Amy Wilson Carmichael lahir di desa kecil Millisle, County Down,
Irlandia pada tahun 1867. Dia anak sulung dari tujuh bersaudara. Panggilan
melayani Tuhan ditanggapinya dengan pergi ke India. Pada tahun 1901 Amy
Carmichael mendirikan Dohnavur Fellowship. Pelayanan Amy ditujukan untuk
anak-anak yatim. Pada Juni 1904, pelayanannya telah berkembang dengan adanya
tujuh belas bayi dan anak-anak. Enam anak di antaranya telah ia selamatkan dari
praktek perbudakan dan pelacuran bakti di kuil. Pelayanan yang semula bertujuan
untuk pekabaran Injil ternyata telah berubah menjadi rutinitas merawat
bayi-bayi dan anak-anak kecil. Akibatnya, Amy tidak dapat mencurahkan waktu
untuk karya penginjilan. Sempat terpikir olehnya bahwa dirinya telah sia-sia;
begitu banyak meninggalkan hal berharga dalam hidupnya dan kini, hanya sekedar
menjadi pengasuh bayi-bayi mungil!
Namun, apa yang terjdi? Amy menemukan jawabnya ketika ia mengingat
contoh pelayanan Yesus. Yesus yang adalah Tuhan dan guru bagi murid-murid-Nya,
Ia melepaskan jubah, mengikat pinggangnya dan kemudian membasuh kaki para
murid. Amy menyimpulkan bahwa melayani bayi-bayi dan anak-anak tidak akan
merendahkan martabatnya sebagai manusia. Seorang hamba tidak lebih dari tuannya
dan bukanlah hak hamba untuk memutuskan pekerjaan mana yang dianggap besar dan
penting dan mana yang kecil dan tidak penting. Bertahun-tahun kemudian, Amy
menulis, “Jika dengan melakukan pekerjaan tertentu yang tanpa pertimbangan
dianggap ‘bukan pekerjan rohani’, saya dapat menolong orang lain sebaik
mungkin, dan saya dalam hati menentangnya, dan kemudian berpikir bahwa hal
rohanilah yang saya butuhkan, padahal sebenarnya itu adalah hal menarik dan
menyenangkan, saya tidak tahu apa-apa tentang kasih Kalvari.”
Dengan pernyataannya ini, Amy mau mengatakan bahwa terkadang kita
memilah-milah pekerjaan pelayanan. Pelayanan pekabaran Injil yang dapat memenangkan
banyak jiwa dianggap lebih bergengsi, lebih tinggi derajatnya dibanding hanya
mengurus bayi-bayi terlantar. Namun, ketika seseorang mengenal, bersentuhan dan
merasakan karya Yesus di Kalvari maka hal itu sebenarnya menarik dan
menyenangkan. Mengapa? Karena dengan cara itulah kita merawat dan menyelamatkan
kehidupan. Berbagi dan meneruskan cinta kasih dan belaian tangan Yesus.
Beberapa orang yang baru percaya Yesus, baik perawat muda maupun
perempuan yang lebih tua keberatan merawat anak-anak itu. Mengapa? Dalam
konteks mayoritas kepercayaan India yang mengenal kasta, menyiratkan bahwa
pekerjaan semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang berkasta
rendah. Amy mula-mula mengajarkan kepada orang terdekatnya, yang merupakan
perempuan setempat dalam pelayanan pengasuhan anak yatim, Ponnammal, bahwa “
pekerjaan seorang ibu” seperti semua pekerja terhormat lainnya, bukanlah
pekerjaan rendah. Merawat dan mengurus anak yatim adalah pekerjaan mulia, itu
adalah pekerjaan Tuhan. Melakukan pekerjaan itu berarti mempersembahkan karya
terbaik buat Tuhan. Ponnammal, pada gilirannya memberi contoh untuk orang lain
dengan diam-diam ia mengerjakan tugas-tugas yang dihindari mereka. Apa yang
terjadi kemudian? Seperti Amy yang terinspirasi oleh teladan Yesus yang
membasuh kaki murid-murid-Nya tanpa merasa rendah atau direndahkan, Amy mau
melakukan pelayanan dengan kasih yang melimpah. Kini, Ponnammal belajar dari
Amy. Ia rela melepaskan cengkeraman kasta yang menganggap rendah sebuah
pelayanan terhadap anak kecil. Dan pada saatnya, spiritualitas Ponnammal
memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Akhirnya, tidak ada satu perawat pun di
antara mereka yang menolak untuk melakukan apa pun yang harus mereka kerjakan.
Ketika bayi, anak-anak yang mereka rawat tumbuh menjadi besar, mereka
juga diajarkan untuk melayani dengan membantu pekerjaan itu. Mereka membantu
agar rumah mereka tetap bersih, mengupas gabah, mengambil buah, dan membersihkan
tempat beras. Spiritualitas yang mengalir dalam tindakan ternyata lebih ampuh
membangun karakter baik yang mau berkorban dan melayani. Pelayanannya terus
berkembang dengan menampung ribuan anak yatim dan terlantar. Pada tahun 1916,
Amy mendirikan ordo Protestan Sisters of
the Common Life. Amy meninggal pada 1951 pada usia 83 dan dia meminta agar
tidak ada batu nisan diletakkan di atas kuburnya. Mungkin ia tidak menghendaki
orang terus mengenangnya. Namun, orang-orang yang telah tersentuh oleh kasih
sayangnya tetap meletakan batu nisan dengan sebuah kata “Amma” (bahasa Tamil
artinya “Ibu”).
Apa yang dilakuan Naomi sehingga kedua menantunya, Orpa dan Rut tidak
tega meninggalkannya pada saat-saat terpahit dalam kehidupannya? Mestinya bukan
formalitas ajaran atau syareat ritual agama belaka. Melainkan nilai-nilai
spiritualitas yang diyakini Naomi telah hidup di dalam dirinya dan memancar
terlihat oleh para menantunya. Meskipun pada akhirnya Orpa dengan berat hati
menginggalkan Rut namun dari kisah ini (Rut 1:1-18) nyata benar kasih Orpa
terhadap mertuanya. Namun Rut bergeming dengan mengatakan, “Jangan desak aku meninggalkan engkau dan
pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ
jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam:
bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku,..” (Rut 1:16)
Naomi – kalau dalam terminologi kekristenan tertentu – berhasil “memenangkan
jiwa” Rut, sehingga Rut, yang tadinya perempuan Moab, bangsa asing kini sepenuhnya
percaya kepada Allahnya Naomi. Namun, demikian ada hal menarik bahwa Rut tidak
serta-merta dan hanya sekedar formalitas beralih keyakinan. Kisah selanjutnya
kita akan mengerti bahwa Rut melakukannya dengan dasar cinta yang mendalam
sehingga ia melakukan segala sesuatunya bukan dengan keterpaksaan. Banyak orang
sudah menjadi cukup puas ketika melayani Tuhan hanya pada level formalitas.
Padahal bukan itu yang Tuhan kehendaki! Tuhan menghendaki kita beribadah dalam
keseluruhan hidup kita. Hal itu tampak dari pewartaan yang dilakukan Yesus. Dalam
keseluruhan perjalanan pelayanan Yesus, Ia menentang praktek-praktek ibadah
yang hanya mengutamakan ritual formil. Perjumpaan-Nya dengan orang Farisi, ahli
Taurat dan Saduki akan berakhir dengan penekanan-Nya bahwa ibadah bukan sarana
pamer kesalehan dan formalitas melainkan
sikap hati yang mencintai Allah.
Karena ibadah sejati bermula dari tersentuhnya hati manusia sehingga
manusia itu merasakan, mengalami dan kemudian tergerak melakukan sebuah
tindakan mulia, maka Yesus pun telah menyentuh hati manusia bukan dengan cara
ritual formalitas seperti yang lazim terjadi dalam ibadah-ibadah di Bait Allah
yang dipimpin oleh seorang Imam Besar dengan mengorbankan hewan-hewan korban.
Ritual ibadah pengorbanan hewan merupakan gambaran lahiriah. Kenyataannya,
hewan-hewan korban itu tidak mampu mentahirkan hati yang angkuh dari dosa-dosa
dan kesombongannya. Badan manusia bisa dianggap tahir dari kenajisan namun
belum tentu hatinya. Hanya korban Yesuslah yang mampu menyucikan manusia secara
menyeluruh. “Sebab, jika darah domba
jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu muda menguduskan mereka
yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah, betapa lebihnya darah
Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada
Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita
dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah
yang hidup.”(Ibrani 9:13-14)
Koraban Yesus memungkinkan
manusia meninggalkan perbuatan-perbuatan yang membawa maut dan menjadi hamba
Allah yang hidup. Dengan kata lain, korban Kristus bukan saja menyebabkan
manusia memperoleh pengampunan dari dosa-dosa masa lalunya, tetapi juga memungkinkan
manusia untuk menghayati hidup yang mengabdi kepada Allah. Korban Yesus tidak
saja melunasi hutang; kurban itu memberi kemenangan. Kemenangan itulah yang
memungkinkan kita sekarang ini dapat beribadah kepada Allah yang hidup. Ibadah yang
bukan mengulang ritual Perjanjian Lama dengan mencurahkan darah hewan korban,
melainkan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan mengasihi Allah dan
sesama (Markus 12:29-31) cara ibadah seperti ini jauh lebih utama dari pada semua
korban bakaran dan korban sembelihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar