Pada 17 Juli 2015, Kanselir Jerman Angela Merkel berhadapan dengan seorang remaja putri pengungsi Palestina dari Lebanon, yang keluarganya mencari suaka di Jerman, tetapi akan segera dideportasi. Remaja itu, Reem, mengatakan kepada Merkel dalam bahasa Jerman yang lancar bahwa, “Benar-benar sangat sulit menyaksikan bagaimana orang bisa menikmati kehidupan pada saat Anda sendiri tidak bisa. Saya tidak tahu ke mana masa depan saya tertuju.” Merkel menjawab, “Politik memang bisa keras”, dan kemudian menjelaskan bahwa ada ratusan ribu pengungsi Palestina di Lebanon, dan Jerman tidak bisa menampung mereka semua. Terkesima dengan jawaban tidak masuk akal ini, Reem berurai air mata. Merkel mengusap punggung remaja putri itu tetapi tetap bersih keras dengan senjatanya.
Badai reaksi publik menyerang Merkel, banyak yang menuduhnya tidak sensitive dan tak punya perasaan. Demi meredakan kritik, Merkel mengubah sikap, Reem dan keluarganya mendapatkan suaka. Dalam beberapa bulan kemudian, Merkel bahkan membuka pintu lebih lebar, menyambut ratusan ribu pengungsi masuk Jerman. Namun, tidak lama kemudian Merkel menghadapi serangan gencar, dianggap tunduk pada sentimentalisme dan kurang tegas bersikap. Banyak orang tua Jerman khawatir bahwa sikap berbalik Merkel (yang menerima pengungsi) berarti bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan standar hidup lebih rendah, dan mungkin menderita akibat gelombang pasang Islamisasi. Mengapa pula mereka harus mempertaruhkan kedamaian dan kemakmuran keluarga mereka untuk membantu orang-orang yang asing sama sekali dan mungkin tidak memercayai nilai-nilai kebenaran universal?
Bagi sekelompok orang menilai kebijakan Merkel akan mengancam masa depan Jerman bahkan Eropa secara keseluruhan. Bagi lawan politik Merkel, inilah saat yang tepat untuk menghentikan dan menyingkirkan Merkel. Mereka tidak mau hanya karena seorang Merkel, Jerman menjadi seperti Suriah di masa depan. Mereka tidak mau negaranya berada di bawah bayang-bayang teroris radikal. Mereka berharap Merkel punya kebijakan seperti Presiden Donald Trump yang menutup rapat para pengungsi. Bagi mereka Merkel adalah orang yang membahayakan bagi bangsa dan negara Jerman.
Bagi Herodes dan orang-orang Farisi, Yesus adalah ancaman yang membahayakan otoritas mereka. Pada saat itu Yesus berada di wilayah kekuasaan Herodes Antipas, yakni sekitar Galilea atau Perea. Herodes mau supaya Yesus meninggalkan wilayahnya untuk mencegah kerusuhan di kalangan rakyat. Di pihal lain, orang-orang Farisi juga mau supaya Yesus meninggalkan daerah itu dengan memaksa-Nya pergi ke Yudea atau Yerusalem. Dalam kepentingan yang sama, sangat mungkin Herodes dan beberapa orang Farisi bersekongkol untuk menyingkirkan Yesus. Tampaknya saja beberapa orang Farisi ini seolah-olah ingin berbuat baik menolong Yesus agar tidak dibunuh Herodes (Lukas 13:31), padahal sebenarnya mereka punya niat yang sama, yakni agar Yesus enyah dari wilayah mereka.
Yesus sangat faham dengan niat mereka, maka Ia menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada si serigala itu…”(Lukas 13:32). Dengan tegas Yesus menyebut Herodes sebagai serigala. Apa artinya? Serigala adalah gambaran orang licik yang tidak berani berhadapan muka). Pesan Yesus sangat kuat, seolah Dia berkata, “Ketahuilah bahwa Aku sedang giat-giatnya melakukan kebajikan: Aku mengusir setan dan menyembuhkan orang, dan bahwa Aku tidak takut digertak, tetapi akan seperti biasa, melanjutkan pekerjaan-Ku pada hari ini dan besok (artinya, beberapa waktu lagi), sampai pada hari yang ketiga (artinya, pada akhirnya, pada waktu yang ditentukan oleh Allah sendiri) pekerjaan-Ku disudahi. Aku tidak takut dan tidak akan pergi, tetapi akan menyelesaikan pekerjaan-Ku. Dan, bahwa kemudian Aku akan pergi meninggalkan wilayah kekuasaan Herodes, itu sama sekali bukan karena takut kepada Herodes, melainkan karena sesuai dengan rencana Allah. Jadi, Aku akan melanjutkan perjalanan-Ku beberapa waktu lagi, sampai Aku tiba di Yerusalem.
Yerusalem adalah pusat Israel dan seolah-olah mewakili seluruh Israel, sebab kota itulah yang diyakini orang Yahudi sebagai kota suci, karena Bait Allah ada di sana. Di Yerusalem juga para pemimpin Israel tinggal. Dan sekarang, Yesus menyamakan diri-Nya dengan seorang nabi yang akan mati di pusat Israel itu. Pada pihak lain, Yerusalem menjadi pusat keluhan Yesus. Keluhan yang sangat pahit karena perlakuan mereka terhadap utusan-utusan Allah. Membunuh para nabi dengan cara keji dan sadis.
Benar, bahwa di Yerusalem Yesus akan mengakhiri pelayanan-Nya. Di kota suci itu Ia akan ditolak, diolok-olok, disiksa dan jatuhi hukuman salib. Berat! Yesus mengeluh bukan untuk diri-Nya, bukan untuk tugas yang sangat berat yang harus Ia selesaikan. Namun, Ia mengeluh oleh karena Israel yang menolak kasih sayang Allah yang rindu bagaikan induk ayam mengumpulkan anak-anaknya.Tindakan kasih ini dibalas dengan penolakan, perlakuan sadis dan brutal. Tentu saja – dalam tradisi para nabi – Yesus mengingatkan dan menegur, kalau hal ini dilakukan maka yang terjadi mereka tidak akan dapat mengelak dari hukuman Allah. Yesus mengeluhkan mereka oleh karena Ia menyayangi mereka dan tidak mau mereka binasa!
Apakah kita juga menjadi bagian dari keluhan Yesus? Bisa “Ya”, dan juga “Tidak”. Hal ini bergantung dari motivasi dan cara kita menjadi pengikut Yesus. Kita akan menjadi bagian dari keluhan Yesus apabila motivasi mengikut-Nya hanya untuk mencari kenyamanan dan memanfaatkan kebaikan-Nya saja. Kita tidak mau menanggung risiko, suka mengikut arus.
Sebaliknya, kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang tidak dikeluhkan Yesus ketika dengan sungguh-sungguh mengikuti-Nya. Sang pengikut jelas akan berada di belakang siapa yang diikuti-Nya. Mengikuti Yesus berarti mencontoh apa yang dilakukan-Nya. Ia mengerjakan tugas panggilan-Nya sampai selesai. Tidak pernah takut ketika menghadapi tantangan. Tidak pernah kompromi meski mengalami ketidak-nyamanan. Bahkan ketika rela menderita dan direndahkan!
Benar, penderitaan tidak usah dicari-cari. Namun, ketika melakukan firman-Nya dan ketika hati kita bergetar mendengar kebenaran, mestinya apa pun risiko yang menghadang di depan kita harus dihadapi. Tidak sedikit gugatan, cemoohan, kebencian, bahkan teror telah menjadi kenyataan dalam era kepemimpinan Angela Merkel ketika ia bersih kukuh membuka negaranya untuk kaum pengungsi Palestina dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Merkel bisa saja memilih sikap seperti para pemimpin sekutunya yang lain. Menutup rapat-rapat tapal batas negaranya agar ancaman itu tidak terjadi. Kita bisa mengevaluasi, entah apa yang dilakukan oleh Merkel adalah bagian dari politik pencitraan ataukah betul-betul karena nuraninya yang tidak tahan melihat ratusan ribu Reem-Reem tanpa masa depan dan tanpa penghargaan terhadap kemanusiaan. Yang jelas, ada begitu banyak remaja seperti Reem kini punya masa depan yang baik.
Sangat mungkin hari ini Anda – seperti Merkel berhadapan dengan Reem – diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang mengusik rasa nyaman Anda bahkan orang-orang yang Anda cintai. Ada harus memilih, apakah taat dan setia kepada-Nya tetapi berisiko tidak nyaman, direndahkan dan mengalami kesulitan? Ataukah mengambil keputusan memelihara kenyamanan bahkan keuntungan meski bertolak belakang dengan kebenaran yang terus bergetar di hati Anda?
Tentu saja Yesus tidak mengajarkan sebuah kekonyolan dalam mengambil sikap. Yang Ia ajarkan adalah keberanian mengambil risiko demi cinta kasih dan memertahankan kebenaran. Yesus menjanjikan masa depan yang baik. Caranya? Mengikuti dan melakukan apa yang sudah Ia kerjakan. Bisa saja ketika melakukannya kita mendapat perlakuan tidak menyenangkan, penderitaan bahkan di bawahbayang-bayang ancaman maut. Bisa saja seperti Merkel, Martin Luther King Jr, atau Mahatma Gandhi yang harus disingkirkan. Namun, kita akan bisa melihat buah karya mereka bagi peradaban dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar