Relasi secara umum diartikan sebagai hubungan timbal-balik atau pertalian ikatan antara sesama manusia. Manusia dikodratkan bukan sebagai makhluk soliter, melainkan insan sosial. Ciri dari makhluk sosial adalah berkomunikasi, menjalin hubungan, hidup dalam ikatan komunitas, dengan cara itulah manusia berelasi! Dalam komunikasi dan relasi kita tidak dapat menghindari adanya transaksi. Meski tidak melulu negatif, transaksi mensyaratkan imabal-balik: saya melakukan atau memberi sesuatu – sebagai kewajiban - maka saya mendapatkan sesuatu sebagai hak saya. Hubungan suami – isteri idealnya adalah relasi saling melayani. Namun, banyak kita saksikan – atau bahkan kita sendiri mengalaminya – sudah berubah menjadi transaksi. Suami atau isteri melakukan ini dan ikut dengan harapan pasangannya memberi perlakuan yang setimpal bahkan lebih. Jika tidak, ceritanya menjadi lain! Denikin juga kegiatan di gereja yang mengatasnamakan pelayanan pun sebenarnya tidak luput dari “transaksi”, yakni : saya melakukan ini dan itu, agar saya mendapatkan ini dan itu, jika tidak, selamat tinggal pelayanan!
Sedari awal murid-murid Yesus rupanya punya angan-angan tersendiri dalam mengikut Sang Guru! Mari kita telusuri melalui dua murid yang sedang menuju Emaus (Lukas 24:13-35). Penulis Lukas mengatakan Emaus adalah sebuah kampung yang letaknya 11 kilometer dari Yerusalem. Emaus sering dihubungkan dengan daerah di Tanah Rendah (1 Makabe 3:40). Tempat ini sempat populer lantaran di situ Yudas Makabeus dapat memenangkan pertempuran melawan kekuasan asing pada tahun 166 SM. Peristiwa kemenangan Makabeus menjadi inspirasi, motivasi dan menyuburkan pengharapan akan datangnya sosok Mesias seperti Yudas Makabeus itu: pemimpin pergerakan yang mengangkat senjata, memerangi kekuasaan asing dan menaklukannya. Sesudah itu sang mesias akan mengembalikan takhta Daud! Harapan ini terus bergelorah bahkan ketika gerakan Makabeus telah ditumpas. Angan-angan itu sedikit terobati ketika mereka melihat sosok Yesus. Betapa tidak, Yesus telah banyak membuat mukjizat. Ia begitu mencengangkan banyak orang. Banyangkan, ucapan-Nya penuh kuasa: taufan dan badai takluk kepada-Nya, begitu pula setan-setan. Ah, apalah artinya kaisar Roma dibanding dengan kuasa-kuasa yang telah ditaklukan Yesus. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak orang mengira Yesus akan tampil memenuhi pengharapan mesias mereka. Bahkan pengharapan seperti ini berkembang dalam diri murid-murid Yesus.
Masalahnya, Emaus yang dibicarakan dalam Kitab Makabe itu letaknya 30 kilometer sebelah barat laut Yerusalem. Terlalu jauh bagi perjalanan pulang balik dalam satu sore dan malam. Tampaknya Lukas bukan mau bercerita tentang letak geografis dari Emaus, namun lebih ke arah semangat dan pengharapan Emaus, ya pengharapan mesias politik! Dengan demikian kita bisa memahami perjalanan dua orang murid menuju Emaus sebagai perjalanan batin para murid yang penuh pengharapan terhadap Yesus. Namun, pengharapan Mesias yang terdistorsi dalam benak masing-masing mengenai siapa Yesus.
Yesus tidak membiarkan mereka dengan angan dan harapan mereka sendiri. Yesus yang telah bangkit itu menjumpai mereka. Yesus menyertai mereka berdua menuju Emaus. Siapa mereka? Hanya satu dari kedua orang murid itu yang disebut namanya, yakni Kleopas (Lukas 24:18). Mengapa? Bisa jadi Lukas tidak cukup informasi tentang nama dari teman Kleopas itu. Namun mungkin saja inilah cara Lukas untuk membuat pembacanya – termasuk kita – untuk ikut serta dalam kisah ini. Dengan begitu kita merasa ikut disapa oleh Sang Musafir yang tiba-tiba menyertai perjalanan dua murid menuju Emaus itu (Luk.24:17), “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Tanya Sang Musafir itu. Kedua murid itu terhenyak. Inilah pertanyaan yang menusuk angan dan jantung pengharapan mereka, sekaligus juga kekecewaan mereka. Dan mereka pun menjadi muram, baper! Kleopas balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari belakangan ini?” Sang Musafir seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Ia terus bertanya, Apakah itu?” Mulailah mereka bercerita tentang Yesus dari Nazaret itu.
Sang Musafir seolah membiarkan dua murid itu berbicara tentang diri-Nya. Jika murid anonim itu adalah kita, maka kita pun akan bercerita tentang siapa Yesus bukan Yesus yang sebenarnya. Tetapi Yesus yang telah bias menurut versi, harapan dan angan kita. Yesus tidak jemu, Ia terus menemani perjalanan dan mendengar cerita kita. Ia terus mendengar keluh-kesah dan macam-macam kekecewaan batin yang sebenarnya berasal dari gambaran keliru kita mengenai apa dan siapa tumpuan harapan hidup kita. Ia terus mendengar cerita kurang percaya dan kecurigaan kita terhadap kesaksian para perempuan mengenai diri-Nya (Luk.24:22-24).
Setelah puas dengan cerita tentang Yesus dari Nazaret menurut versi dan harapan dua murid ini – termasuk kita di dalamnya – kini giliran Sang Musafir memberi tanggapan, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi.” (Luk.24:25). Seringkali para murid dan kita tidak bisa memahami; tidak dapat mencerna mengapa Sang Mesias harus menderita dan bahkan dibunuh.
Perjalanan dari Yerusalem ke Emaus sepertinya ditampilkan sebagai penjernihan gagasan para murid dan juga gagasan kita masing-masing mengenai Yesus. Caranya sederhana, Ia meminta kedua murid itu mengingat-ingat kembali semua yang sudah pernah didengar tentang diri-Nya. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang tidak dikuasai oleh agenda mereka yang tersembunyi, oleh harapan dan ambisi penaklukan. Kini, Sang Musafir itu memperhadapkan mereka kepada sumber-sumber kepercayaan sejati (ay.27: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi”). Seolah Sang Musafir itu mengajak mereka meninggalkan harapan dan ambisi mereka menuju kepada apa yang hakiki. Seperti itulah, kita juga diajak-Nya untuk bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri kita diperkaya oleh-Nya. Sabda-Nya membungkam suara kedagingan kita.
Apa yang terjadi ketika kita diajak-Nya bertamasya ke kedalaman sabda-Nya? Seperti disebutkan nanti dalam ayat 32, mereka berkata satu dengan yang lainnya, “hati kita berkobar-kobar”. Yang berkobar-kobar biasanya api. Api punya daya menerangi dan memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati) mereka yang tadinya gelap kini, setelah berjumpa dengan Sabda menjadi terang menyala-nyala dan yang tadinya bercampur-baur dengan ambisi dan idealisme mereka, kini dimurnikan. Kedua murid itu “terbuka matanya” dan sekarang mengerti tentang Yesus dari Nazaret itu. Di Emaus “ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah kedua murid itu mengenali sesungguhnya orang yang menyertai mereka tadi. Baru pada saat itulah mereka menyadari sepenuhnya bahwa orang itu sama dengan Dia yang dalam Perjamuan Malam (Lukas 22:16, 18) mengatakan tidak akan makan dan minum lagi sampai Kerajaan Allah betul-betul datang. Kini, mereka berdua mengalami bahwa yang Ilahi itu benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Dan kehadiran-Nya inilah yang memberi harapan baru dan wajah baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari mereka dan kita ialah membiarkan kehadiran-Nya makin tampak dan makin biasa dirasakan orang banyak, serta makin memberi pengharapan. Ia tidak meminta kita melakukan hal-hal spektakuler luar biasa. Ia mengharapkan kita mempunyai pengharapan; wajah ceria yang mengenyahkan kekecewaan pertanda kebangkitan itu bukan hanya kepercayaan doktrinal, melainkan eksis dalam kehidupan kita. Ia ingin kita menyaksikan kebangkitan-Nya melalui tindakan nyata: melayani dan mengasihi seperti yang pernah Dia ajarkan dan contohkan dengan sepenuh hati dengan begitu dunia percaya sampai saat ini Yesus Hidup, Ia tidak mati! Buktinya pekerjaan-pekerjaan dan karya-karya-Nya terus ada sampai saat ini!
Pada saat kedua murid tadi menyadari siapa orang yang mereka ajak datang ke rumah mereka di Emaus – ke dalam keseharian hidup mereka – pada saat itu juga Yesus lenyap. Kehadiran-Nya bukan milik mereka sendiri. Namun demikian, ada yang tinggal, yakni kebijaksanaan serta kekuatan baru untuk meniti jalan kembali ke Yerusalem. Perjumpaan itu kini membuat mereka segera berangkat kembali ke Yerusalem dan membagikan pengalaman mereka kepada murid-murid yang lain yang belum mengalami kebangkitan. Yerusalem yang sebelumnya merupakan sumber kekecewaan dan trauma hebat mereka, kini setelah perjumpaan itu, menjadi sebuah tantangan dan pengharapan!
Kisah ini cerminan relasi kita dengan Yesus Kristus, ada banyak cerita, angan dan harapan yang selalu ingin didengarkan. Namun, sebaliknya kita sulit untuk mendengar dan menyimak Yesus yang menyatakan diri-Nya. Dalam doa-doa, selalu kata-kata kita yang tak henti-hentinya memohon ini dan itu bahkan tidak segan mengatur dan menyuruh Tuhan bertindak sesuai dengan keinginan kita. Saatnya, kita mencoba beridam, biarkan Dia yang menyatakan diri berbicara dan mengoreksi semua keinginan kita yang tidak pada tempatnya sampai kita mengalami sendiri apa yang disebut kebangkitan itu. Itulah relasi yang baik antara kita dengan Tuhan Yesus Kristus,
Paskah III 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar