Jumat, 07 Agustus 2015

JADILAH PENURUT-PENURUT ALLAH



Dalam percakapan Pemahaman Alkitab (PA), seorang peserta bertanya, “Mengapa Alkitab mencatat kebobrokan moral, seperti 1 Raja-raja 11:1-13? Bagaimana mungkin, Salomo yang terkenal dengan kebijaksanaannya, ia yang menulis banyak Amsal, koq bisa-bisanya mengumbar hawa nafsunya? Saya sulit membayangkan Salomo punya 700 isteri dan 300 selir. Tidak hanya berhenti di situ, bahkan ia membangun kuil-kuil berhara untuk setiap isterinya dan akhirnya turut dalam penyembahan berhala. Mestinya, kisah begini tidak usah ada dalam Alkitab!.”

Saya dapat merasakan getaran suara si penanya dengan segala ketidakmengertian bercampur kecewa. Baginya, tokoh Alkitab itu harus sempurna, tanpa cacat dosa, apalagi dosa yang begitu mengerikan, supayanya dengan demikian tokoh-tokoh dalam Alkitab itu mudah untuk diteladani.

Tampaknya, Alkitab tidak tegoda untuk menciptakan sosok manusia ideal yang bebas dari dosa, yang sudah disetting dari sononya dengan akhlaq mulia, bebas dari dosa dan selalu menjadi penurut-penurut Allah. Alih-alih menciptakan sosok ideal itu, Alkitab merekam dengan baik tokoh-tokoh itu apa adanya. Sejak semula Allah menciptakan manusia dengan kebebasannya. Adam dan Hawa tidak diprogram dengan otak dan hati yang tidak bisa melenceng dari kehendak Allah. Allah memberikan akal budi dan manusia ciptaan-Nya itu dapat menggunakannya untuk menentukan sikap: memilih taat dan menjadi penurut Allah atau dengan kesadaran yang sama memilih menuruti hawa nafsunya dan membelakangi Allah. Tentunya masing-masing pilihan itu punya konsekuensinya.

Dengan mengungkapkan sosok manusia apa adanya, Alkitab memudahkan kita untuk belajar bahwa manusia dapat menggunakan akal budinya, menentukan pilihan, bersikap atau bertindak. Manusia dapat keliru, berdosa, murtad dan membelakangi Allah. Namun, manusia juga dapat bangkit dari masa lalu, bertobat dan memperbaiki kekeliruan dan kemudian merancangkan hidup baru.

Anda, saya, siapa pun dapat jatuh dalam dosa, bahkan dosa yang sangat keji. Masalahnya, ada orang yang segera menyadari dan kemudian kembali pada jalan Tuhan. Ada yang harus ditegur, diingatkan baru kemudian sadar dan bertobat. Namun, ada banyak yang terus tenggelam dalam dosa. Tentu, yang Tuhan kehendaki adalah pertobatan. Firman-Nya mengajarkan kepada kita, “…Sekalipun dosamu mereah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”(Yesaya 1:18). Namun demikian, pengampunan yang paripurna ini hanya berlaku bagi orang yang sungguh-sungguh menyadari dosanya dan mau bertobat. Mazmur 130 merupakan contoh orang yang mau mengakui kesalahannya dan bertobat.

Pemazmur menyadari akan keterpurukan dalam dosanya, “dari jurang yang dalam aku berseru...!” Istilah ini biasanya dipakai untuk gambaran lautan, rawa atau air yang dalam. Dosa telah memisahkan hubungan yang baik dengan Allah.  Orang yang sadar akan dosanya ini, berdoa dari tempat yang rendah, penuh ancaman maut itu, kepada Allah yang bersemayam di tempat yang paling tinggi. Pemazmur menyadari telah memilih jalan yang sesat yang disebabkan oleh kebodohan dan kebebalannya. Seandainya Tuhan mengingat dan memperhitungkan segala macam kesalahan itu, lalu kemudian menempatkannya di hadapan-Nya. Dan kemudian Dia menghindari suara permohonan si pendoa untuk sampai pada telinga-Nya. Siapakah yang dapat tahan? Tidak ada! Kecuali Tuhan sendiri yang menjauhkan pelanggaran-pelanggaran itu dan membuka kesempatan agar orang dapat lagi hidup di hadapan-Nya dengan benar. Allah mengambil prakarsa dan resiko memulihkan hubungan supaya Ia ditakuti orang, yaitu supaya orang mengerti bahwa dosa dapat mengakibatkan ia jauh dari Tuhan dengan segala ancaman maut, namun kini ia kagum pada Tuhan sendiri, bersyukur dan ingin hidup menurut kehendak-Nya. Meninggalkan yang lama dan memulai kehidupan yang baru!

Persoalannya sekarang, menjadi manusia baru seperti apa? Ya, tentu hidup menjadi penurut-penurut Allah! Penurut yang bagaimana? Manusia baru, penurut Allah jelas bukan hanya kulitnya saja. Bukan hanya soal ibadah yang bertambah rajin, ucapan yang berubah menjadi sering keluar kata-kata yang “berbau rohani”, megenakan atribut atau aksesoris “rohani”. Bukan itu! Itu hanya kulit luarnya saja. Pembaruan yang sesungguhnya terjadi harus mulai dari dalam hati dan pikiran, dalam jiwa dan roh kita.

Dalam Efesus 4:25-5:2, Paulus memberi semacam panduan tentang manusia berdosa yang kemudian bertobat dan membarui kehidupannya:

1.   Buanglah dusta dan berkata benar: Menjadi manusia baru bukan sekedar berusaha untuk berhenti berkata-kata dusta, bohong, menipu, gosip dan semacamnya. Ini baru setengah. Yang harusnya terjadi kemudian adalah “berkata benar”, artinya sekarang kata-katanya selalu mengucapkan kebenaran.

2.     Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu: Salah satu ciri orang yang sudah diampuni dosanya adalah mau mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya. Dengan kata lain tidak menjadi pendendam. Untuk menguji kita pendendam atau bukan, ukurannya tidak menyimpan kemarahan itu berkepanjangan. Bagi Paulus, jika kemarahan itu terus berlarut sampai matahari tenggelam, hal ini mengindikasikan bahwa kita masih menyimpan dendam dan di sanalah kita memberi peluang iblis berkuasa lagi dan kemudian kita kembali berbuat dosa.

3.     Orang yang mencuri, jangan mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras,…supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkurangan..” Kalau seseorang mencuri, kemudian tertangkap dan dihukum. Ia berhenti mencuri. Hal itu bukanlah bertobat, melainkan kapok. Bertobat dan menjadi penurut Allah tidak hanya berhenti melakukan kesalahan. Namun, memerbaiki dan berusaha menjadi berkat bagi sesama. Hidupnya bukan untuk dirinya lagi tetapi dipersembahkan kepada Tuhan melalui jalan melayani, memberikan seseuatu yang berarti bagi sesama.

4. Jangan ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi perkataan yang baik untuk membangun: Ada pepatah, perkataan yang keluar mencerminkan apa yang ada dalam hati seseorang. Seorang manusia baru pasti akan mengisi pikiran dan hatinya dengan perkara-perkara yang baik. Akibatnya, perkataan yang keluar pun adalah hal-hal positif yang membangun kehidupan bersama. Periksalah tutur kata kita, layakkah kita disebut manusia baru?

5.   Tidak mendukakan Roh Kudus: setiap orang percaya menyakini bahwa Roh Kudus dapat dirasakan kehadirannya dalam diri kita. Ia menguatkan tatkala kita sedih dan kalut. Ia menegur dan menyatakan kebenaran. Roh Kudus pasti mengingatkan kita ketika kita melakukan kesalahan dan kembali kepada dosa. Ada sesuatu yang menggelitik dalam bathin kita, sehingga kita merasa tidak ada damai sejahtera. Nah, pada saat itu mana yang kita pilih? Kebenarankah? Atau nafsu dan keinginan kita. Roh Kudus akan berduka tatkala suara-Nya tidak kita dengar.

6.   Buanglah segala kejahatan, kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah: Berdoa emohon pembaruan hidup dan menjadi penurut Allah itu penting. Namun, tidak kalah pentingnya adalah usaha kita untuk membuang indentitas lama itu. Barang-barang lama yang usang tidak lagi bisa menghiasi kehidupan manusia baru. Isilah sekarang dengan:

7.    Ramah, penuh kasih mesra, saling mengampuni. Inilah ciri-ciri manusia baru di mana kasih Kristus menjadi dasarnya. Paulus merangkumnya dengan:

8.   Sebab itu, jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu..: Kasih Kristus merupakan dasar kehidupan manusia baru. Karena kasih-Nya itu, kita dimampukan menjadi manusia baru. Allah mengampuni dosa dan pelanggaran kita melalui pengorbanan-Nya. 

Kristus adalah cara Allah mengulurkan pertolongan dari tempat Yang Mahatinggi ke jurang maut. Kristus adalah jawaban doa pemazmur yang berteriak dalam jurang keberdosaannya. Kristus juga merupakan contoh dan teladan manusia yang menjadi penurut-penurut Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar