Jumat, 10 Februari 2017

MEMILIH KEHIDUPAN

Alkitab memperkenalkan Allah sebagai Pencipta dan Pemilik kehidupan, Allah yang perkasa, berdaulat, rahmani dan rahimi. Meskipun demikian, Dia bukalah sosok otoriter dan pemaksa. Sejak awal pencitaan Adam dan Hawa, mereka diberi kebebasan untuk menaati perintah-Nya atau abai. Tentu masing-masing pilihan mempunyai konsekuensinya sendiri.

Menjelang akhir hidupnya, sebelum tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Yosua dan bangsa itu setahap lagi akan memasuki negeri perjanjian, Musa memperhadapkan umat Israel kepada pilihan yang akan menentukan masa depan mereka, “Ingatlah, aku menghadapkan kepadamu pada hari ini kehidupan dan keberuntungan, kematian dan kecelakaan,..” (Ulangan 30:15). Rupanya pengalaman empat puluh tahun di padang gurun mengajarkan kepada Musa bahwa kehidupan dan keberuntungan bukanlah sebuah pemberian kodrati dengan alasan bahwa mereka adalah umat pilihan. Sebaliknya, kematian dan kecelakaan bukan pula takdir garis tangan yang sudah ditentukan dari sananya. Ada peran dan tanggungjawab umat yang tidak bisa dikesampingkan: pilihan!

Pilihan bukan sekedar jawaban “ya” atau “tidak”. Memilih kehidupan dan keberuntungan berarti memilih taat, setia dan mengasihi Allah. Berlawanan dengan itu berati kematian dan kecelakaan. Pengalaman padang gurun merupakan modal bagi mereka untuk menapaki kehidupan selanjutnya. Menaati dan melakukan perintah-Nya sebagai wujud dari cinta kasih umat kepada Allah mestinya bukan perkara yang sulit dan mustahil. “Sebab perintah ini…tidaklah terlalu sukar bagimu dan tidak pula terlalu jauh. Tidak di langit tempatnya...juga tidak di seberang laut..Tetapi firman ini sangat dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu,…” (Ulangan 30:11-14). Dengan demikian, Musa mau menegaskan bahwa mengasihi Allah itu sangat mungkin dan mudah, tidak perlu mencari-cari alasan: Ini tergantung pada pilihan hati mau atau tidak!

Apakah untungnya hidup taat dan setia kepada Allah? Tidak kurang dari seratus tujuh puluh enam ayat (Mazmur 119), pemazmur menggubah syair untuk mengungkapkan kehidupan yang penuh bahagia ketika seseorang memilih taat, setia dan mengasihi Allah dengan melakukan perintah-Nya. Benar, kehidupan bahagia bukan berarti bebas dari pergumulan dan kesulitan. Namun, pada saat-saat itulah kehadiran Tuhan bukanlah sebuah ilusi atau harapan kosong.

Namun, rupanya perkembangan selanjutnya hukum-hukum TUHAN itu dipahami sebatas legal-formal yang dipakai sebagai penanda sebuah ciri atau identitas umat Allah. Alih-alih mereka menggunakan Hukum sebagai sarana mengungkapan kecintaan kepada Allah, yang terjadi justeru sebagai alat untuk pemuasan kebanggaan diri atau pencitraan dan cambuk untuk menghukum orang yang melanggarnya. Jelas jauh dari maksud semula ketika hukum itu diberikan.

Yesus tampil berhadapan dengan hukum yang selama ini telah begitu baku dan kaku diberlakukan dalam tatanan sosial Yahudi. Terang saja  ada kelompok-kelompok yang merasa terusik bahkan terancam dengan apa yang diajarkan Yesus, maka Yesus perlu menegaskan, “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Matius 5:17). Secara prinsip, Yesus bersikap positif terhadap warisan keagamaan Yahudi. Namun, benarkah Yesus seolah mempersulit syarat untuk menjalankan Hukum TUHAN? Apakah Yesus melampaui Musa?

Aku datang…untuk menggenapinya.”
Dalam bahasa Yunani kata menggenapi mengandung pengertian “mengisi”. Serupa dengan mengisi tempayan air atau alat takaran gandum agar menjadi penuh. Hal ini menandakan bahwa ada “kekosongan” ketika umat melakukan hukum TUHAN. Kata menggenapi yang dipergunakan Yesus mengandung kiasan: yang belum lengkap. L. Deiss menjelaskan bahwa ketika Yesus mengatakan untuk dirinya sendiri, itu berarti bahwa kedatangan-Nya membawa kepenuhan takaran yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan kepenuhan itu adalah “kasih”. Kasih adalah puncak dari segala hukum. Maka, hukum menjadi genap, bila puncaknya ditempati oleh kasih. Tetapi karena kasih bercokol dalam hati dan tidak selalu tampil terlihat jelas dalam tindakan nyata, maka hal-hal lahiriah (apalagi sekedar formalitas) bukanlah yang paling menentukan di hadapan Allah.

Yesus sangat mengerti isi hati manusia – inilah yang menjadi perhatian serius dari Yesus: isi hati manusia! Hati yang penuh dengan kemarahan, penuh kebencian, adalah hati yang tidak jauh dari keinginan untuk melenyapkan, membunuh dan membinasakan. Pembunuhan hanyalah akibat atau buah dari dendam kesumat kebencian yang tidak dapat diatasi oleh pelakunya. Seorang yang marah akan menyakiti orang lain jika ada kesempatan baginya. Ketika Yesus memerintahkan agar para murid-Nya tidak dipenuhi oleh kemarahan, Yesus sedang menunjukkan kepada kita jalan untuk menuju kepada kehidupan yang baik dan indah. Perintah-Nya itu menunjukkan bahwa kita bisa melakukannya. Banyak orang berpikir bahwa mustahil manusia hidup tanpa kemarahan. Ya, marah adalah bagian dari emosi. Tuhan menciptakan kita dengan emosi, bayangkan manusia hidup tanpa emosi? Hambar! Saya kira Yesus bukan melarang kita untuk hidup tanpa kemarahan, melainkan kendalikanlah kemarahan itu agar tidak membuahkan kebencian. Perhatikanlah bahwa seringkali penyebab kemarahan kita adalah ketika kita merasa tidak dihargai dan kenyamanan kita terusik. Berpikirlah bahwa Anda dan saya begitu berharga di hadapan Tuhan, masakan karena tersinggung dengan perlakuan yang merendahkan kita kemudian amarah kita terbakar? Atau tidakah kita berpikir bahwa Yesus Sang Anak Allah rela meninggalkan segala kehormatan dan kenyamanannya sehingga mengambil rupa sama seperti manusia, menghamba, mati dan disalibkan; tidakkah ini memotivasi kita untuk tidak marah apalagi dendam ketika kenyamanan kita terusik?

Begitu pula tentang seksualitas. Apakah Yesus sedang mengatakan bahwa seorang pria ketika memandang seorang wanita dan timbul keinginan nafsu seksual itu sama dengan berzinah? Apakah menurut Yesus nafsu seksual itu buruk? Mungkin kita perlu melihat kata kunci mengingini. Kata Yunani yang dipakai adalah ephitumia. Ephitumia dalam konteks ajaran Yesus ini tidak mengacu kepada ketertarikan seksual secara umum, melainkan sikap yang dengan sengaja menjadikan orang lain sebagai obyek untuk kesenangan pribadinya. Yesus sedang menjelaskan ephitumia kepada para pria yang sebagian besar ada di hadapan-Nya. Ephitumia adalah perzinahan, di situlah gairah seksual mengalahkan komitmen kecintaan yang tulus karena semua perzinahan selalu, “Memuaskan nafsuku lebih penting ketimbang memenuhi komitmenku. Aku tidak peduli jika aku menyakiti orang lain atau tidak; saat ini yang paling kupedulikan adalah diriku sendiri!” Jadi, siapa pun – termasuk kaum hawa – yang menjadikan sesamanya sebagai obyek pemuasan diri di situlah ia tidak memilih kehidupan yang benar dan indah. Ia sedang merancang masa depan suram dan kematian!

Sepintas apa yang diajarkan Yesus begitu ekstrim. Namun, sebenarnya Ia ingin agar inti dari permasalahan yang selama ini belum tergenapi, belum tersentuh dan terisi yakni hati manusia dapat digenapi, disentuh dan terisi penuh! Yesus tidak bermaksud harfiah, tetapi Ia sedang menggunakan teknik retorika yang disebut reductio ad absurdum, yakni menelaah sebuah argumen sehingga pijakan logika yang salah menjadi terlihat (James Bryan Smith). Selama ini orang hanya menilai dari prilaku atau perbuatan sehingga kedalaman hati tetap tenggelam dan tidak muncul ke permukaan. Yesus sedang membantah konsep umum dalam kehidupan masyarakat bahwa dosa itu tinggal diam dalam bagian-bagian tubuh tertentu, misalnya tangan yang mencuri, alat kelamin yang melakukan perzinahan, mata yang mengingini dan kaki yang membawa ke dalam pencobaan, jadi bagian tubuh itulah yang paling bertanggungjawab dalam melakukan dosa. Inilah juga mengapa ada komunitas yang memberikan penghukuman potong tangan pada si pencuri. Alasannya: potong bagian yang paling berdosa, maka orang tersebut tidak lagi berdosa! “Jika matamu yang kanan menyesatkan engkau,” kata Yesus, “cungkilah dan buanglah itu!”

Dallas Willard dalam candaannya berkata, “Yesus tidak sedang mendorong kita untuk memotong tiap anggota tubuh yang melakukan dosa sehingga kita masuk sorga seperti puntung penuh darah!” Yesus justeru sedang memutarbalikan logika umum yang tampaknya benar. Yesus mau mengatakan bahwa masalahnya bukan pada tangan, kaki, atau mata kita – yang bermasalah adalah hati kita! Tubuh kita memang terlibat dalam tindakan dosa, tetapi pelaku kejahatan yang sebenarnya ada adalah di dalam diri dan imajinasi kita, di dalam hati kita. Itulah yang sedang digenapi oleh Yesus. Dia datang untuk mengisi, membuat penuh hukum TUHAN dengan cinta kasih yang benar. Pertanyaannya kita, “Apakah hati kita sudah berupaya dipenuhi oleh cinta kasih kepada-Nya?” Kalau itu sudah terjadi maka, tepatlah bahwa kita memilih kehidupan dan keberuntungan!

Jakarta, 10 Ferbruari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar