah mereka dicampur dengan darah hewan korban! Mengapa Pilatus membunuh orang-orang Galilea itu? Sumber-sumber sejarah bungkam tentang peristiwa pilu ini. Hanya Injil Lukas yang mencatatnya. Meski tidak dicatat dalam buku sejarah, namun peristiwa semacam ini sangat cocok dengan karakter Pilatus. Flavius Yosefus, ahli sejarah Yahudi yang hidup sezaman dengan Pilatus menceritakan bahwa Pilatus adalah sosok yang kejam. Ia selalu menghina bangsa Yahudi dalam pelbagai kesempatan, merampas milik mereka seenaknya, membunuh tanpa proses pengadilan, puncaknya pembantaian sejumlah orang Samaria di Gunung Gerazim pada tahun 35. Pada saat itu sejumlah orang Samaria sedang mencari guci, yang menurut kabar ditanam oleh Musa di Gunung Gerizim, gunung suci mereka. Peristiwa ini merisaukan Pilatus kalau-kalau nanti mengancam kekuasaannya. Sebab itu, ia mengambil tindakan keras. Ia memerintahkan tentarannya untuk menduduki Gunung Gerizim, menangkap orang-orang Samaria itu lalu memenggal mereka. Peristiwa ini menyulut protes wali negeri Siria, Vitellius kepada Kaisar. Akibatnya, Kaisar memecat Pilatus.

Di lain peristiwa, Yosefus mencatat bahwa Pilatus berniat memperbaiki saluran air minum ke Yerusalem. Proyek ini diperkirakan menelan anggaran besar. Pilatus tidak mau mengeluarkan dana dari anggaran belanja pemerintahannya. Ia memakai cara licik: ongkos pekerja diambil dari perbendaharaan Bait Suci! Apa dan bagaimana reaksi orang Yahudi? Marah! Ini merupakan tindakan penghinaan terhadap kultus Bait Allah. Mereka, khususnya orang-orang Galilea yang temperamental protes menyerukan kata-kata kebencian pada sebuah aksi demontrasi. 

Bagaimana reaksi Pilatus? Ia memerintahkan serdadu-serdadunya, dengan membawa tongkat yang disembunyikan di balik jubah mereka, untuk mengepung barisan rakyat yang sedang berdemo itu. Dan ketika mereka mulai lagi mencemooh Pilatus, ia memberi tanda kepada mereka untuk menjalankan perintahnya. Menghabisi mereka! Dan karena orang-orang Yahudi itu tidak bersenjata, mereka tidak dapat melawan. Banyak dari mereka yang terluka dan terbunuh. Jadi tidaklah mengherankan jika Pilatus sering melakukan aksi-aksi pembunuhan biadab, termasuk pembunuhan orang-orang Galilea yang darahnya dicampur dengan darah hewan korban di Bait Allah.

Siapa yang menceritakan insiden itu kepada Yesus dan mengapa mereka menceritakan kepada=Nya? Kita tidak menemukan jawaban gamblang. Apakah karena Yesus dan murid-murid-Nya berasal dari Galilea? Ataukah hal itu diceritakan oleh kaum Zelotis yang berharap bahwa dengan kejadian-kejadian itu emosi Yesus tersulut – dan sama seperti mereka – kemudian melakukan seruan pemberontakan? Mungkinkah kabar itu berasal dari orang Farisi, yang menganggap bahwa perbuatan-perbuatan teror kaum Zelotis justru dapat mnimbulkan pembalasan dari pihak Pilatus, sehingga mereka menganggap kaum Zelotis itu turut bersalah dalam peristiwa tragis situ?

Penafsir Injil Lukas, B.J. Boland mengatakan, “Bagaimanapun juga, dalam jawaban-Nya, Yesus tidak menyinggung segi politik dari perkara itu. Yang dianggap-Nya penting adalah sisi teologis atau spiritualitasnya, yang lazim dihubungkan orang dengan peristiwa-peristiwa seperti itu, baik dari kalangan orang-orang Farisi maupun di antara rakyat biasa, yakni: bahwa salah satu penderitaan menimpa manusia sebagai hukuman untuk suatu dosa tertentu, dan bahwa dari beratnya penderitaan itu dapat ditarik kesimpulan tentang beratnya dosa itu (bnd.Yoh.9:3). Jadi, Yesus seakan dapat menebak pikiran mereka dan menentang pemahaman teologi mereka. Alih-ali setuju dengan pendapat mereka, Yesus memakai peristiwa tragis itu menyerukan pertobatan. Seolah Ia berkata, “Kamu ini masih hidup, maka pakailah waktu dan kesempatan yang diberikan kepadamu itu, yakni dengan jalan bertobat, sebab kalau engkau tidak bertobat, maka pada suatu hari engkau engkau sendiri akan ditimpa hukuman!”

Yesus sendiri masih memperkuat dengan contoh tragis kedua yang berhubungan dengan proyek air minum. Belum lama terjadi suatu kecelakaan di Yerusalem yang menyebabkan delapan belas orang Yerusalem meninggal. Kemungkinan para korban adalah mereka yang sedang membangun Menara Siloam di sudut tembok kota. Diduga mereka bekerja di sana berhubungan dengan proyek saluran air minum itu. Berkembanglah rumor, “Nah, itulah hukuman bagi orang-orang yang menolong Pilatus dengan rancangan-rancangannya yang busuk!

Namun, Yesus menolak pandangan demikian, “Tidak! Mereka tidak lebih berdosa daripada orang-orang Israel lainnya!” Pernyataan ini muncul dalam Lukas 13: 3 dan 5. Kecelakaan atau malapetaka fisik bukanlah bukti dari dosa tertentu! Sebab, ada banyak orang yang tidak kurang berdosa ketimbang mereka yang menjadi korban itu, hidupnya baik-baik saja – tidak pernah mengalami malapetaka! Meski berkata, “Tidak!” Yesus mengingatkan mereka dengan keras untuk bertobat. Dalam ucapan Yesus ini terkandung pemahaman, “Jika bangsa Yahudi tidak bertobat, maka mereka akan mengalami kebinasaan. Sebelumnya, Yesus sudah memakai contoh kota Tirus, Sidon, Sodom, dan Niniwe akan mengalami hukuman lebih ringan daripada bangsa Yahudi jika tidak bertobat. Bagaimanapun juga ketika orang tidak menggunakan kesempatan hidupnya untuk bertobat dan menghasilkan buah pertobatan maka kebinasaanlah yang akan mereka tuai.

Hidup setiap murid Tuhan yang bertobat seharusnya menghasilkan buah. Buah yang dimaksud adalah karakter dan perilaku baik. Karakter dan perilaku baik itu sangat berbeda bahkan berlawanan dengan tabiat manusia lama sebelum mengenal Kristus. Itulah makna dari metanoia: bukan hanya berhenti melakukan tindakan dosa melainkan berhenti dan berbalik arah! Bukan sekedar berhenti mencuri tetapi berusaha memberi. Bukan stop membicarakan kesalahan orang lain, tetapi kini berusaha menjadi teladan agar orang lain termotivasi melakukan tindakan kebajikan. Bukan hanya berhenti bertindak egois, namun kini belajar melayani orang lain!

Melalui tanggapan terhadap malapetaka dan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah, Yesus sangat serius dengan berita pertobatan. Pohon ara dari perumpamaan ini ditanam di tanah yang baik, bukan tumbuh sembarangan melainkan di dalam kebun anggur. Itu artinya semua kebutuhan nutrisi dan perawatan lebih dari cukup. Tentu saja si pemiliknya berharap agar pohon ara itu berbuah. Namun, setelah 3 tahun – pohon yang semestinya telah berbuah – pohon itu hanya menghasilkan daun. Jauh dari harapan sang pemilik. Si pemiliknya kecewa dan sambil mengeluh, ia memerintahkan kepada tukang kebun itu untuk menebang saja pohon ara yang mandul itu. 

Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menantikan pohon ara itu berbuah. Bila Yesus mengucapkan jangka waktu tiga tahun di penghujung karya-Nya. Maka hal ini bisa dipahami bahwa Ia sudah tiga tahun, pelayanan-Nya sudah hampir selesai di tengah-tengah bangsa-Nya sendiri. Namun, nyatanya mereka tidak berubah. Mereka tidak bedanya dengan bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah. Alih-alih bertobat, Israel justru berencana membunuh-Nya. 

Sudah berapa lama kita mengenal dan mengikut-Nya? Adakah karakter dan perilaku yang sudah berubah? Adakah kualitas tabiat hidup kita berada di atas mereka? Ataukah justru lebih rendah dari mereka yang tidak mengenal Allah? Kalau hal ini terjadi, maka bersiaplah bahwa kita akan “ditebang” oleh Sang Pemilik kebun itu!

Tetapi bila perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah ini diletakan di awal karya Yesus. Maka ungkapan ini mengacu kepada lamanya waktu persiapan akan Mesias (termasuk karya Yohanes Pembaptis. Para nabi sejak dahulu menangisi Israel sebagai pohon yang tidak berbuah. Karya Yesus yang berada di tengah-tengah mereka boleh diartikan sebagai waktu tambahan yang Allah berikan bagi Israel.

Ketika kita masih diberi nafas kehidupan sampai saat ini, secara spiritualitas kita dapat mengatakan bahwa Tuhan masih memberikan waktu tambahan buat kita. Nah, sekarang apakah kita menyia-nyiakan kebaikan dan kesabaran Tuhan? Ataukah kita mengisinya dengan melakukan segiat-giatnya kehendak Bapa? Jadi, jangan sekali-kali kita mencobai kesabaran Tuhan, sebab siapa tahu tidak ada lagi waktu untuk kita berbalik dan akhirnya menuju kebinasaan!

Bagi para penatua dan badan pelayanan yang baru dilantik. Inilah saatnya kita membuktikan dan ambil bagian untuk hidup berbuah. Di sinilah di “kebun anggur Tuhan”, kita harus mengisi kehidupan kita dengan segala kebajikan yang berasal daripada-Nya. Tuhan menginginkan kita tumbuh dan berbuah sehingga mengharumkan nama Tuhan dan gereja ini menjadi saluran berkat bagi banyak orang.

Jakarta, Minggu Pra-paskah III, 2019

Jumat, 15 Maret 2019

MENGIKUT YESUS DI JALAN PENDERITAAN DAN KERENDAHAN

Pada 17 Juli 2015, Kanselir Jerman Angela Merkel berhadapan dengan seorang remaja putri pengungsi Palestina dari Lebanon, yang keluarganya mencari suaka di Jerman, tetapi akan segera dideportasi. Remaja itu, Reem, mengatakan kepada Merkel dalam bahasa Jerman yang lancar bahwa, “Benar-benar sangat sulit menyaksikan bagaimana orang bisa menikmati kehidupan pada saat Anda sendiri tidak bisa. Saya tidak tahu ke mana masa depan saya tertuju.” Merkel menjawab, “Politik memang bisa keras”, dan kemudian menjelaskan bahwa ada ratusan ribu pengungsi Palestina di Lebanon, dan Jerman tidak bisa menampung mereka semua. Terkesima dengan jawaban tidak masuk akal ini, Reem berurai air mata. Merkel mengusap punggung remaja putri itu tetapi tetap bersih keras dengan senjatanya.

Badai reaksi publik menyerang Merkel, banyak yang menuduhnya tidak sensitive dan tak punya perasaan. Demi meredakan kritik, Merkel mengubah sikap, Reem dan keluarganya mendapatkan suaka. Dalam beberapa bulan kemudian, Merkel bahkan membuka pintu lebih lebar, menyambut ratusan ribu pengungsi masuk Jerman. Namun, tidak lama kemudian Merkel menghadapi serangan gencar, dianggap tunduk pada sentimentalisme dan kurang tegas bersikap. Banyak orang tua Jerman khawatir bahwa sikap berbalik Merkel (yang menerima pengungsi) berarti bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan standar hidup lebih rendah, dan mungkin menderita akibat gelombang pasang Islamisasi. Mengapa pula mereka harus mempertaruhkan kedamaian dan kemakmuran keluarga mereka untuk membantu orang-orang yang asing sama sekali dan mungkin tidak memercayai nilai-nilai kebenaran universal?

Bagi sekelompok orang menilai kebijakan Merkel akan mengancam masa depan Jerman bahkan Eropa secara keseluruhan. Bagi lawan politik Merkel, inilah saat yang tepat untuk menghentikan dan menyingkirkan Merkel. Mereka tidak mau hanya karena seorang Merkel, Jerman menjadi seperti Suriah di masa depan. Mereka tidak mau negaranya berada di bawah bayang-bayang teroris radikal. Mereka berharap Merkel punya kebijakan seperti Presiden Donald Trump yang menutup rapat para pengungsi. Bagi mereka Merkel adalah orang yang membahayakan bagi bangsa dan negara Jerman.

Bagi Herodes dan orang-orang Farisi, Yesus adalah ancaman yang membahayakan otoritas mereka. Pada saat itu Yesus berada di wilayah kekuasaan Herodes Antipas, yakni sekitar Galilea atau Perea. Herodes mau supaya Yesus meninggalkan wilayahnya untuk mencegah kerusuhan di kalangan rakyat. Di pihal lain, orang-orang Farisi juga mau supaya Yesus meninggalkan daerah itu dengan memaksa-Nya pergi ke Yudea atau Yerusalem. Dalam kepentingan yang sama, sangat mungkin Herodes dan beberapa orang Farisi bersekongkol untuk menyingkirkan Yesus. Tampaknya saja beberapa orang Farisi ini seolah-olah ingin berbuat baik menolong Yesus agar tidak dibunuh Herodes (Lukas 13:31), padahal sebenarnya mereka punya niat yang sama, yakni agar Yesus enyah dari wilayah mereka.

Yesus sangat faham dengan niat mereka, maka Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu…”(Lukas 13:32). Dengan tegas Yesus menyebut Herodes sebagai serigala. Apa artinya? Serigala adalah gambaran orang licik yang tidak berani berhadapan muka). Pesan Yesus sangat kuat, seolah Dia berkata, “Ketahuilah bahwa Aku sedang giat-giatnya melakukan kebajikan: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, dan bahwa Aku tidak takut digertak, tetapi akan seperti biasa, melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok (artinya, beberapa waktu lagi), sampai pada hari yang ketiga (artinya, pada akhirnya, pada waktu yang ditentukan oleh Allah sendiri) pekerjaan-Ku disudahi. Aku tidak takut dan tidak akan pergi, tetapi akan menyelesaikan pekerjaan-Ku. Dan, bahwa kemudian Aku akan pergi meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, itu sama sekali bukan karena takut kepada Herodes, melainkan karena sesuai dengan rencana Allah. Jadi, Aku akan melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi, sampai Aku tiba di Yerusalem.
Yerusalem adalah pusat Israel dan seolah-olah mewakili seluruh Israel, sebab kota itulah yang diyakini orang Yahudi sebagai kota suci, karena Bait Allah ada di sana. Di Yerusalem juga para pemimpin Israel tinggal. Dan sekarang, Yesus menyamakan diri-Nya dengan seorang nabi yang akan mati di pusat Israel itu. Pada pihak lain, Yerusalem menjadi pusat keluhan Yesus. Keluhan yang sangat pahit karena perlakuan mereka terhadap utusan-utusan Allah. Membunuh para nabi dengan cara keji dan sadis. 

Benar, bahwa di Yerusalem Yesus akan mengakhiri pelayanan-Nya. Di kota suci itu Ia akan ditolak, diolok-olok, disiksa dan jatuhi hukuman salib. Berat! Yesus mengeluh bukan untuk diri-Nya, bukan untuk tugas yang sangat berat yang harus Ia selesaikan. Namun, Ia mengeluh oleh karena Israel yang menolak kasih sayang Allah yang rindu bagaikan induk ayam mengumpulkan anak-anaknya.Tindakan kasih ini dibalas dengan penolakan, perlakuan sadis dan brutal. Tentu saja – dalam tradisi para nabi – Yesus mengingatkan dan menegur, kalau hal ini dilakukan maka yang terjadi mereka tidak akan dapat mengelak dari hukuman Allah. Yesus mengeluhkan mereka oleh karena Ia menyayangi mereka dan tidak mau mereka binasa!

Apakah kita juga menjadi bagian dari keluhan Yesus? Bisa “Ya”, dan juga “Tidak”. Hal ini bergantung dari motivasi dan cara kita menjadi pengikut Yesus. Kita akan menjadi bagian dari keluhan Yesus apabila motivasi mengikut-Nya hanya untuk mencari kenyamanan dan memanfaatkan kebaikan-Nya saja. Kita tidak mau menanggung risiko, suka mengikut arus.

Sebaliknya, kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang tidak dikeluhkan Yesus ketika dengan sungguh-sungguh mengikuti-Nya. Sang pengikut jelas akan berada di belakang siapa yang diikuti-Nya. Mengikuti Yesus berarti mencontoh apa yang dilakukan-Nya. Ia mengerjakan tugas panggilan-Nya sampai selesai. Tidak pernah takut ketika menghadapi tantangan. Tidak pernah kompromi meski mengalami ketidak-nyamanan. Bahkan ketika rela menderita dan direndahkan!

Benar, penderitaan tidak usah dicari-cari. Namun, ketika melakukan firman-Nya dan ketika hati kita bergetar mendengar kebenaran, mestinya apa pun risiko yang menghadang di depan kita harus dihadapi. Tidak sedikit gugatan, cemoohan, kebencian, bahkan teror telah menjadi kenyataan dalam era kepemimpinan Angela Merkel ketika ia bersih kukuh membuka negaranya untuk kaum pengungsi Palestina dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Merkel bisa saja memilih sikap seperti para pemimpin sekutunya yang lain. Menutup rapat-rapat tapal batas negaranya agar ancaman itu tidak terjadi. Kita bisa mengevaluasi, entah apa yang dilakukan oleh Merkel adalah bagian dari politik pencitraan ataukah betul-betul karena nuraninya yang tidak tahan melihat ratusan ribu Reem-Reem tanpa masa depan dan tanpa penghargaan terhadap kemanusiaan. Yang jelas, ada begitu banyak remaja seperti Reem kini punya masa depan yang baik.

Sangat mungkin hari ini Anda – seperti Merkel berhadapan dengan Reem – diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang mengusik rasa nyaman Anda bahkan orang-orang yang Anda cintai. Ada harus memilih, apakah taat dan setia kepada-Nya tetapi berisiko tidak nyaman, direndahkan dan mengalami kesulitan? Ataukah mengambil keputusan memelihara kenyamanan bahkan keuntungan meski bertolak belakang dengan kebenaran yang terus bergetar di hati Anda?

Tentu saja Yesus tidak mengajarkan sebuah kekonyolan dalam mengambil sikap. Yang Ia ajarkan adalah keberanian mengambil risiko demi cinta kasih dan memertahankan kebenaran. Yesus menjanjikan masa depan yang baik. Caranya? Mengikuti dan melakukan apa yang sudah Ia kerjakan. Bisa saja ketika melakukannya kita mendapat perlakuan tidak menyenangkan, penderitaan bahkan di bawahbayang-bayang ancaman maut. Bisa saja seperti Merkel, Martin Luther King Jr, atau Mahatma Gandhi yang harus disingkirkan. Namun, kita akan bisa melihat buah karya mereka bagi peradaban dunia.

Jakarta, Minggu Pra-Paskah II, 2019

Rabu, 06 Maret 2019

TAAT DALAM PENCOBAAN

B.J Boland pernah menulis, “Iblis seakan-akan selalu mengikuti Allah dari belakang untuk merusak pekerjaan-Nya. Seperti dalam Kejadian 3:1, juga dalam pencobaan Yesus ia bertolak dari ucapan Allah,…sebelumnya Tuhan Allah berkata, ‘Engkaulah Anak-Ku’ (Luk.3:22). Sekarang si pencoba itu datang dan berkata, ‘Jika Engkau (betul-betul) Anak Allah, suruhlah (saja) batu itu menjadi roti!’ Dengan perkataan lain, adalah pada tempatnya bahwa Engkau mempergunakan kedudukan-Mu sebagai “Anak Allah” dan mempergunakan karunia yang Allah telah berikan kepada-Mu, yakni kuasa untuk melakukan mukjizat. Baik dalam pencobaan pertama ini maupun nantinya di kayu salib, Yesus dicobai untuk mempergunakan kekuasaan dan kedudukan-Nya sendiri.”

Iblis seakan-akan selalu mengikuti Allah dari belakang! Dan ternyata apa yang ditawarkan Iblis tampaknya lebih menarik ketimbang apa yang dikehendaki Allah. Allah meminta Adam dan Hawa taat dengan perintah-Nya untuk tidak memakan pohon buah pengetahuan. Namun, Iblis menawarkan: mereka akan bisa menyamai Allah, tahu yang baik dan yang jahat. Bukankah, ini lebih menarik ketimbang peraturan Allah yang memberi batasan? Demikian juga yang terjadi dengan Yesus. Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun (Lukas 4:1). Jelas, padang gurun alih-alih tempat tamasya, berbahaya, gersang dan sama sekali bukan tempat nyaman. Lagi pula di sana Yesus harus tinggal empat puluh hari dan berpuasa. Bisa dibayangkan: tempat yang tidak nyaman, berbahaya dan seorang diri harus berpuasa? Lalu datanglah si penggoda, Iblis. Dia menawarkan makanan, kekuasaan dan popularitas religius. Bukankah pilihan yang sangat menarik? Iblis mengikuti Allah dari belakang dengan cara memberikan hal-hal menarik yang berlawanan sekali dengan apa yang dilakukan Allah.

Pencobaan pertama yang dicatat Injil Lukas adalah mengubah batu menjadi roti (makanan). Yesus dicobai untuk menggunakan kuasa-Nya sebagai Anak Allah. Tampaknya masuk akal: lapar membutuhkan makanan. Makanan tidak ada, yang ada batu. KanYesus Anak Allah, jadi untuk mengubah batu menjadi roti itu perkara kecil. Namun, sebagai Anak Allah, Yesus tidak mau melakukan apa yang tidak ditentukan oleh Allah. Jawaban Yesus mengacu pada peristiwa yang dikisahkan dalam Ulangan 8:1-6. Dalam peristiwa itu umat Allah melakukan perjalanan empat puluh tahun di padang gurun dan diuji. Tujuannya agar Israel menjadi umat yang rendah hati. Manna yang mereka makan hendaknya mengingatkan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Bukankah memang yang terjadi seperti itu? Manna yang dimakan oleh umat Israel di padang gurun adalah buah firman yang keluar dari mulut Allah! Saat ini pun mestinya kita menyadari; apa yang kita makan, baik yang bersumber dari nabati atau hewani semua tercipta dan ada oleh karena ada firman yang keluar dari mulut Allah yang menjadikannya. Makanan penting, dan harus ada. Namun, tanpa ada yang menciptakan maka yang penting dan harus ada itu, tidak akan ada!

Tampaknya Israel tidak tahan dengan ujian padang gurun. Mereka mengeluh dan mencari makanan selain manna yang diberikan Allah, Yesus tidak mau menuruti Iblis untuk mengubah batu menjadi roti. Betapa seringnya kita pun seperti Israel. Mudah mengeluh dan mempertanyakan pemeliharaan Tuhan. Cobaan pertama, tentang kebutuhan perut mengingatkan kita betapa rentannya manusia ketika diperhadapkan dengan masalah perut atau lebih luasnya kebutuhan ekonomi. Seolah-olah kalau manusia lapar, ia boleh saja mencuri, merampok atau membunuh demi memertahankan hidupnya. Lebih parah dari itu, bukan saja untuk memertahankan kehidupan. Manusia digoda oleh ketamakan untuk menguasai apa pun. Memperkaya diri sendiri di atas penderitaan orang lain dan penderitaan alam.

Dengan mengatakan “Ada tertulis”Yesus menegaskan bahwa sebagai Anak Allah, Ia bukannya memerintah, melainkan taat. Karena Yesus taat, maka Ia mengutip kitab suci. Selaku manusia yang penuh Roh Kudus, Yesus mampu mengadakan makanan buat diri-Nya sendiri. Namun, Ia percaya penuh akan kuasa Allah yang telah memberi Dia kehidupandan akan mempertahankannya pula. Yesus yakin bahwa Allah akan memelihara-Nya dalam segala cobaan dan bahaya. Manusia diciptakan tidak untuk melakukan keajaiban, melainkan berlaku seperti manusia sejati. Sebagai Anak Allah, Yesus taat menjalani hidup sebagai manusia. Kalau perlu, acara makanan harus ditunda, supaya gurun tetap berperan semestinya, yaitu sebagai tempat belum terwujudnya segala keinginan. Saat ini pun, yakinlah kalau Allah sanggup memelihara kita, mencukupkan kebutuhan kita. Namun, sering kali kitalah yang dibujuk oleh segala keinginan dan nafsu serakah.

Pencobaan kedua, Yesus dibujuk untuk mengakui bahwa ada pihak lain yang menguasai dunia ini selain Allah. Ia dibujuk untuk menyembah penguasa itu. Jawab Yesus mengacu pada seruan Musa kepada orang-orang Israel yang pada waktu itu mulai terpikat oleh kultus Kanaan (Ulangan 12:30-31). Musa terus-menerus mengingatkan mereka untuk tidak mengikuti dewa-dewi asing (Ulangan 23:23-33). Lagi, Yesus ditampilkan kontras dengan Israel. Ia tidak ingin menyembah pihak lain, selain Allah! Berhadapan dengan tawaran jahat itu, Yesus bertindak tegas. Iblis yang seperti karikatur Allah, diperingatkan bahwa hanya ada satu Tuhan saja. Maka dia pun harus menyembah Allah. 

Pencobaan Iblis terus berlangsung hingga kini. Berhala Kanaan, Kultus Mesir, atau ritual animismedan dinamisme pastinya tidak akan memikat kaum rasional zaman now. Namun, kuasa selain Allah yang menggoda manusia selalu muncul dalam setiap peradaban. Kini, perkembangan teknologi semakin mencengangkan. Orang sudah tidak butuh lagi bertanya di jalan, ada GPS, Waze, dan sejenisnya. Aplikasi-aplikasi dalam genggaman tangan seolah tahu ritme kehidupan dan kebiasaan kita. Mereka seolah bisa meramalkan masa depan kita. Manusia kelihatannya saja mandiri, namun sebenarnya menggantungkan diri pada teknologi dan aplikasi-aplikasi itu. Hampir semua orang pada saat ini sulit terpisahkan dari gadgetnya. Apakah teknologi itu negatif? Oh, tentu saja tidak! Namun, sikap kitalah yang menentukan. Ketika gadget sudah menggantikan segalanya, dan kita bergantung melebihi keyakinan kita pada Tuhan, waspadalah di sana Anda dan saya masuk ke dalam perangkap si penggoda!

Dalam pencobaan ketiga, Yesus kembali dicobai sebagai Anak Allah. Jawaban Yesus kembali mengacu pada Ulangan 6:16. Kisah di baliknya adalah cerita tentang Israel yang mencobai Allah pada peristiwa Massa dan Meriba (Kel. 17:1-7) ketika umat Israel meminta air kepada Allah. Yesus menolak untuk mencobai Allah. Iblis menggunakan Kitab Suci secara harfiah, tetapi Yesus selalu mencari maknanya. Bagi Dia, rencana Allah adalah hal utama ketimbang kemauan-Nya sendiri, walaupun pelaksanaan rencana itu mengakibatkan penderitaan bahwa pengorbanan nyawa-Nya sendiri. Lewat jawaban-Nya, Yesus juga memperingatkan manusia untuk tidak mencobai Allah. Dalam pemahaman Perjanjian Lama, berbicara tentang mencobai Allahmempunyai dua arti, yakni : Pertama, Tidak taat kepada Allah untuk melihat sejauh manakah kesabaran-Nya. Kedua, Memanfaatkan kebaikan Allah dengan maksud untuk kepentingan sendiri.

“Mencobai Tuhan Allah”, berkaca dari pemahaman umat Allah, bukankah kerap kali kita punya pemahaman seperti itu. “Tuhan kita Mahakasih dan Mahamurah, pastilah Ia akan mengampuni dosa kita!” Betul, Tuhan kita Mahakasih dan Mahamurah, namun Dia tidak bisa dimanipulasi dengan kita mencoba-coba kesabaran-Nya. Ini sangat berbahaya! Di pihak lain, sering kali kita juga memanfaatkan kebaikan Tuhan untuk kepentingan diri sendiri. Ada banyak bentuk perilaku mengenai hal ini. Namun, sekali lagi : ingatlah bahwa Tuhan tidak dapat dan tidak boleh dicobai. Ia sangat tahu siapa yang sungguh-sungguh taat kepada-Nya dan siapa yang sedang mempermainkan nama-Nya! 

Jakarta,  Minggu Pra-Paskah 1, 2019

Selasa, 05 Maret 2019

KITA ADALAH ABU DAN DEBU

Dalam keseharian abu dan debu begitu dekat dengan kita. Sama-sama partikel atau serbu halus sekali dan mudah diterbangkan angin. Namun, tampaknya ada sedikit nuansa antara abu dan debu. Abu, umumnya berasal dari sisa hasil pembakaran. Kayu dibakar, menjadi arang dan akhirnya menyisakan debu. Begitu pula dengan jasad manusia yang dikremasi menyisakan abu putih halus. Sedangkan debu berasal dari benda-benda yang berbenturan, bergesekan atau bertumbukan sehingga menghasilkan partikel-partikel halus berdiameter kurang dari 500 mikrometer. Umpamanya, debu tanah, pasir atau debu vulkanik dan batubara. Baik abu dan debu dalam tataran spiritual mempunyai makna simbolis. Keduanya melambangkan ketidak-berdayaan, ketiadaan arti,kecil, lemah dan fana.

Konon manusia diciptakan dari situ; “… ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej.2:7). Dari ketiadaan arti, kecil, dan lemah, TUHAN menjadikannya makhluk superior atas segala ciptaan yang ada. “Tak ada keraguan bahwa Homo Sapienadalah spesies paling kuat di dunia. Homo Sapienjuga suka berpikir bahwa ia memiliki status moral superior, dan bahwa kehidupan manusia jauh lebih bernilai ketimbang kehidupan babi, gajah, atau serigala.” Ungkap Yuval Noah Harari (Homo Deus, masa depan umat manusia). Meskipun kemudian ia mempertanyakan, “Apakah benar bahwa kehidupan manusia lebih berharga dari kehidupan babi hanya karena manusia secara kolektif lebih kuat ketimbang babi secara kolektif?.... Kita meyakini bahwa hidup manusia benar-benar lebih superior dalam suatu hal yang fundamental. Kita Sapiens gemar mengatakan kepada diri sendiri bahwa kita memiliki suatu kualitas ajaib yang tidak hanya membentuk kekuatan besar kita, tetapi juga memberi kita justifikasi moral atas status istimewa kita. Apa, sih, penanda unik manusia ini? Monoteis tradisional menjawab bahwa hanya Sapiens yang punya jiwa abadi. Sementara tubuh rusak membusuk, jiwa meneruskan perjalanan menuju penyelamatan atau kutukan, dan akan menjalani kebahagiaan abadi di surga atau penderitaan abadi di neraka. Mereka hidup beberapa tahun, dan kemudian mati dan lenyap dalam ketiadaan.”

Meski Harari masih mempertanyakan dengan bekal eksperimen-eksperimen laboratorium, apakah benar manusia itu punya jiwa, setidaknya sejarah telah memberi ruang kepada makhluk yang bernama manusia adalah penguasa jagat raya. Seperti yang terungkap dalam Mazmur 8, “Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, … Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu,…”

Secara moral teologis, kekuasaan yang dipercayakan kepada manusia adalah untuk memertahankan dan mengembangkan keutuhan ciptaan yang semula diciptakan dengan sungguh amat baik. Artinya, kekuasaan dan kewenangan itu sama seperti apa yang Allah lakukan: memelihara dan menjaga adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa yang dimandatkan kepada manusia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan manusia? Keserakahan, ketamakan, pemuasan nafsu itulah yang terjadi. Manusia menolak mandat itu, ia menolak “nafas kehidupan yang dihembuskan Allah”. Kita tahu ujungnya: kematian! Bumi ini terus mengarah kepada kematian karena yang diberi mandat untuk menguasai dan mengelolanya menggunakannya untuk kepuasan sendiri.

Dalam tataran spiritual, para nabi diutus Sang Penguasa yang sesungguhnya untuk menegur dan mengingatkan manusia. Untuk bencana yang bakal terjadi. Nabi Yoel, mengatakan kematian dan hukum itu sudah di depan mata, “… suatu hari gelap gulita dan kelam kabut, suatu hari berawan dan kelam pekat;… Di depannya api memakan habis, di belakangnya nyala api berkobar… Di depannya bumi gemetar, langit bergoncang dan bulan menjadi gelap, dan bintang-bintang menghilangkan cahayanya. Dan Tuhan memperdengarkan suara-Nya di depan tantara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dasyat hari TUHAN! Siapakah yang dapat menahannya?(Yoel 2:1-11)

Siapakah yang dapat menahan kedasyatannya jika hari itu tiba? Ketika malapetaka itu tiba: banjir besar melanda, gunung berapi memuntahkan amarahnya, tanah longsor, peperangan antar bangsa, wabah penyakit, tindakan anarki terjadi, Adakah manusia yang disebut makhluk perkasa itu sanggup menghentikannya? Hari TUHAN lebih dasyat dari itu, siapakah yang dapat menahannya? 

Perspektif spiritual memberi makna pada peristiwa alam maupun sosial yang menimbulkan bencana pada sebuah peringatan dari Yang Ilahi agar manusia mawas diri; bertobat! Tentu, saja kacamata ilmu pengetahuan bisa berbeda dalam pemaknaan. Namun, demikian ada satu benang merah yang mau dikatakan bahwa manusia, betapa pun ia punya kekuatan dan kuasa tidak dapat mengendalikan gejala-gejala alam dan fenomena sosial yang dasyat. Ada keterbatasan: kita ini berasal dari debu, berasalah dari ketiadaan arti, kecil dan fana dan kelak akan kembali seperti itu.

Berangkat dari kesadaran inilah para nabi, termasuk Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, Panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.”(Yoel 2:12-13).

Tetapi sekarang juga!”Tidak ada lagi waktu berleha-leha. Waktunya mendesak untuk berbalik kepada Yang Ilahi. Dalam tataran spiritual, Yang Ilahi dipahami sebagai sumber kekuatan moral, sumber kebaikan dan sumber kehidupan. Berbalik kepada-Nya berarti siap meninggalkan apa yang bertentangan dengan moralitas ilah. Bertobat berarti siap membuang segala kejahatan dan kini fokus pada mengerjakan apa yang baik. Tentu saja tolok ukur yang baik bukan diri sendiri melainkan kebaikan Allah. Bertobat berarti menyongsong kehidupan dan bukan kematian. Orang yang bertobat akan mengarahkan segala dayanya untuk memulihkan dan menciptakan tatanan kehidupan yang sungguh amat baik

Ibadah sejatinya mendemontrasikan kehidupan umat yang mengalami pertobatan. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pamer kesalehan. Memberi sedekah, puasa, dan berdoa tak pelak lagi adalah ritual ibadah yang baik. Namun, manusia suka menggunakan ritual-ritual itu untuk pamer kesalehan. Jelas, bukan seperti ini yang diinginkan TUHAN. Bukan alat pamer, tetapi terjadi sebagai buah dari pertobatan. Yesus mengecam praktik-praktik ibadah yang dijadikan alat pamer kesalehan (Matius 6:1-6, 16-21). Bagi-Nya, praktik ibadah itu harus membangun relasi baik dengan Allah, dan juga terhadap sesama manusia. Relasi baik itu ditandai dengan ucapan syukur dan ketaatan kepada Allah, kemudian bersedia menghadirkan damai sejahtera di bumi.

Hari ini kita masuk dalam masa pertobatan. Abu sebagai pengingat bahwa kita sebenarnya bukan siapa-siapa. Makhluk fana yang berasal dari ketiadaan daya dan arti. Kelak kita akan kembali kepada debu itu. Marilah, sebelum saat itu tiba; sebelum kita terlambat, kita menyambut ajakan TUHAN agar kita hidup dalam pertobatan. Bukan pertobatan yang basa-basi. Tidak cukup hanya dengan menorehkan abu di jidat, lalu dengan itu kita pamer bahwa kita sudah bertobat. Bukan begitu! Melainkan, dengan mengingat pesan Yoel, “Koyakkanlah hatimu dan janganlah pakaianmu!”. Olesan abu di jidat kita adalah “pakaian”. Baiklah kita pakai pakaian itu. Namun, jangan berhenti di situ. Sebab, kalau hanya itu, kita mengulangi apa yang dulu dikecam Yesus: ibadah munafik! “Koyakkanlah hatimu”, pertobatan itu harus dimulai dari hati yang tulus, yang bersedia diubahkan oleh TUHAN dan yang mau mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu Abu, 2019