Jumat, 14 Agustus 2015

HIDUPLAH SEBGAI ORANG ARIF


Dalam mitologi pewayangan ada tokoh penguasa waktu, namanya Batara Kala. “Kala” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu. Batara Kala menurut postur tubuh sebenarnya tidak cocok disebut Batara atau Dewa. Mengapa? Ia lebih cocok disebut buto atau monster berwajah menyeramkan. Dalam jagat pewayangan, Kala adalah sosok sang penguasa waktu. Tidak ada seorang pun yang sanggup melawan Batara Kala. Apabila seseorang sudah waktunya meninggalkan jagat raya yang fana ini, pada saat itulah Kala akan menjemput. Tak ada kuasa yang dapat menolaknya. Jika ada yang menolak dan tidak tunduk maka, Kala akan memaksanya, maka dari itu Kala digambarkan dengan wajah yang sangat menakutkan, ia bersifat memaksa semua orang tunduk pada batas usianya!

Sosok dan prilaku Kala tidak lepas dari riwayat kelahirannya. Banyak versi tentang kelahiran Batara Kala ini. Dalam kitab Kala Tattwa, versi Hindu Bali, konon dikisahkan bahwa Kala lahir oleh karena nafsu seksual Dewa Siwa yang tak terkendali ketika melihat betis Dewi Uma, hal itu menyebabkan sperma Siwa menetes ke laut dan ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi mantra, maka lahirlah sosok raksasa yang tumbuh menjadi besar dan kemudian menggeram-geram menanyakan siapa orang tuanya. Atas petunjuk Brahma dan Wisnu, raksasa itu akhirnya mengetahui bahwa Siwa dan Uma adalah orang tuanya.

Singkat kata, Kala akhirnya mengetahui siapa orang tuanya. Sang ayah, Siwa, memberi kuasa kepada Kala untuk memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang. Apa dinyana, sang adik, Kumara lahir pada waktu tumpek wayang. Tentu saja Siwa tidak merelakan anak dimangsa oleh Kala, kakaknya sendiri. Siwa memohon agar Kala memberi kesempatan hidup kepada Kumara. Boleh dimakan kalau adiknya itu sudah dewasa. Pada saat inilah Siwa mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia memberi anugerah kepada Kumara agar selamanya tetap menjadi kanak-kanak, tidak akan menjadi dewasa atau tua. Apa yang terjadi kemudian? Kala mengetahui akal-akalan Siwa. Maka kemudian ia mengejar Kumara. Dalam pengejarannya itu, Kala bertemu Siwa dan Uma. Melihat mereka, Kala pun ingin memangsanya. Namun, sebelum Kala memangsa mereka, Siwa memberi sebuah syarat. Boleh Kala memangsa mereka asalkan dapat menjawab sebuah teka-teki dengan batas waktu sampai matahari terbenam. Ternyata, Kala tidak dapat menjawab teka-teki itu, akhirnya ia melanjutkan pengejaran mencari Kumara untuk dimangsanya. Kehidupan manusia selalu dikejar oleh sang kala. Suatu ketika pasti ditelannya, tidak lagi bisa hidup selamanya!

Batara Kala, digambarkan sebagai sosok monster raksasa seram nan mengerikan. Prilakunya cenderung antagonis. Jahat! Bukankah gambaran waktu juga demikian? Ia jahat, tidak kenal kompromi! Kita jengkel dengan sang waktu, ketika kita diliputi sukacita, kehidupan yang manis waktu terasa begitu singkat. Kita tidak bisa memohon untuk mengulurnya. Syair "Kemesraan ini janganlah cepat berlalu", menggambarkan manusia ingin mencoba menahan sang kala saat kebahagiaan sedang dialami. Sebaliknya, ketika derita, kelu kesah dan diam dalam lebah air mata, sang kala begitu lama terasa. 

Waktu terus berjalan; tidak peduli saat kita senang atau susah. Waktu, kesempatan hidup jelas ada batasnya. Siapa pun kita pasti akan berjumpa dengan Malaikat maut, dengan Batara Kala, dengan kematian! Karena begitu kejamnya sang waktu maka sudah semestinya kita dapat mengelolanya dengan sebaik-baiknya.

“Karena itu, perhatikanlah dengan seksama, bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:15-16). Berkaitan dengan waktu, ada dua istilah: kronos dan kairos. Kronos, mengacu pada “kronologi” atau urutan waktu. Kronologi manusia, misalnya dari dalam kandungan, lahir, menjadi bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua dan mati. Sedangkan kairos, harafiah: “saat yang tepat atau benar”, sering diterjemahkan dengan kesempat. Banyak orang sering mengaitkan kronos adalah waktu yang berkaitan dengan kuantitas (durasi) sedangkan kairos lebih ke arah kualitas.

Ketika Paulus membicarakan pergunakanlah waktu yang ada,…, pastilah berkaitan erat dengan kronos dan kairos. Hidup ini pasti ada batasnya. Nah, dalam rentang waktu terbatas inilah kita terpanggil untuk memergunakan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya, yakni dengan hidup yang berkualitas. Kualitas hidup yang dimaksud adalah jangan seperti orang bebal. Bebal adalah ungkapan untuk orang yang tidak mau belajar untuk memerbaiki kualitas hidupnya. Alkitab sering merujuk bahwa orang bebal adalah orang yang sebenarnya tahu apa itu yang baik dan benar tetapi tetap ngotot melakukan kesalah. Israel pernah disebut bangsa yang bebal, oleh karena sebenarnya mereka tahu apa itu kebenaran tetapi justeru memilih untuk tidak melakukannya. Pada zaman Yesus, kebebalan orang Yahudi tampaknya masih berlanjut. Mereka umumnya memelihara hukum-hukum Tuhan secara verbal dan formalitas. Suatu ketika, Yesus memberi pengajaran berbeda.

Contoh TUHAN memberi makan roti manna dalam peristiwa eksodus mengingatkan bahwa kini semestinya mereka belajar untuk menggunakan prinsif-prinsif yang membawa manusia kepada kehidupan sejati. Bukan semata-mata mengejar nafsu duniawi sehingga mengabaikan kehidupan yang berkualitas. Yesus mengajarkan prinsif hidup itu. Yesus menyebut diri-Nya roti hidup. “Roti yang kuberikan itu ialah daging-Ku. Jika kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak akan mempunyai hidup.”(Yohanes 6:53). Tentu, ketika Yesus berbicara tentang roti hidup ini bukanlah dalam arti harafiah. Yang dimaksud makan dan minum darah-Nya adalah hidup dalam persekutuan dengan dan di dalam Yesus, artinya melakukan dan memilih jalan kehidupan seperti yang Yesus lakukan.

Paulus telah memaparkan hidup yang berkualitas itu dengan tema “manusia baru” (Efesus 4:17-32). Nah sekarang, supaya tidak disebut bebal, Paulus melanjutkan: lakukanlah dengan seksama hidup yang berkualitas itu! Dengan begitu, orang-orang yang melakukannya disebut seperti orang arif. Seseorang disebut arif bukan saja karena ia pandai dan kaya dengan pengetahuan. Melainkan, ia dapat mengaplikasikan pengetahuannya itu dalam kehidupan sehari-hari.

Salomo sering dipakai sebagai rujukan untuk orang yang disebut arif bijaksana. Benar, setidaknya pada masa kejayaannya. Namun, tidak pada penghujung hidupnya. Hikmat itu diperolehnya ketika ia hidup benar di hadapan Tuhan dengan melakukan kehendak-Nya. Ia berdoa memohon Tuhan memberikan hikmat itu.Tuhan mengabulkannya. Ia menjadi arif dan bijaksana ketika hikmatnya itu diaplikasikan dalam kehidupan. Cerita tentang keputusannya memilih memberikan bayi kepada ibu yang sebenarnya menunjukkan sikap yang arif itu (1 Raja-raja 16-28). Tentu, kita bukan Salomo dan tidak harus memutuskan perkara serumit Salomo. Namun, bukankah setiap hari kita juga harus membuat keputusan dari yang sederhana hingga yang kompleks? Jelas, kini dan di sini pun kita memerlukan hikmat. Pemazmur mengatakan bahwa permulaan hikmat itu adalah takut akan TUHAN. “Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Puji-pujian kepada-Nya tetap untuk selamanya (Mazmur 111:10) 

Nah, apakah pengenalan akan kehendak Tuhan melalui firman-Nya telah menolong kita untuk membuat keputusan-keputusan, baik yang sederhan maupun yang rumit, dengan dengan baik? Sehingga apa yang kita lakukan nantinya adalah langkah-langkah cermat, tidak sembrono apa lagi bertentangan dengan kehendak Tuhan. Apakah kita telah memanfaatkan waktu yang Tuhan anugerahkan itu dengan baik sehingga kita mengisinya dengan momen-momen indah bersama-Nya?  Bagi orang yang arif, waktu yang disediakan Tuhan adalah momentum indah. Namun, bagi yang hidup dengan mengumbar kesenangan nafsunya, waktu bagaikan sang Batara Kala yang siap melumat habis mangsanya. Mana yang kita pilih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar