Kamis, 08 September 2016

ALLAH MENCARI YANG HILANG

Muhammad ed-Dib, namanya menjadi begitu terkenal setelah pada Maret 1947 ia mendapatkan apa yang kemudian disebut “penemuan terbesar dalam abad ini.” Apa yang ditemukannya? Sejumlah guci yang berisi “naskah-naskah Qumran”, di antaranya salinan Kitab Yesaya. Naskah-naskah itu berusia sekitar dua ribu tahun (125 SM – 68 M)! Melalui naskah-naskah Qumran kita dapat ditelusuri situasi kehidupan iman masyarakat Yahudi pada zaman Alkitab ditulis.

Muhammad ed-Dib, sampai ke gua-gua di Khirbet Qumran bukanlah untuk mencari “harta karun” gulungan naskah-naskah yang terhubung dengan Alkitab. Ia sampai di gua itu dengan maksud untuk mencari satu ekor kambing gembalaannya yang terpisah dan hilang! Mohammad ed-Dib selalu mengembara dengan 55 ekor kawanan kambing hitamnya di daerah sekitar Laut Mati, kira-kira 12 Km dari Yerikho. Kawasan itu ialah padang gurun yang dengan kontur gunung-gunung batu dan banyak terdapat gua. Suatu hari, ia menghitung kawanan kambingnya kira-kira pukul 11 pagi. Mestinya, ia melakukan penghitungan itu pada sore menjelang malam sebelum istirahat. Namun, malam itu rupanya ia terlampau kelelahan. Ketika selesai menghitungnya, ternyata kawanan kambing itu kurang satu. Kemudian dengan segera ia meminta teman-temannya yang lain untuk mengawasi kawanan kambingnya dan ia segera pergi untuk mencarinya.

Tanpa membuang waktu, Muhammad segera pergi mencari kambingnya yang hilang. Ia menelusuri jalan dan tempat-tempat di mana ia pernah melewatinya bersama dengan kawanan kambingnya itu. Maka sampailah ia di sebuah gua di mana ia tidak menemukan kambingnya, melainkan mendapatkan “penemuan yang paling berharga abad ini”.

Dari kisah “penemuan yang paling berharga abad ini”, kita dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Yesus dalam kisah “Perumpamaan tentang domba yang hilang” (Lukas 15:1-7) merupakan kisah keseharian para gembala di kawasan Palestina – bahkan sampai pada zaman moderen ini. Di daerah-daerah gersang para gembala masih mengembara bersama kawanan kambing atau domba mereka. Menjelang sore, kawanan itu dihitung. Jika seekor hilang, tentulah si gembala akan segera mencarinya.

Gembala yang diceritakan dalam perumpaan oleh Yesus ini bertanggung jawab atas 100 ekor domba. Jika seekor dari kawanan itu hilang, maka ia harus mencarinya, Para gembala itu adalah orang-orang yang ahli dalam mencari jejak dan mereka dapat mengikuti jejak domba yang hilang tadi  berkilo-kilometer melintasi bukit-bukit. Para gembala dengan sekuat tenaga mengerahkan dayanya untuk mendapatkan kembali dombanya yang hilang. Usaha mencari domba seperti itu, bagi seorang gembala yang baik sudah menjadi adat yang berurat-berakar dalam hatinya. Sebab itu, si gembala meninggalkan domba-domba yang lain – memang di bawah pengawasan seorang teman atau dikumpulkan dalam sebuah gua – untuk mencari seekor yang hilang itu.

Seorang gembala yang baik akan terus mencari dombanya yang hilang sampai ia dapat menemukannya,  gembala itu harus membawa pulang ke rumah paling tidak bulunya untuk memperlihatkan – sebagai bukti – bagaimana domba itu mati. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan si gembala ketika ia berhasil menemukan dombanya yang hilang. Tentulah kegembiraan yang amat sangat memenuhi dirinya. Ia pasti memeluk, membelai dan melilitkan domba itu pada tengkuknya serta membawanya pulang. Pastilah ia juga akan berteriak, berseru kepada teman-temannya bahwa dombanya yang hilang kini sudah ditemukan!

Begitulah Allah memperlakukan manusia yang telah “hilang” atau menyeleweng dari hadapan-Nya dan mengembara ke mana ia menuruti hawa nafsunya serta kemudian terjebak dalam jurang kelam lumpur dosa yang akhirnya akan binasa dalam kesukarannya. Begitulah Allah bertindak terhadap orang-orang berdosa. Allah tidak saja digambarkan sebagai Allah yang Mahamurka terhadap manusia berdosa. Musa pernah kerepotan dengan umat Israel yang menyeleweng dari hadapan Allah dengan membuat berhala anak lembu emas. Mereka sujud menyembahnya. Mereka bagaikan domba yang sesat. Atas dasar itu, Allah menjadi murka dan berniat membinasakan umat itu (Keluaran 32:10). Namun, beruntunglah Musa dapat melunakkan hati Allah. Di sisi lain, Dia juga bukanlah Allah yang pasif menunggu manusia sadar diri dan kembali kepada-Nya. Allah tetap memerhatikan manusia itu, sementara manusia itu sedang dalam keadaan tersesat. Allah tetap mengasihinya, bahkan Allah sendiri mengambil inisiatif untuk mencari manusia yang sesat itu dan menyelamatkannya. Dan, sudah tentu Allah akan bergirang hati atas satu orang yang berdosa yang bertobat.

Di sinilah kita bisa memahami bahwa menemukan dan menyelamatkan yang hilang itu akan lebih banyak memberikan kegembiraan ketimbang memiliki apa yang tidak pernah hilang. Pesan ini bukan sama sekali meniadakan, apalagi menganggap tidak berarti dengan mereka yang sudah dalam keadaan “aman” yakni orang-orang benar itu. Tetapi yang mau disampaikan di sini adalah bahwa “yang hilang” atau yang “tidak aman” itu juga penting! Mendapatkannya kembali dengan susah payah, jelas-jelas akan membuat sukacita luar biasa. Inilah yang tidak dilihat oleh orang-orang Farisi yang saat itu menggugat Yesus lantaran Ia bergaul dan menerima para pemungut cukai dan orang-orang yang disebut mereka sebagai kelompok orang berdosa.

Dalam kisah-kisah perumpamaan tentang yang hilang, jelas yang dimaksudkan Yesus tentang “yang hilang” ini adalah mereka yang dikelompokkan sebagai orang-orang berdosa. Dan bukan orang-orang yang merasa  benar. Mengapa Yesus ada bersama dan menerima mereka? Di sinilah Yesus menjalankan misi sebagai Gembala yang sedang mencari doamba yang hilang itu.

Jika dari pihak Gembala, dalam hal ini Allah menemukan kembali yang hilang itu menimbulkan sukacita yang luar biasa, “Demikian juga akan ada sukacita karena di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat,…”(Luk.15:7). Lalu, kalau sorga begitu rupa bersukacita, bagaimana dengan “yang hilang” yang sudah kembali itu? Paulus, barangkali bisa mewakili “domba yang sesat” yang kemudian ditemukan dan dibawa kembali pulang. Paulus mengatakan, “- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas. Tetapi aku telah dikasihi-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman.” (1 Timotius 1:13). Paulus menyadari bahwa sebelumnya ia hidup di luar iman, bahkan ia seorang penganiaya dan penumpas pengikut Kristus. Ia sangat sadar bahwa dirinya adalah orang yang paling berdosa. Namun, pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa Tuhanlah yang mencari dan menyapanya. Yesuslah yang menangkap dan meraihnya dalam dekapan kasih. “Sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal. Itulah sebabnya Paulus sangat menyukuri kasih Tuhan itu (1 Tim1:12).

Tidak ada seorang pun bersih tanpa dosa. Kita bagai domba yang tersesat mestinya ketika Tuhan mencari kita, tidaklah mengeraskan hati melainkan menyambut kasih Tuhan itu. Setelah kita menyambut kasih Tuhan, maka kita dibenarkan dan disucikan oleh darah Sang Gembala. Masalahnya, kita sering lupa ketika kita sudah dibenarkan kemudian merasa hidup paling benar dan merendahkan orang lain serta melecehkannya. Mengapa kita sering mengambil peran seperti Farisi dan Ahli Taurat bukan seperti Paulus? Bukanlah Yesus menghendaki kita selalu rendah hati, menghargai dan menjadi berkat bagi mereka yang belum merasakan jamahan kasih Tuhan?

Jakarta 8 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar