Selasa, 06 Januari 2015

DIKASIHI DAN DIPERKENAN ALLAH

Ada banyak upaya seseorang agar dapat dikasihi dan diterima dengan baik. Sering ada cerita, seorang karyawan supaya dikasihi atasannya sibuk mencari muka. Mengerjakan ini dan itu di hadapan atasnya supaya terkesan rajin dan kompeten. Lain lagi ceritanya dengan seorang pejabat publik. Biar terkesan bagus kinerjanya, maka sedikit saja mengerjakan apa yang baik, segera diekspose ke publik melalui corong pemberitaan. Kalau politisi? Ya, segala sesuatu yang dapat menguntungkan nama baiknya akan selalu diperjuangkan. Kadang harus tega membungkam nurani demi pencitraan. Tujuannya sejalas supaya banyak orang berkenan dan kemudian hari memilihnya entah jadi anggota DPR, kepala daerah atau presiden.

Rupanya, kebiasaan “cari muka” ini berlaku juga ketika manusia beribadah kepada TUHAN. Ibadah digunakan sebagai cara atau jalan TUHAN mengasihi dan memberkatinya. Tidak berhenti di situ saja, dampak lainnya juga tidak kalah menguntungkan bahwa dirinya dikenal sebagai seorang yang agamis, taat beribadah. Pendek kata orang saleh! Satu hal sering dilupakan manusia, bahwa TUHAN itu Mahatahu. Ia mengerti dan tahu benar niat seseorang beribadah kepada-Nya.

Suatu masa kehidupan umat TUHAN diwarnai dengan kebanggaan. Kaum Yudaisme sangat bangga dengan keyakinannya bahwa mereka adalah umat istimewa di hadapan TUHAN. Mereka mengklaim sebagai umat yang paling “bersih”. Bayangkan, mereka menerjemahkan Imamat 11-15 dengan begitu gamlang, harafiah! Sehigga kelak Tertullianus, salah seorang bapa gereja mengatakan, “Orang Yahudi membersihkan dirinya setiap hari, sebab setiap hari ia bisa cemar.” Pembersihan dan penyucian simbolis telah masuk dalam struktur kepercayaan Yahudi. Sampai di sini, tentu baik. Tidak ada salahnya perbuatan simbolis dipakai sebagai sarana penghayatan untuk kehidupan yang terus-menerus lebih baik, lebih bersih. Namun, apa lacur mereka memandang bahwa orang-orang di luar mereka – yang tidak melakukan ritual seperti mereka – dianggap tidak bersih, najis. Oleh karena itu, apabila seorang bukan Yahudi hendak menjadi pengikut Yudaisme (proselit) mereka harus bertobat. Caranya, ia harus menjalani tiga hal: Pertama, ia harus disunat. Ini wajib, oleh karena dengan itu ia terhisap menjadi umat perjanjian. Kedua, kurban harus dibuat untuknya, oleh karena darah hewan harus mengalir sebagai lambang penebusan dosa. Ketiga, ia harus dibaptis yang melambangkan pembersihannya dari semua kotoran pada masa lalu.

Ketika praktek formalitas ritual ini begitu rupa menjadi kebanggaan umat Yahudi ini, tampilah Yohanes Pembaptis. Ia seorang Yahudi dan menyerukan pertobatan. Sampai di sini dapat dimengerti oleh para pemuka Yahudi, kalau itu ditujukan untuk orang-orang di luar Yahudi. Mengapa? Karena sesuai dengan keyakinan mereka, baptisan pertobatan hanya berlaku bagi mereka yang non Yahudi sedangkan untuk kalangan mereka berlaku Imamat 11-15 itu. Namun, masalahnya Yohanes menuntut pertobatan itu untuk semua orang dan dalam konteks pewartaannya, tentu saja mayoritas umat Yahudi. Kita dapat bayangkan Yohanes menuntut pertobatan kepada mereka yang merasa diri sudah bersih dari dosa dan mereka merasa diri bahwa TUHAN sudah berkenan kepada mereka!

Tak pelak lagi, Yohanes telah melakukan sebuah terobosan yang luar biasa yakni, bahwa menjadi seorang Yahudi secara ras bukanlah berarti otomatis Allah berkenan dan kemudian mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan non Yahudi. Seorang Yahudi, di hadapan Allah, bisa saja ditolak dan tidak punya hak istimewa sama sekali! Oleh karena itu, seruan bertobat berlaku bagi semua orang tanpa kecuali.

William Barcklay menegaskan bahwa baptisan itu diiringi dengan pengakuan. Untuk bertobat, berbalik kepada Allah, pengakuan harus dilakukan kepada tiga pihak berbeda.

1.  Seseorang harus membuat pengakuan kepada dirinya sendiri. Konon, di dunia ini ada satu hal yang paling sulit untuk dihadapi, yakni diri sendiri. Langkah pertama untuk bertobat dan menjalin hubungan yang benar dengan Allah adalah mengakui dosa kita kepada diri sendiri. Banyak orang mengakui dan menyadari kekeliruannya namun hanya berhenti di situ. Buktinya, ketika peristiwanya telah berlalu sekian lama, ia kembali melakukannya.

2.   Seseorang harus membuat pengakuan kepada orang-orang yang kepadanya ia telah berbuat salah. Tidak banyak gunanya kita berkata kepada Allah bahwa kita mengaku dan menyesali dosa-dosa kita tanpa meminta maaf kepada orang-orang yang bersalah kepada kita, orang-orang yang telah kita buat sakit hati dan berduka.

3.  Seseorang mesti membuat pengakuan yang tulus kepada Allah. Akhir keangkuhan adalah awal pengampunan. Hanya bila seseorang berkata, “Saya telah berdosa,” maka berkesempatan memberi anugerah-Nya, “Aku mengampuni Engkau!” Ingatlah, bukan orang yang ingin menemui Allah dengan berdiri sama tinggi yang akan mendapatkan pengampunan, melainkan orang yang bersujud dalam kerendahan dan berbisik dengan rasa malu, “Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.”

Bagi seseorang yang kritis, baptisan yang dilakukan Yohanes terhadap Yesus menimbulkan masalah. Baptisan Yohanes adalah baptisan pertobatan, dimaksudkan untuk orang-orang yang menyesali dosa-dosanya dan yang ingin mengungkapkan kebulatan hati mereka untuk mengakhiri dosa-dosa itu. Lalu, apakah artinya batisan seperti itu bagi Yesus? Apakah Yesus termasuk orang yang berdosa? Bukankah selama ini kita diajari doktrin bahwa Yesus tidak berdosa dan dengan sendirinya baptisan seperti itu tidak perlu? Mari, kita cermati begini, bagi Yesus baptisan Yohanes itu mengandung empat hal:

1. Baptisan adalah saat pengambilan keputusan. Selama tiga puluh tahun, Yesus tinggal di Nazaret. Dengan setia, Ia telah melakukan pekerjaan-Nya sehari-hari dan menunaikan semua kewajiban-Nya terhadap keluarga-Nya. Kini, tiba waktunya untuk keluar menanggapi panggilan-Nya. Tampilnya Yohanes adalah waktu yang genap itu. Ia melihat bahwa sekaranglah tiba waktunya untuk memulai tugas-Nya. Nazaret penuh damai dan keluarga-Nya menyenangkan, tetapi Ia menjawab tantangan dan panggilan Allah.

2. Pembaptisan itu adalah saat identifikasi. Adalah benar bahwa Yesus tidak perlu bertobat dari dosa, tetapi di sini ada gerakan umat untuk kembali kepada Allah; dan dengan gerakan kembali kepada  Allah itulah Ia bermaksud untuk mengidentifikasikan diri-Nya. Seseorang bisa saja memiliki kehidupan yang tentram, aman dan sejahtera namun ia bisa terjun bersama-sama dengan sebuah gerakan untuk menghadirkan keadaan yang lebih baik bagi kaum miskin dan tertindas. Identifikasi yang benar-benar luhur adalah bila seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu gerakan, bukan demi kepentingannya sendiri, melainkan untuk orang lain.

3. Baptisan itu adalah momentum untuk memperoleh persetujuan. Yesus telah mengambil keputusan akan apa yang harus Ia lakukan kedepan-Nya. Kini, Ia mengharapkan meterai persetujuan dari Allah. Allah menjawab, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah AKu berkenan.” Kalimat ini terasa berbeda ketika membandingkannya dengan Matius 3:17. Sangat personal, tidak diumumkan untuk semua orang, melainkan hanya kepada Yesus suara itu tertuju. Pada baptisan itu kita melihat bahwa Yesus menyerahkan tekad-Nya kepada Allah, dan keputusan itu sepenuhnya disetujui!

4. Baptisan adalah saat untuk memperoleh perlengkapan. Pada waktu itu Roh Kudus turun ke atas-Nya. Di sana ada lambang khusus yang dinyatakan oleh . Roh itu turun seperti seekor burung merpati. Kiasan ini dipilih tidak secara kebetulan, merpati adalah lambang kelemahlembutan. Selanjutnya orang-orang akan melihat bahwa Yesus tampil dengan lemah lembut.

Benar, bahwa Allah dengan segala kuasa-Nya bebas menentukan kepada siapa Ia mengasihi dan berkenan. Kebaikan dan kesalehan, apalagi ibadah-ibadah kamuplase manusia tidaklah mungkin dapat “membeli” kasih dan perkenan-Nya itu. Banyak contoh dalam Alkitab bahwa Allah bebas memilih, mengasihi dan memperkenankan seseorang. Abraham, jelas bapak dan leluhurnya dulu bukanlah penyembah Allah, Daud bukan selamanya tunduk kepada TUHAN, kita ingat bagaimana ia telah berzinah dengan Bersyeba, Paulus bukanlah dulunya adalah seorang Saulus, pembantai orang Kristen. Namun, kepada mereka Allah berkenan. Tentu, ada perubahan mendasar dari sikap mereka setelah Allah memanggil mereka. Sekali lagi, benar bahwa Allah mengasihi dan berkenan pada seseorang bukan karena kebaikan orang tersebut, namun kita bisa belajar dari sikap Yesus. Yesus adalah figur orang yang dikasihi dan diperkenan Allah. Sejak penyataan Allah melalui peristiwa baptisan Yohanes itu, Ia menyerahkan diri dan hidup-Nya dalam ketaatan mutlak kepada Sang Bapa. Jadi, kita tidak bisa berspekulasi hidup semaunya karena Allah bebas menentukan. Satu-satunya jalan pasti untuk dikasihi dan diperkenan Allah adalah meneladani sikap Yesus dan mengikuti ajaran-Nya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar