Jumat, 27 April 2018

BERBUAH DALAM RELASI DENGAN ALLAH DAN SESAMA


Hari ini saya membaca surat kabar, tentu saja ada pelbagai macam berita. Namun, yang mendominasi adalah berita tentang politik. Ketua pembina salah satu partai politik dengan tegas mengatakan kurang lebih begini, "Kali ini sudah jelas pilihan partai kami, tidak akan mendukung Joko Widodo sebagai presiden. Memang ada seorang dari partai kami yang sekarang duduk sebagai menteri namun, itu bukan koalisi yang benar. Kalau pun ketua umum partai kami menyatakan pendapat bahwa partai kami terbuka untuk berkoalisi dengan petahana, itu hanya sandiwara saja!" Ketika bapak ketua pembina yang sudah tidak muda lagi ini ditanya tentang mengapa punya sikap seperti itu. Ia menjawab, "Karena tidak sesuai dengan harapan partai kami!"

Dalam dunia politik, transaksi itu begitu vulgar dipertontonkan: Kalau saya mendukung, lalu saya dapat apa? Moralitas, integritas sering diminta parkir dulu di belakang. Akibatnya, nilai-nilai luhur politik terkubur oleh kepentingan pragmatis. Tidaklah heran, di satu tempat partai A bisa berkoalisi dengan partai B untuk menjadi musuh partai C yang bergabung dengan partai D. Namun, di tempat lain partai C justeru bekerja sama dengan A dan memusuhi partai B. Transaksi selalu mensyaratkan saya memberi apa dan mendapatkan apa. Transaksi selalu pragmatis!

Bagaimana dalam lembaga-lembaga pelayanan, gereja atau keluarga? Mestinya kita sepakat: lembaga pelayanan, gereja atau keluarga bukan lembaga politik. Oleh karenanya yang dikembangkan seharusnya relasi bukanlah transaksi. Namun nyatanya? Kita bisa melihat dan merasakan sendiri. Ada kalanya relasi itu begitu hangat, mesra dan menggembirakan. Namun, tidak sedikit dalam dunia yang seharus pelayanan diletakkan di atas segalanya, justeru tidak lebih baik dari dunia bisnis bahkan politik. Lebih buruk, oleh karena lembaga-lembaga yang seharusnya mengusung kasih itu, suka menggunakan kasih sebagai bemper atau alat untuk mencapai ambisi. Hal ini seperti apa yang menjadi teguran Yohanes, "Jikalau seseorang berkata, 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya." (1Yoh.1:20).

Relasi, adalah sebuah kata yang berkaitan dengan "hubungan". Relasi adalah gambaran atau cara bagaimana dua orang/pihak atau lebih berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam kata relasi terserap makna keterikatan. Contoh, saya berelasi dengan Anda, maka saya punya ikatan yang bukan hanya transaksi melainkan Anda adalah bagian dari hidup dan kehidupan saya. Kalau seseorang merupakan bagian dari hidup kita maka kita tidak mungkin memperlakukan orang tersebut dengan semaunya.

Yesus mengajarkan relasi itu dengan cara tinggal bersama-sama dengan-Nya. Ketika Ia memanggil sejumlah orang untuk menjadi murid-Nya, Ia mengajak mereka tinggal dengan-Nya. Mereka menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri-Nya. Apa artinya tinggal (menein) dalam Yesus? Kita masih mengingat pemanggilan para murid Yesus yang pertama versi Injil Yohanes. Dua murid yang pertama bertanya, "Rabi, di manakah Engkau tinggal?" Lalu Sang Guru itu menjawab mereka katanya, "Marilah dan kamu akan melihatnya." Mereka pergi untuk tinggal bersama-sama dengan Dia.

Kita dapat membayangkan relasi yang dibangun Yesus bersama-sama murid-murid ibarat tinggal dalam sebuah rumah. Kita merasakan kebersamaan dengan-Nya rumah itu adalah tempat damai. dan damai itu merupakan sumber kreativitas. Dengan tinggal bersama-Nya, kita dapat menghasilkan buah. Dan buah itu adalah cinta kasih yang mengalir, dapat dilihat dan dinikmati orang lain.

Yesus menggambarkan cara berelasi atau tinggal bersama-Nya melalui gambaran pohon anggur (Yohanes 15:1-8). Dalam Perjanjian Lama, kebun anggur kerap dipakai sebagai kiasan untuk bangsa Israel yang sangat diperhatikan Allah. Namun, dalam beberapa kali penggambaran itu, Israel tidak menghasilkan buah. Alih-alih melakukan kehendak Allah, mereka hidup tak ubahnya seperti orang yang tidak mengenal Allah (bnd. Hos.10:1; Yer.6:9; Yeh.15; 17:5-10; 19:10-14). Mereka tidak menghasilkan buah! Kini, Yesus menggunakan kiasan yang serupa yakni "pokok anggur". Kalau Perjanjian Lama mengisahkan tanaman anggur dari sisi negatif, Yesus menyatakan diri-Nya, "pokok anggur yang benar". Murid-murid sebagai ranting-ranting dari pokok itu. Hal ini bermakna, Yesus bersama para murid-Nya tampil sebagai "Israel yang benar" yang menanggapi segala usaha Allah dengan menghasilkan buah.

Bagaimana menghasilkan "buah anggur yang baik"? Kisah ini bertolak dari pengusaha kebun anggur. Ia akan memotong cabang dan ranting yang mati, alias tidak berbuah agar pokok anggur menghasilkan banyak buah. Tidak hanya itu, ia juga mencomot pucuk-pucuk yang berlebihan supaya buah-buah yang masih kecil itu bertumbuh menjadi buah yang berkualitas. Kegiatan itu melambangkan pemeliharaan Bapa terhadap "Israel baru" yang diharapkan berbuah banyak dan berkualitas.

Dalam tindakan pemeliharaan itu ada kata "dibersihkan-Nya" (ay.2), kata ini untuk menyatakan kepada para murid sekali lagi supaya mereka benar-benar bersih. Benar mereka yang sudah bersih karena pembasuhan (13:10), sekarang dinyatakan bersih oleh karena firman-Nya yang menyatakan rahasia Bapa kepada mereka dengan syarat firman itu harus dipegang dan dilakukan (14:23), dengan cara itu mereka benar-benar tinggal dalam Yesus (ay.7). Mereka sudah bersih dan dapat berbuah.

Setiap orang yang mengaku murid Yesus mestinya tinggal di dalam Yesus merupakan pengalaman nyata. Ia akan bergaul karib bersama Yesus. Benar, sekarang Yesus tidak hadir lagi secara fisik seperti ketika Ia tinggal bersama-sama dengan para murid-Nya. Namun hal ini bukan mustahil bahwa sekarang pun kita dapat tinggal dan merasakan kehadiran-Nya. Tinggal di dalam Yesus sekarang dapat kita alami dengan cara bergaul karib dengan firman-Nya, membiarkan firman itu tinggal dalam diri kita, memenuhi akal budi dan hati kita, lalu kemudian meresap, mengalir dalam sendi-sendi tubuh kita. Firman itu membersihkan kita: Pikiran dan hati kita menjadi bersih. Kini, pikiran dan hati kita tidak hanya memikirkan perkara-perkara yang duniawi saja. Namun, dapat menangkap dengan jernih suara-Nya. Ya, suara Sang Gembala yang baik itu. Mata kita dibersihkan, dari yang selama ini dimanjakan dengan tontonan-tontonan yang memuaskan nafsu. Kini, mata kita celik, dapat melihat keagungan Tuhan melalui ciptaan-Nya. Mata kita tidak dibutakan dengan silaunya kekayaan dan kuasa. Namun, mampu melihat di balik penderitaan sesama anak manusia ada wajah Kristus. Telinga kita menjadi sembuh, kita akan mampu mendengar jerit tangis saudara-saudara kita yang haus dan lapar. Mulut kita tidak lagi busuk dengan caci maki dan gosip, tetapi kini semerbak harum dengan pujian, apresiasi dan ucapan syukur. Kaki dan tangan kita akan bergerak mengerjakan pekerjaan yang bukan lagi untuk kepuasan diri sendiri. Melainkan memberdayakan orang lain, menyalurkan cinta kasih Bapa. Itulah karakteristik ranting yang sudah dibersihkan dan berbuah!

Dengan cara itulah Bapa (sang pengusaha kebun anggur) dimuliakan. Israel baru itu kini benar-benar hadir di muka bumi. Murid-murid Yesus bukan sekedar pengakuan diri atau label saja tetapi menjadi nyata apabila kita berbuah.

Jakarta, Paska V 2018

Jumat, 20 April 2018

MENGASIHI DENGAN PERKATAAN DAN PERBUATAN


Dalam bukunya All You Need is Love, Pongki Pamungkas menuturkan sebuah kisah menakjubkan tentang cinta (dalam hal ini yang dimaksud adalah cinta kasih).

Seorang profesor sosiologi yang masih muda mengajak beberapa mahasiswa yang diajarnya ke daerah kumuh di Baltimore untuk mewawancarai 200 anak laki-laki dan memperkirakan kondisi kehidupan mereka di masa depan. Para mahasiswa terkejut melihat kondisi daerah kumuh itu. Dengan kondisi itu, mereka memperkirakan bahwa setidaknya 90 persen dari anak laki-laki yang mereka wawancarai itu kelak akan menghabiskan waktu di penjara.

Dua puluh lima tahun kemudian, profesor yang sama menugasi kelompok mahasiswa lainnya mengumpulkan data bagaimana kondisi faktual kehidupan yang terjadi. Dari 190 anak laki-laki yang berhasil diketahui keberadaannya, hanya empat orang yang pernah dipenjarakan. Selebihnya, kehidupan mereka normal saja. Setelah ditelusuri, lebih dari 100 anak laki-laki yang sekarang sudah menjadi dewasa itu ingat dan menyebut nama seorang guru sekolah menengah mereka. Guru itu Nona O'Rourke.

O'Rourke bagi mereka adalah seorang yang berhasil menimbulkan inspirasi dalam hidup mereka. O'Rourke adalah sang penyelamat kehidupan mereka. Sheila O'Rourke, yang sekarang sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun ketika diwawancara mengatakan, "Yang bisa kukatakan hanyalah, bahwa aku mencintai mereka semua." Tentu, ketika O' Rourke mengatakan, "aku mencintai mereka semua", tidak hanya ucapan bibir saja. Hampir sebagian besar usianya dipakai untuk menghidupi apa yang ia katakan itu.

Cinta diyakini dan telah terbukti menyelamatkan kehidupan. Namun, sayangnya kebanyakan orang berhenti pada tutur kata, puisi, wacana dan keyakinan saja. Tepatlah apa yang dikatakan Karl Menninger, psikiater Amerika Serikat, "Sebenarnya, cinta adalah obat bagi semua penyakit dan penderitaan di dunia. Namun, dalam kenyataan, cinta itu suatu resep yang sering diberikan, tapi jarang digunakan." Padahal cinta akan merubah ketakutan dan kekuatiran menjadi motivasi positif. "Dicintai orang lain membuat Anda kuat, mencintai seseorang lain membuat Anda berani." (Lao Tzu).

Cinta kasih akan kehilangan makna bahkan bisa menipu jika hanya sebatas ucapan atau lips service. Rupa-rupanya kenyataan ini terjadi dalam jemaat mula-mula. Kasih sering dibicarakan namun kenyataannya tidak semanis ucapan. Bukankah sampai saat ini gereja-gereja dan orang Kristen masih seperti ini? Kita banyak berteori tentang bagaimana harus memperlakukan orang lain, mengasihi semua orang tanpa pandang bulu. Bahkan mengasihi musuh sekalipun. Nyatanya?

Bagi Yohanes, ada hal yang tidak logis ketika seseorang berkata bahwa dirinya tahu tentang cinta kasih, sering membicarakannya bahkan menjadi jargon komunitas mereka namun kenyataannya mereka membiarkan suadaranya sendiri terlantar padahal ada pada mereka harta benda. "Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap dalam dirinya?" (1 Yoh.3:17). Yohanes berpendapat bahwa, tidak mungkin kasih Allah ada dalam diri seseorang ketika orang itu bergeming melihat penderitaan sesamanya. Oleh karena itu Yohanes perlu mengingatkan mereka, "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran" (1 Yoh.3:18). Bagi Yohanes kasih bukan sebagai kata benda atau kata sifat, kasih adalah kata kerja. Kasih tidak dapat dilepaskan dari relasi personal seorang terhadap yang lain dengan dibuktikan oleh tindakan nyata.

Yohanes mengajak setiap orang percaya untuk belajar dan meniru kasih itu pada Kristus, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita" (1Yoh.3:16).

Dalam diri Yesus, kasih itu menjadi nyata oleh karena Ia tidak sekedar membicarakan-Nya. Yesus pernah mengatakan bahwa diri-Nya adalah Gembala yang Baik. Dalam bahasa Yunani kata "baik" yang digunakan adalah kalos, yang dapat diterjemahkan "mulia", "indah", "sempurna", "berharga", atau "mengagumkan". Yesus adalah Gembala yang Baik oleh karena Ia berbeda dengan gembala-gembala Israel yang hanya memikirkan perut mereka sendiri. Gembala Baik oleh karena Ia berbeda dengan orang upahan: Puncak kualitas Gembala Baik adalah memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Di bukit Kalvari itu, Sang Gembala telah membuktikan ucapan-Nya. Ia datang untuk memberikan hidup-Nya di salib, untuk menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi kita berada dalam kesatuan dengan Allah dan sesama kita. Di dalam Dia kasih itu menjadi sempurna; kalos agapao!

Yesus Gembala yang Baik oleh karena relasi mendalam yang dijalin bersama dengan para pengikut-Nya, hubungan saling mengenal yang begitu dalam seperti hubungan diri-Nya dengan Sang Bapa. Sebagai Gembala yang Baik, Yesus melampaui harapan orang-orang Israel, karena Ia akan menuntun domba-domba yang bukan dari Israel. Mereka ini pun akan mendengarkan suara-Nya dan akan dijadikan bagian dari kawanan yang satu. Semua pengikut Yesus dari golongan dan suku bangsa mana pun asalnya, menjadi sebuah kawanan yang satu. Gembala yang Baik menyerahkan nyawa-Nya bukan karena kalah terhadap para lawan-Nya. Dalam kasih Bapa, Ia dengan bebas memberikan nyawa-Nya untuk keselamatan domba-domba-Nya.

Konon, pada tahun 1963 Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia menghadiri perayaan Natal di Jakarta. Dalam perayaan itu, Sang Proklamator itu diminta untuk menyampaikan sambutannya. "Spanduk di depan saya tertulis, Yesus adalah Gembala yang Baik. Itu salah. Itu keliru! Kita dapat membayangkan reaksi orang-orang Kristen yang sedang merayakan Natal hari itu. Bisa saja kaget, terperanjat atau marah. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Diam seribu basa! Setelah hening beberapa detik, Bung Karno melanjutkan pidatonya, "Yang benar begini, Sesungguhnya Yesus adalah Gembala Yang Terbaik!" Sontak kebingungan dan kemarahan hadirin berganti dengan haru, mereka berteriak riuh rendah dan memberikan standing upluse. Sambutan Bung Karno belum berakhir. "Kita semua yang hadir di sini ditantang...Sudahkah kalian menjadi domba-domba terbaik-Nya?"

Bung Karno tampaknya memahami kata kalos dengan terjemahan "Yang Terbaik". Benar Yesus adalah Gembala Yang Terbaik. Kita bangga bahwa kita mempunyai Gembala Agung yang begitu mengasihi kita. Namun, seperti teguran Bung Karno, apakah kita menyadari dan terus termotivasi untuk menjadi domba-domba gembalaan-Nya yang terbaik? Bila kita melihat kembali kualitas Gembala Baik itu yang sangat kontras berbeda dari gembala-gembala upahan. Lalu, bagaimana dengan kualitas kita sebagai domba-domba gembalaan-Nya? Apakah lebih baik dari domba-domba lain yang tidak mengenal Yesus? Apakah sebagai domba Kristus kita jauh lebih berkualitas daripada "kambing"?

Kualitas domba-domba Kristus mestinya dapat dilihat dari bagaimana mereka hidup. Hidup yang bukan untuk dirinya sendiri. Hidup seperti Yesus hidup. Berani mengambil pilihan walaupun penuh risiko demi menyatakan kasih Allah kepada semua makhluk. Domba-domba dari Gembala Yang Terbaik pasti akan melahirkan karya-karya kemanusiaan terbaik. Mereka bukan menjadi beban persoalan dan pencipta masalah, melainkan menjadi solusi dari masalah. Domba-domba Kristus akan mampu membalas kebencian dengan kasih sayang. Mereka akan terus menebarkan cinta kasih di mana pun dan kapan pun. Itulah kulifikasi domba-domba dari Gembala Terbaik. Apakah ciri-ciri domba terbaik itu ada pada gereja kita? Lembaga-lembaga gereja? Keluarga kita? Ataukah justeru perilaku kita jauh dari teladan Sang Gembala kalos itu?

Jakarta, Paskah IV 2018

Selasa, 10 April 2018

KOMUNITAS YANG BERSAKSI


Peristiwa di Serambi Salomo itu menjadi saksi perubahan yang begitu radikal dari seorang Petrus (Kisah Para Rasul 3). Murid yang pernah sesumbar untuk melindungi Sang Guru dari perlakuan culas orang-orang yang mendengki-Nya. Namun, nyatanya ia tak kuasa ketika orang-orang menengarai bahwa dia adalah murid Yesus yang kala itu menjadi pesakitan. Petrus menyangkal bahkan sampai tiga kali sebelum ayam berkokok bahwa dirinya mengenal Yesus. Petrus jugalah yang menarik Sang Guru dan menegur-Nya dengan lantang, lantaran Sang Guru mengatakan bahwa Dia harus menderita, mati dan pada hari yang ketiga bangkit kembali. Nyatanya, ia dan murid-murid yang lain kocar-kacir, lalu mengurung diri dalam sebuah kamar dengan pintu terkunci. Petrus tampaknya kuat namun sebenarnya rapuh!

Kini keadaanya berbalik 180 derajat. Di Serambi Salomo itu Petrus melakukan seperti apa yang dilakukan Sang Guru! Sesuatu yang dasyat telah terjadi dalam dirinya. Si pecundang tampil dengan nyali luar bisa. Dulu, di serambi itu Yesus ketika bersama-sama mereka pernah menyampaikan pengajaran-Nya (bnd. Yoh.10:29). Sekarang, tempat ini menjadi semacam tempat pertemuan mereka, untuk mengenang kembali apa yang dahulu pernah mereka lakukan bersama Sang Guru. Serambi Salomo bukan hanya untuk menunjukkan kaitan para murid dengan tradisi Yahudi, melainkan juga untuk melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Yesus.

Setelah peristiwa penyembuhan orang lumpuh sejak lahir, orang banyak yang berada di sekitar Bait Allah itu terus mengerumuni Petrus dan Salomo. Inilah, saat yang tepat bagi Petrus untuk menyatakan kebenaran tentang Yesus. Apa yang dinyatakan atau disaksikan Petrus?

Pertama, Petrus menegaskan bahwa peristiwa penyembuhan si lumpuh itu bukan karena kehebatannya (Kis.3:12). Ia juga menolak bahwa apa yang dilakukannya bersama Yohanes adalah sebagai buah dari kesalehan mereka. Petrus menyatakan mujizat itu adalah karya Allah yang berkenan hadir dalam peristiwa tersebut. Di sinilah kesaksian itu menjadi benar, Petrus tidak mencuri kemuliaan Allah. Petrus dan Yohanes hanya menegaskan bahwa sesungguhnya Allahlah yang berkarya dalam peristiwa itu. Sejati kesaksian iman seperti itu!

Kedua, Petrus menegaskan bahwa peristiwa tersebut erat hubungannya dengan peristiwa Yesus Kristus yang disalibkan dan bangkit kembali. Dan dalam peristiwa penyembuhan itulah Yesus menunjukkan kekuatan kebangkitan-Nya yang membangkitkan orang dari kelumpuhan. Petrus menempatkan penyembuhan tersebut dalam hubungan dengan pernyataan diri Allah yang berkarya dalam diri Yesus Kristus. Hal ini sesuai dengan tradisi leluhur; Allah Abraham, Ishak, dan Yakub yang memang mampu melakukan hal-hal besar. Allah leluhur itulah yang kini mengerjakan karya agung-Nya untuk orang yang lumpuh tersebut. Petrus yang semula "lumpuh" kini mampu menjadi alat di tangan Allah untuk menyembuhkan orang lumpuh itu. Imannya terhadap Yesus yang bangkit menopang kesaksian di depan orang banyak. Perjumpaan dengan Yesus yang bangkit itulah yang telah membangkitkan kelumpuhan  dan kerapuhan iman seorang "Batu Karang".

Tidak mudah untuk membangkitkan kembali iman yang telah lumpuh. Apa yang terjadi sebelum peristiwa penyembuhan di Serambi Salomo itu? Bukankah, para murid sibuk mengasihani diri sendiri. Bukankah mereka semua dilanda tsunami frustasi dan ketakutan? Alih-alih menyambut antusias berita kebangkitan yang dihembuskan para murid perempuan dan dua orang yang telah kembali dari Emaus, mereka bergeming dalam kekalutan dan keputusasaan. Sampai-sampai Yesus sendiri yang hadir di depan mata mereka, mereka menyangkanya hantu!

Seperti yang dikisahkan Yohanes 20:19-23, Lukas juga mencatat peristiwa Yesus yang memulihkan para murid-Nya (Lukas 24:36-49). Kedua Injil ini menuturkan bagaimana Yesus memulihkan iman mereka. Yesus hadir ditengah-tengah kecemasan dan keputusasaan mereka bukan dengan menampilkan keperkasaannya. Namun, Dia menunjukkan luka-luka-Nya dan Ia meminta disajikan makanan. Yang pertama, jarang dilakukan orang. Kebanyakan orang justeru menyembunyikan luka dan memerlihatkan bagian dari keperkasaannya. Bagi Yesus, luka itu dimaknai sebagai cara pengampunan, baik bagi mereka yang telah melukai-Nya maupun terhadap para murid yang tidak setia dan pesimis. Melalui luka-luka itu Yesus menyatakan kasih-Nya. Luka-luka ini menyatakan bahwa kita saling membutuhkan. Luka dan derita adalah sarana Tuhan untuk kita mengembangkan saling berbela rasa. Yang kedua, sangat manusiawi: Yesus meminta makanan. Dari sinilah iman para murid mulai dibangun kembali.

Kemudian, Yesus menjelaskan diri-Nya berdasarkan perspektif dari apa yang tertulis dalam kitab Taurat, Kita Nabi-nabi, dan Mazmur. Sama seperti apa yang terjadi dengan Kleopas dan temannya yang menuju Emaus, dengan menjelaskan makna Kitab Suci, Yesus membuka pikiran para murid untuk mengerti Kitab Suci. Apa yang dijelaskan-Nya terutama tentang Mesias. Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari ketiga. Ada unsur baru yang dinyatakan Yesus yakni, bahwa dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Yesus berbicara tentang warta pertobatan dan pengampunan dosa. Para murid disebut sebagai saksi kepenuhan dari apa yang diwartakan oleh Kitab Suci itu. Tidak hanya itu, Yesus juga menjanjikan untuk mengirim kepada mereka apa yang dijanjikan oleh Bapa-Nya yakni kuasa dari tempat yang Tinggi. Satu syarat yang harus mereka lakukan: tinggal dan bertekun dalam doa dan penantian di Yerusalem sampai mereka dilengkapi dengan kuasa itu.

Kerapuhan, tidak selamanya berujung pada ketidakberdayaan dan menjadi pecundang. Kerapuhan para murid bukan akhir dari segalanya. Dalam perjumpaan yang singkat, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan dan kebingungan menjadi komunitas iman yang tangguh. Komunitas yang berani bersaksi dengan cara berbela rasa meneruskan cinta kasih-Nya dalam konteks dunia mereka. Komunitas yang hidup tidak hanya untuk mementingkan dan mencari nama untuk diri sendiri. Melainkan melakukan kesaksian yang sesungguhnya!

Rapuh, terluka, penuh kelemahan, itulah kita. Namun, sebagaimana Tuhan memulihkan para murid sehingga mereka dapat menunaikan tugas kesaksian kini, Ia pun sanggup memulihkan dan menjadikan kita juga sebagai saksi-saksi-Nya. Sekarang, tinggal peran serta kita: Apakah kita terus terpuruk dan hanya fokus pada kelemahan dan kerapuhan kita? Sehingga yang kita lihat bukan Tuhan melainkan hantu: bayang-bayang menakutkan? Bagimana pula dengan hati dan pikiran kita ketika menyimak firman-Nya? Bukankah Tuhan sudah memberi kesempatan buat kita mendengar firman-Nya melalui pelbagai cara: teguran orang-orang yang ada di sekitar kita, peristiwa kehidupan, saat teduh, doa, refleksi, renungan dan khotbah-khotbah? Bukankah setiap kebenaran yang diberitakan itu sebenarnya Tuhan sudah melengkapi kita dengan hati nurani untuk segera merespons? Bagaimana dengan respon kita?

Ya, yang harus kita lakukan adalah membuka ruang hati itu sehingga kita dapat memahami arti dan kuasa kebangkitan Kristus!

Para rasul bersedia bertekun di dalam doa dan pengajaran. Mereka menantikan janji Tuhan yang akan melengkapi mereka dengan kekuasaan dari tempat yang tinggi. Mereka sabar dan bertekun! Bagaimana dengan ketekunan dan kesabaran kita? Mestinya, belajar dari murid-murid Tuhan: kunci pemulihan dari kerapuhan, luka, kepahitan dan kelemahan kita adalah "perlengkapan kuasa dari tempat Tinggi" itu; kuasa Roh Kudus. Bukan mengandalkan kekuatan sendiri!

Murid-murid yang rapuh itu dipulihkan dan mereka menjadi saksi. Kesaksiannya benar karena bukan untuk mencari keuntungan sendiri, melainkan menyaksikan dan meneruskan karya Yesus Kristus. Mereka berbela rasa memulihkan yang lumpuh. Mereka menyuarakan pertobatan dan pengampunan di dalam nama Yesus sebagaimana amanat Yesus ketika memulihkan mereka. Mereka tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari apa yang namanya kesaksian. Bagaimana dengan kesaksian kita, kesaksian gereja kita? Kita tidak pernah bisa bersaksi dengan benar apabila: tidak mengalami perjumpaan dengan Yesus yang memulihkan kita dari kerapuhan kita, tidak bertekun dalam pengajaran dan tidak mengandalkan kuasa Roh Kudus!

 Jakarta, Paskah III 2018.

Jumat, 06 April 2018

KOMUNITAS YANG DIPULIHKAN DAN DIUTUS


Tak pelak lagi, para murid Yesus mengalami shock luar biasa ketika Guru mereka ditangkap, diadili sepihak, disesah, dianiaya, dan akhirnya dibunuh dengan cara biadab. Mereka frustasi karena apa yang mereka harapkan dari seorang yang didambakan sebagai "mesias" ternyata tidak terbukti. Yesus diam saja, tidak ada perlawanan sedikit pun bahkan Ia menyerah kalah! Kini, mereka terancam. Pastilah para pembesar agama yang berkolaborasi dengan penguasa akan menumpas habis mereka.

Barangkali itulah yang disebut trauma psikologis dan emosional. Setidaknya, mengurung dan mengunci diri di sebuah kamar menunjukkan kondisi itu (Yoh.20:19). Sepertinya murid-murid Yesus lumpuh karena ketakutan dan menjadi tidak berdaya. Padahal, pagi hari itu Maria Magdalena dengan begitu girangnya memberi kabar, "Aku telah melihat Tuhan!". Trauma itu menghalangi bahkan membutakan mereka untuk dapat merayakan kegembiraan bersama-sama Maria.

Pemulihan traum psikis dan emosi jelas tidak mudah, apalagi trauma itu berat. Para psikolog berupaya keras untuk bisa memulihkan trauma-trauma semacam ini - meski tetap saja sisa-sisa trauma itu akan tetap membekas dan muncul kembali apabila ada sejumlah faktor pemicunya. Para psikolog mengenal terapi kognitif behaviour yang membantu proses dan mengevaluasi pikiran dan perasaan dalam menghadapi trauma. Ada juga yang disebut: EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprossesing). Terapi ini menggabungkan elemen dari terapo kognitif behaviour dengan gerakan mata dan bentuk ritme lainnya serta stimulasi ke kiri dan ke kanan. Terapi ini dipandang sangat efektif untuk melepaskan memori traumatis supaya dapat dihadapi dan disingkirkan. Tentu saja metode dan jenis-jenis terapi psikologis seperti ini belum dikenal pada zaman Yesus. Namun, tampak jelas dalam peristiwa pasca penyaliban Yesus, yang membuat para murid trauma, Yesus tidak tinggal diam. Dia tidak ingin para murid itu frustasi dan kehilangan pengharapan. Caranya?

Yesus menampakkan diri kepada mereka dalam ruang yang terkunci itu. "Damai sejahtera bagi kamu!" Kata-Nya. Mengapa Maria Magdalena dan para murid tidak langsung mengenali Yesus? Sekali lagi mungkin itulah dasyatnya trauma yang oleh Paulus disebut sengat maut. Lantas, untuk menunjukkan bahwa benar-benar yang hadir itu adalah diri-Nya dan bukan hantu, Ia menunjukkan tangan dan kaki-Nya, serta luka yang menganga pada lambung-Nya. Pagi tadi, Maria mengenali-Nya pada saat namanya dipanggil dan kini, para murid mengenali-Nya pada waktu Ia menunjukkan luka-luka-Nya. Bukankah, sering kali kita juga menjadi buta, kecewa, frustasi ketika harapan-harapan kita tidak terpenuhi, sebaliknya situasi yang tidak kita ingini justeru terjadi: kepahitan hidup, pergumulan dan beban berat bahkan kematian membayang-bayangi hidup kita. Kita tidak mampu melihat kuasa Tuhan yang sanggup melakukan apa pun seperti yang sering kita nyanyikan. Kita tidak bisa melihat wajah-Nya!

Damai sejahtera bagi kamu!" Pertama-tama itulah yang diucapkan Yesus. Ucapan ini tentu bukan ucapan kosong seperti yang sering kita katakan, "syalom!" Damai sejahtera yang diberikan Yesus bukanlah damai sejahtera yang diberikan dunia. Damai ini adalah damai batin yang mengalir dari kehadiran-Nya. Yesus datang kepada para murid yang sedang trauma itu. Ia tidak mencela atau menghakimi mereka yang ketakutan, dan pada saat yang sama tidak setia. Ia tidak menyampaikan celaan sama sekali kepada Petrus yang menyangkal-Nya. Ia tidak membuat seorang pun merasa bersalah! Justeru Yesus menegaskan pilihan-Nya atas mereka dan bahwa mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat Ia cintai. dan kini, Ia ada bersama mereka untuk memulihkan mereka.

Yesus yang bangkit itu menyatakan diri bukan dengan keperkasaan-Nya. Alih-alih Ia membawa pesakitan - para pemuka agama dan penguasa yang menghakimi-Nya - Ia menunjukkan luka-luka-Nya yang mungkin saja masih bernyenye, dan mengerikan. Seolah Ia berkata, "Lihatlah, ini Aku yang terluka itu. Ini Aku dan bukan yang lain. Aku yang dulu berkata, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan...kasihilah musuhmu, berbuat baiklah terhadap orang yang membencimu. Ini Aku dan bukan yang lain!" Tampaknya, ini pernyataan orang-orang lemah dan pecundang. Orang sering menutupi kelemahan dan luka-lukanya. "Luka-luka" kehidupan itu sebisa mungkin ditutupi agar orang tidak tahu kelemahan kita. Kita ingin tampil seperti orang yang digdaya dan hebat itulah yang dituntut dunia. Itulah pandangan dunia!

Misteri Yesus yang menunjukkan luka-luka-Nya justeru menandakan kehebatan-Nya. Luka-luka itu adalah tanda cinta-Nya kepada para murid; cinta-Nya pada dunia ini. Bukankah cinta kasih itu ditunjukkan dengan perbuatan dan bukan hanya sekedar bicara? Seberapa besar dan "luka-luka" itu pada diri kita, dan seberapa besar kepahitan dan kesedihan yang dialami, berbanding lurus dengan cinta kasih kita kepada seseorang.

Luka-luka Yesus itu perlahan namun pasti memulihkan para murid. Ini mereka bisa melihat seperti mata Yesus melihat. Dalam perjumpaan yang singkat ini, Yesus mengubah kelompok orang-orang yang ketakutan, kebingunangan dan traumatis menjadi komunitas yang optimis, berani dan memahami apa itu dicintai. Dalam komunitas itu para murid hidup bersama. Yesus membarui panggilan mereka, sama seperti diri-Nya, Ia mengutus para murid menjadi saksi-saksi-Nya. Bukan dengan cara dunia ini yang memamerkan kejayaan dan triumpalistik, melain dengan cara yang sama seperti yang dilakukan-Nya: menyatakan wajah Allah yang penuh dengan cinta kasih. Allah yang berbela rasa serta mengampuni! Para murid akan terus memberikan hidup ini kepada mereka yang terhalang oleh tembok-tembok traumatis dan kebencian.

Yesus menunjukkan kepada mereka tanggungjawab. Hal yang menakutkan namun sekaligus indah dan memesona. Mereka harus diubah oleh Kuasa ROh Kudus dan diutus ke dunia, untuk mencintai orang sama seperti Yesus mencintai mereka, dan untuk memberikan hidup mereka bagi orang banyak karena setiap pribadi di dunia ini adalah berharga dan indah di hadapan Allah. Sama seperti Sang Guru dan Tuhan, mereka diminta untuk membebaskan orang dari kekerasan, kebencian dan hambatan dosa.

Namun, sayang. Tomas tidak ada bersama-sama mereka. Entah ke mana dia pada petang hari itu. Ia memisahkan diri dari persekutuan para murid: bisa jadi dialah yang paling kecewa di antara para murid. Seminggu kemudian, mereka berada dalam ruangan yang sama. Mereka sudah mencoba meyakinkan si Didimus ini. Namun, tampaknya tidak mudah. Tomas menuntut bukti, ya bukti luka-luka Yesus itu. Lagi-lagi dengan cara yang sama, Yesus menjumpai Tomas. Ia menanggapi kebutuhan Tomas, Ia menyapa dan memersilahkan Tomas melihat dan meraba luka-luka itu. "Ya Tuhanku dan Allahku!" (Yoh.20:28).

Dalam kedua kali perjumpaan Yesus yang bangkit, Yesus menunjukkan luka-luka-Nya. Luka yang besar ada pada lambung-Nya, cukup untuk memasukkan tangan. Luka-luka itu ada juga pada kaki dan tangan-Nya, cukup untuk menyucukkan jari. Luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya, untuk menyatakan kasih Yesus yang tulus, dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit, sekali lagi, tidak menampakkan diri sebagai pahlawan gagah berani yang perkasa dan berkuasa, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Luka-luka ini menjadi kemuliaan-Nya. Dari luka pada lambung-Nya mengalir air yang menghidupkan dan menyembuhkan. melalui luka-luka-Nya kita menjadi sembuh.

Yesus mengundang kita masing-masing - melalui Tomas - untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan juga luka-luka yang ada dalam diri sesama: bukankah suatu kali Dia juga mengidentikkandiri dengan sesama yang paling hina?

Jakarta, Paskah II 2018