Minggu, 23 Desember 2018

TERANG YANG MEMBERI HIDUP

Hoaks, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sering dipahami sebagai berita bohong, berita tidak bersumber. Hoaks merupakan rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun “dijual” sebagai kebenaran (Silverman, Craig.2015). Hoaks dapat menimbulkan kekacauan bahkan berpotensi menghancurkan sebuah peradaban bangsa. Namun, meskipun manusia telah tahu dan mengerti dampak buruk dari hoaks, tetap saja menggandrunginya. 

Kebalikan dari hoaks adalah berita benar berdasar fakta dan data. Dengan sumber kebenaran maka kita bisa menghasilkan karya yang baik, berguna bagi kehidupan. Berita menyesatkan berujung pada kekacauan dan bencana, sebaliknya kebenaran mengantar kita pada segala sesuatu yang baik.

Natal adalah saat Allah menyatakan kebenaran di dalam Kristus; Sang Firman yang hidup! “Pada mulanya adalah Firman;…”, demikian Yohanes memulai Injilnya. Kalimat pembuka ini mengingatkan para pembacanya kepada awal mula penciptaan yang dimulai dengan, “Pada mulanya…”(Kejadian 1:1). Meskipun demikian ada yang berbeda. Yohanes 1:1 tidak mengenai awal mula karya penciptaan Allah, namun berbicara tentang keberadaan Firman yang kekal.

Yohanes, tidak seperti Matius dan Lukas yang mengisahkan kelahiran Yesus sebagai bayi mungil yang lahir dari keluarga sederhana, Maria dan Yusuf. Yohanes menyatakan eksistensi Yesus yang adalah Sang Firman itu. Ho Logos, sebutan untuk Yesus hanya ada dalam prolog Yohanes (Yoh.1:1, 14). Yesus adalah Firman Allah, penjelmaanlogos ilahi. Sebutan logos;Firman tentu berkaitan dengan peran yang diemban Yesus selama hidup-Nya. Gelar ini memperkenalkan Anak sebagai media “komunikasi diri” Allah. Ia adalah Sabda yang dengannya Allah menyatakan diri kepada dunia. Apakah tidak cukup Allah memakai para nabi-Nya untuk menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya kepada dunia? Bukankah, terlalu mewah kalua Allah sendiri yang harus turun dan menjelma menjadi manusia? Dalam hal ini kita dapat meminjam catatan dari Surat Ibrani, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia, Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan….”(Ibr.1:1-3).

Dengan tetap menaruh hormat pada peran para nabi – meskipun ada juga nabi-nabi hoaks - kita dapat melihat dari sudut pandang Allah. Allah telah begitu rupa dengan kesabaran-Nya mengutus begitu banyak nabi. Bahkan, tidak hanya itu, Allah juga berbicara dengan berbagai cara, rupanya tetap saja manusia tidak mengindahkan apa yang sudah Allah prakarsai itu. Kini, untuk menyempurnakannya, Ia sendiri menyatakan diri-Nya melalui kehadiran “Sang Anak” atau “Sang Sabda” itu. Maksudnya tidak lain agar manusia benar-benar dapat memahami dan mangalami Sang Sabda itu. Manusia dimudahkan untuk mengerti kehendak Allah. Mengapa? Karena Firman itu dikatakan menjadi daging(ay.14a, ho logos sarx egeneto). 

Di dalam Kristus, Firman itu tidak menjauhi dunia jasmani; “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, (eskenosen en hemin)…”Kata kerja “berkediaman” (harafiah: berkemah, mendirikan tenda) ini mengingatkan orang akan Allah yang berkemah di antara umat-Nya di padang gurun (Keluaran 25-40), dan yang dinubuatkan kembali berkemah di tengah-tengah umat-Nya di Sion (Yoel 3:17; Za.2:10), dalam Bait Allah yang baru (Yeh.43:7). Nubuat akan kehadiran Allah itu kini dipenuhi dalam Yesus yang adalah kediaman Allah yang “baru” itu, mengganti yang lama (Yoh.2:21). Di dalam manusia Yesus sebagai Firman Allah hadir secara utuh. Kemuliaan dan kasih setia Allah tampak di bumi dan membumi. Yesus sebagai Firman Allah yang menjadi manusia adalah jalan yang baru dan paling sempurna bagi Allah untuk mengungkapkan diri-Nya kepada umat manusia.

Dalam kerangka inilah Yesus mencerminkan dan mengungkapkan siapakah Bapa itu. Di satu sisi Firman (Anak) tidak disamakan dengan Allah Bapa (tidak identik dengan Bapa); di sisi lain, Ia juga tidak dipandang sebagai Allah yang lain di samping Allah Bapa. Ia dapat dipuja sebagai Allah karena menyatakan Allah yang Esa secara sempurna. Lepas dari Yesus, tidak seorang pun pernah melihat Allah Bapa. Dalam Yesus – sebagai Firman yang telah menjadi manusia, Allah menjadi nyata dan dapat dilihat oleh manusia. Karena menyatakan Allah Bapa sepenuhnya, Yesus sendiri pun disebut Allah.

Di dalam Yesus Kristus, manusia dapat dengan terang-benderang melihat Bapa. Bapa yang sebelumnya dipahami begitu jauh, kini bukan saja dapat dilihat, melainkan dapat disentuh! Dengan demikian Yesus Kristus adalah Terang dunia. Yesus Sang Firman itu bukan hanya sumber hidup dalam arti biasa melainkan hidup yang mempunyai eksistensi bermakna mulia (zoe).

Hidup, dalam Bahasa Yohanes berarti juga “keselamatan” dan sama dengan “hidup kekal”. Hidupadalah keberadaan sejati manusia. Maka hidup itu dapat disebut terang(phos), kata lain hidup sejati, hidup bagi mereka yang berada dalam hubungan dengan Bapa sebagai anak-anak-Nya. Namun demikian, ternyata tidak semua orang menyambut Sang Terang ;Sang Sabda yang menjadi Manusia itu. Mereka tetap memilih untuk tidak mengenalnya, “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.”(Yoh.1:10).

Tujuan dari kedatangan Sang Firman; Terang dunia adalah untuk menerangi setiap orang; setiap kehidupan dengan kasih ilahi dan dengan demikian membangun kembali hubungan yang benar dengan Allah. Namun ironisnya, manusia tetap buta. Terang itu ditolak, baik dalam bentuknya sebagai kehadiran Allah dalam tata ciptaan, maupun sebagai pewahyuan dalam sejarah Israel. Menolak dalam tata ciptaan; yang semula diciptakan sungguh amat baik. Namun telah menjadi porak-poranda oleh keserakahan manusia. Penolakan dalam sejarah Israel terwujud dalam penyingkiran, penganiayaan dan pembunuhan-Nya di kayu salib. Penolakan masa kini dengan cara membungkam dan menolak ajaran serta teladan-Nya.

Namun, kepada mereka yang percayadan menyambut Sang Terang itu, Ia memberi kuasa(exousia) – semacam otoritas (hak) – untuk menjadi anak-anak Allah.Orang-orang Israel yang percaya tahu bahwa kuasa itulah yang akan menjadikan mereka anak-anak Allah. Manusia – dengan upaya dan kuasanya sendiri – tidak mampu menjadi apa yang merupakan tujuannya dan harus semata-mata bergantung pada kekuatan adikodrati.

Terang itu telah datang di dalam diri Yesus Kristus. Terang itu menawarkan kehidupan karena memulihkan hubungan dengan Sang Sumber hidup sesungguhnya, yakni Bapa sendiri. Kini, bagaimana kita menyambut Terang itu? Apakah kita menjadi bagian dari kelompok orang yang menolak-Nya? Ataukah kita bersedia menyambut-Nya? Terang itu bisa hadir di hati kita. Ia menyuarakan kebenaran, bagaimana kita meresponnya. 

Socrates, seorang bijaksana dan suci yang hidup pada zaman Yunani kuno. Ia pernah mengatakan akan memilih untuk mati seribu kali dari pada tidak taat kepada Allah, yang menyatakan diri-Nya dalam terang hati nuraninya dan dalam kerinduannya akan kebenaran. Apakah kita seperti Socrates dalam menyambut Sang Terang? Gigih berjuang agar Sang Terang itu tetap bersinar di dalam hati. Ataukah kita larut dalam trend dunia ini?Tidak peduli lagi dengan suara kebenaran! Natal sejatinya adalah saat kita berbenah diri. Natal seharusnya bukan Yesus yang lahir di palungan, melainkan Dia lahir, ada dan bertakhta di hati ini. Dengan demikian Natal adalah momentum Sang Terang yang memberi kehidupan!

Selamat Natal, 25 Desember 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar