Sabtu, 12 November 2016

MEMERJUANGKAN HIDUP DI HARI INI DALAM PENGHARAPAN AKAN AKHIR ZAMAN

Tempat-tempat perayaan ritual ibadah sering disebut rumah Tuhan. Mengapa demikian? Mereka percaya, di situlah Tuhan dapat dijumpai, apalagi ketika kultus ritual sedang berlangsung. Jangan coba-coba menodainya. Nanti Tuhan Marah! Pemahaman di rumah itu Tuhan berkenan hadir menggugah manusia membangun sarana tempat ibadah itu sebaik mungkin. Di tempat-tempat tertentu ada rumah ibadah dengan altar batu granit, mimbar kayu jati pesanan khusus, lampu-lampu kristal super bening, karpet dari Timur Tengah, salib besar terbuat dari emas, bahkan ada rumah ibadah dengan kubah emas. Tentu tidaklah terlalu keliru kalau kita membangun rumah ibadah dengan segala kemegahannya. Bukankah sejak umat Israel keluar dari Mesir, di padang gurun, mereka diperintahkan membuat Kemah Suci dengan bahan-bahan terbaik? Dan sesudah mereka menetap di Kanaan, Salomo membangun Bait Suci super megah.

Saya kira, semua orang, apa pun agamanya, akan sangat bangga bila memiliki rumah ibadah dengan segala kemegahannya itu. Sebab di situlah simbol bahwa mereka mengagungkan dan memberikan tempat – yang bukan hanya layak, melainkan juga terbaik untuk Tuhan mereka. Di situlah pemujaan terhadap Yang Ilahi terjadi! Tak terkecuali, orang-orang Yahudi sangat bangga dengan Bait Suci mereka. Mereka rela berkorban untuk memlihara dan menghiasi bangunan Bait Suci itu. Setiap hari mereka melakukan ibadah-ibadah. Pada hari-hari tertentu mereka membawa hewan ternak pilihan – tidak boleh ada yang cacat untuk sebuah ritual pengurbanan. Pujian, Mazmur, tarian dengan iringan musik meriah menghantar perayaan ibadah-ibadah mereka. Dengan begitu, mereka yakin Tuhan berkenan menerimanya. Mereka merasa diri aman sebagai umat pilihan Allah yang dengan setia memelihara ritual turun-temurun!

Andai kita seorang Yahudi, berada di dekat Bait Allah itu, sangat mungkin akan merasakan kekaguman yang sama dengan mereka. Bait itu dibangun dengan material mewah pada zamannya. “Dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan” (Luk.21:5). Bait Suci itu dibangun kembali setelah Israel mengalami pembuangan ke Babel. Di bawah Zerubabel, Bait Suci yang dihancurkan Nebukadnezar pada 586 itu didirikan kembali. Hampir tujuh puluh tahun dihabiskan untuk pembangunan itu. Raja Herodes memperluas dan mempercantik bangunan itu. Ia juga mendirikan tembok-tembok dan taman-taman baru. Pekerjaan itu diteruskan meski Herodes sudah tiada dan berakhir pada tahun 63. Lengkaplah sudah Bait Allah sebagai simbol kehadiran Allah, sekaligus juga memoar mercusuar bagi orang-orang yang membangunnya.

Ketika pembangunan Bait Allah masih terus dikerjakan di bawah komando Herodes.  Layaknya sebuah proyek mercusuar, banyak orang membicarakan dan mengaguminya. Hal ini percis seperti yang terekam dalam Lukas 21:5. Namun, atas dasar komentar dan kekaguman beberapa orang, Yesus berkomentar, “Apa yang kamu lihat di situ – akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”(Luk 21:6). Mengapa Yesus berkata begitu? Dapat dibayangkan, bagaikan tersambar petir di siang hari bolong. Begitulah kira-kira reaksi orang yang mendengarkan nubuat Yesus. Sekiranya ada di situ, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Apakah Yesus tidak senang dengan pembangunan dan perluasan Bait Suci yang megah itu? Atau mungkin Yesus merasa tersisih di lingkungan Bait Allah sehingga ucapan-Nya menjadi sinis?”

Mengenai hal ini, Injil tidak berbicara. Namun, sama seperti tradisi para nabi dalam Perjanjian Lama. Yesus mengingatkan akan kehancuran umat Israel mana kala mereka merasa aman dan tentram hanya dengan merawat kultus ritual di Bait Allah, mempercantiknya dengan benda ornamen mewah, sementara ibadah sesungguhnya, yakni ketaatan sepenuh hati kepada Allah dalam keseluruhan hidup diabaikan. Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos dan yang lainnya telah dipakai Allah untuk mengingatkan umat-Nya bahwa Allah membenci manipulasi ibadah. Sementara mereka memelihara bangunan Bait Suci, mengadakan ritual ibadah dengan hewan-hewan kurbannya, pada waktu yang bersamaan, perbuatan mereka bertentangan sama sekali dengan kehendak Allah. Mereka melakukan ketidakadilan, menindas, menganiaya, pesta pora, percabulan dan lain sebagainya.

Kultus, ritual dan kemewahan Bait Suci begitu diperhatikan, namun sesungguhnya mereka sedang menista Allah. Sebab, secara hakiki mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan: kebenaran, keadilan dan cinta kasih. Namun itu semua hanya sekedar teori dan mereka gunakan untuk menekan orang lain.

Yesus mengingatkan para murid-Nya, bahwa bisa saja apa yang menimpa nenek moyang mereka, kini akan segera terjadi mana kala mereka melakukan dosa-dosa yang sama. Benar, ucapan Yesus ini terbukti, Bait Allah hancur total dengan kebakaran hebat oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Namun, Yesus tidak membahas hal ini dari sisi politik, melainkan menempatkannya sebagai peringatan pada peristiwa eskatologi atau akhir zaman, yang biasa dihubungkan dengan kedatangan-Nya kembali. Murid-murid-Nya bertanya, “Guru, bilamanakah itu akan terjadi? Dan apakah tandanya kalau itu akan terjadi?” (Luk.21;7). Kebanyakan orang sama seperti para murid; mereka menanyakan bukan, “Apa yang harus kami perbuat untuk menyongsong hari itu?” Melainkan, “Kapan peristiwa itu terjadi?”

Yesus menjawab, “Waspadalah supaya kamu jangan disesatkan…”(Luk. 21:8). Selanjutnya Ia memberi gambaran sebelum hari itu terjadi ada banyak orang yang mencatut nama-Nya untuk kepentingan sendiri, akan terjadi banyak peperangan, bencana dan berbagai penganiayaan. Namun, Yesus mengingatkan bahwa Ia akan menyertai dan memberikan hikmat-Nya kepada para pengikut-Nya. Yesus menjamin mereka, “tetapi tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang.”(Luk. 21:18). Kemudian Yesus mengakhirinya dengan, “Kalau kamu bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk.21:19)

Kata kunci dalam menghadapi atau menyambut akhir zaman adalah waspadalah dan bertahan. Kita tidak tahu kapan akhir zaman itu terjadi. Setiap saat, bisa saja hal itu terjadi. Atau setiap saat sangat mungkin hidup kita berakhir. Untuk itu sikap waspada harus diterjemahkan dengan melakukan kehendak Tuhan setiap saat tanpa jeda. Meminjam Maleakhi 4:1, kita diminta untuk tidak gegabah dan tidak melakukan kefasikan, sebab hukumannya sangat berat, mereka akan, “…menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu,  firman TUHAN semesta alam, sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka. Tetapi kamu yang takut akan namak-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” (Mal.4:1,2)

Kalau kita mengacu pada peringatan para nabi Perjanjian Lama dan peringatan Yesus tentang akhir zaman rasanya, kita diminta waspada bukan hanya sekedar memerhatikan ritual ibadah di tempat-tempat kebaktian, mempercantik rumah Tuhan, atau menonjolkan simbol-simbol keagamaan belaka. Melainkan, dengan berjuang menerjemahkan ritual ibadah itu dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah di rumah Tuhan jelas penting. Namun, tanpa ditindaklnjuti dalam keseharian hidup, maka kita akan mengulangi kesalahan yang sama dengan orang-orang yang dikecam Yesus dan para nabi dalam perjanjian lama.

Yang kedua bertahan. Bertahan memertahankan prisnsip-prinsip kebenaran. Tidak mudah bagi seseorang yang berpegang pada prinsip kebenaran dan iman ketika di sekelilingnya adalah orang-orang fasik dan munafik. Caci maki, intimidasi, tekanan, ancaman bahkan penganiayaan dan pembunuhan bisa saja terjadi. Di sinilah batu uji itu, apakah kita menyerah dan mengikut arus atau justeru bertahan dengan keyakinan iman yang benar!

Ingatlah apa yang kita pilih dan lakukan hari ini mempunyai dampak bagi kehidupan kita di masa depan. Hidup hari ini menentukan, apakah kita akan menerima kemuliaan yang diberikan Allah kepada kita ataukah justeru kita akan dibakar seperti jerami. Maka memperjuangkan hidup di hari ini menjadi pertaruhan di masa depan.

Jakarta, 10 November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar