Ada banyak upaya seseorang agar dapat dikasihi dan diterima dengan baik.
Sering ada cerita, seorang karyawan supaya dikasihi atasannya sibuk mencari
muka. Mengerjakan ini dan itu di hadapan atasnya supaya terkesan rajin dan
kompeten. Lain lagi ceritanya dengan seorang pejabat publik. Biar terkesan
bagus kinerjanya, maka sedikit saja mengerjakan apa yang baik, segera diekspose
ke publik melalui corong pemberitaan. Kalau politisi? Ya, segala sesuatu yang
dapat menguntungkan nama baiknya akan selalu diperjuangkan. Kadang harus tega
membungkam nurani demi pencitraan. Tujuannya sejalas supaya banyak orang
berkenan dan kemudian hari memilihnya entah jadi anggota DPR, kepala daerah
atau presiden.
Rupanya, kebiasaan “cari muka” ini berlaku juga ketika manusia beribadah
kepada TUHAN. Ibadah digunakan sebagai cara atau jalan TUHAN mengasihi dan
memberkatinya. Tidak berhenti di situ saja, dampak lainnya juga tidak kalah
menguntungkan bahwa dirinya dikenal sebagai seorang yang agamis, taat
beribadah. Pendek kata orang saleh! Satu hal sering dilupakan manusia, bahwa
TUHAN itu Mahatahu. Ia mengerti dan tahu benar niat seseorang beribadah
kepada-Nya.
Suatu masa kehidupan umat TUHAN diwarnai dengan kebanggaan. Kaum
Yudaisme sangat bangga dengan keyakinannya bahwa mereka adalah umat istimewa di
hadapan TUHAN. Mereka mengklaim sebagai umat yang paling “bersih”. Bayangkan,
mereka menerjemahkan Imamat 11-15 dengan begitu gamlang, harafiah! Sehigga
kelak Tertullianus, salah seorang bapa gereja mengatakan, “Orang Yahudi
membersihkan dirinya setiap hari, sebab setiap hari ia bisa cemar.” Pembersihan
dan penyucian simbolis telah masuk dalam struktur kepercayaan Yahudi. Sampai di
sini, tentu baik. Tidak ada salahnya perbuatan simbolis dipakai sebagai sarana
penghayatan untuk kehidupan yang terus-menerus lebih baik, lebih bersih. Namun,
apa lacur mereka memandang bahwa orang-orang di luar mereka – yang tidak
melakukan ritual seperti mereka – dianggap tidak bersih, najis. Oleh karena
itu, apabila seorang bukan Yahudi hendak menjadi pengikut Yudaisme (proselit) mereka harus bertobat.
Caranya, ia harus menjalani tiga hal: Pertama, ia harus disunat. Ini wajib,
oleh karena dengan itu ia terhisap menjadi umat perjanjian. Kedua, kurban harus
dibuat untuknya, oleh karena darah hewan harus mengalir sebagai lambang
penebusan dosa. Ketiga, ia harus dibaptis yang melambangkan pembersihannya dari
semua kotoran pada masa lalu.
Ketika praktek formalitas ritual ini begitu rupa menjadi kebanggaan umat
Yahudi ini, tampilah Yohanes Pembaptis. Ia seorang Yahudi dan menyerukan
pertobatan. Sampai di sini dapat dimengerti oleh para pemuka Yahudi, kalau itu
ditujukan untuk orang-orang di luar Yahudi. Mengapa? Karena sesuai dengan
keyakinan mereka, baptisan pertobatan hanya berlaku bagi mereka yang non Yahudi
sedangkan untuk kalangan mereka berlaku Imamat 11-15 itu. Namun, masalahnya
Yohanes menuntut pertobatan itu untuk semua orang dan dalam konteks
pewartaannya, tentu saja mayoritas umat Yahudi. Kita dapat bayangkan Yohanes
menuntut pertobatan kepada mereka yang merasa diri sudah bersih dari dosa dan
mereka merasa diri bahwa TUHAN sudah berkenan kepada mereka!
Tak pelak lagi, Yohanes telah melakukan sebuah terobosan yang luar biasa
yakni, bahwa menjadi seorang Yahudi secara ras bukanlah berarti otomatis Allah
berkenan dan kemudian mempunyai hak-hak istimewa dibandingkan dengan non
Yahudi. Seorang Yahudi, di hadapan Allah, bisa saja ditolak dan tidak punya hak
istimewa sama sekali! Oleh karena itu, seruan bertobat berlaku bagi semua orang
tanpa kecuali.
William Barcklay menegaskan bahwa baptisan itu diiringi dengan pengakuan.
Untuk bertobat, berbalik kepada Allah, pengakuan harus dilakukan kepada tiga
pihak berbeda.
1. Seseorang
harus membuat pengakuan kepada dirinya
sendiri. Konon, di dunia ini ada satu hal yang paling sulit untuk dihadapi,
yakni diri sendiri. Langkah pertama untuk bertobat dan menjalin hubungan yang
benar dengan Allah adalah mengakui dosa kita kepada diri sendiri. Banyak orang
mengakui dan menyadari kekeliruannya namun hanya berhenti di situ. Buktinya,
ketika peristiwanya telah berlalu sekian lama, ia kembali melakukannya.
2. Seseorang
harus membuat pengakuan kepada orang-orang
yang kepadanya ia telah berbuat salah. Tidak banyak gunanya kita berkata
kepada Allah bahwa kita mengaku dan menyesali dosa-dosa kita tanpa meminta maaf
kepada orang-orang yang bersalah kepada kita, orang-orang yang telah kita buat
sakit hati dan berduka.
3. Seseorang
mesti membuat pengakuan yang tulus kepada Allah. Akhir keangkuhan adalah awal
pengampunan. Hanya bila seseorang berkata, “Saya telah berdosa,” maka
berkesempatan memberi anugerah-Nya, “Aku mengampuni Engkau!” Ingatlah, bukan
orang yang ingin menemui Allah dengan berdiri sama tinggi yang akan mendapatkan
pengampunan, melainkan orang yang bersujud dalam kerendahan dan berbisik dengan
rasa malu, “Allah, kasihanilah aku, orang berdosa ini.”
Bagi seseorang yang kritis, baptisan yang dilakukan Yohanes terhadap
Yesus menimbulkan masalah. Baptisan Yohanes adalah baptisan pertobatan,
dimaksudkan untuk orang-orang yang menyesali dosa-dosanya dan yang ingin
mengungkapkan kebulatan hati mereka untuk mengakhiri dosa-dosa itu. Lalu,
apakah artinya batisan seperti itu bagi Yesus? Apakah Yesus termasuk orang yang
berdosa? Bukankah selama ini kita diajari doktrin bahwa Yesus tidak berdosa dan
dengan sendirinya baptisan seperti itu tidak perlu? Mari, kita cermati begini,
bagi Yesus baptisan Yohanes itu mengandung empat hal:
1. Baptisan
adalah saat pengambilan keputusan. Selama tiga puluh tahun, Yesus tinggal di
Nazaret. Dengan setia, Ia telah melakukan pekerjaan-Nya sehari-hari dan
menunaikan semua kewajiban-Nya terhadap keluarga-Nya. Kini, tiba waktunya untuk
keluar menanggapi panggilan-Nya. Tampilnya Yohanes adalah waktu yang genap itu.
Ia melihat bahwa sekaranglah tiba waktunya untuk memulai tugas-Nya. Nazaret
penuh damai dan keluarga-Nya menyenangkan, tetapi Ia menjawab tantangan dan
panggilan Allah.
2. Pembaptisan
itu adalah saat identifikasi. Adalah
benar bahwa Yesus tidak perlu bertobat dari dosa, tetapi di sini ada gerakan
umat untuk kembali kepada Allah; dan dengan gerakan kembali kepada Allah itulah Ia bermaksud untuk
mengidentifikasikan diri-Nya. Seseorang bisa saja memiliki kehidupan yang
tentram, aman dan sejahtera namun ia bisa terjun bersama-sama dengan sebuah
gerakan untuk menghadirkan keadaan yang lebih baik bagi kaum miskin dan
tertindas. Identifikasi yang benar-benar luhur adalah bila seseorang
mengidentifikasikan dirinya dengan suatu gerakan, bukan demi kepentingannya
sendiri, melainkan untuk orang lain.
3. Baptisan
itu adalah momentum untuk memperoleh persetujuan. Yesus telah mengambil
keputusan akan apa yang harus Ia lakukan kedepan-Nya. Kini, Ia mengharapkan
meterai persetujuan dari Allah. Allah menjawab, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah AKu berkenan.”
Kalimat ini terasa berbeda ketika membandingkannya dengan Matius 3:17. Sangat
personal, tidak diumumkan untuk semua orang, melainkan hanya kepada Yesus suara
itu tertuju. Pada baptisan itu kita melihat bahwa Yesus menyerahkan tekad-Nya
kepada Allah, dan keputusan itu sepenuhnya disetujui!
4. Baptisan
adalah saat untuk memperoleh perlengkapan. Pada waktu itu Roh Kudus turun ke
atas-Nya. Di sana ada lambang khusus yang dinyatakan oleh . Roh itu turun
seperti seekor burung merpati. Kiasan ini dipilih tidak secara kebetulan,
merpati adalah lambang kelemahlembutan. Selanjutnya orang-orang akan melihat
bahwa Yesus tampil dengan lemah lembut.
Benar, bahwa Allah dengan
segala kuasa-Nya bebas menentukan kepada siapa Ia mengasihi dan berkenan.
Kebaikan dan kesalehan, apalagi ibadah-ibadah kamuplase manusia tidaklah mungkin
dapat “membeli” kasih dan perkenan-Nya itu. Banyak contoh dalam Alkitab bahwa
Allah bebas memilih, mengasihi dan memperkenankan seseorang. Abraham, jelas
bapak dan leluhurnya dulu bukanlah penyembah Allah, Daud bukan selamanya tunduk
kepada TUHAN, kita ingat bagaimana ia telah berzinah dengan Bersyeba, Paulus
bukanlah dulunya adalah seorang Saulus, pembantai orang Kristen. Namun, kepada
mereka Allah berkenan. Tentu, ada perubahan mendasar dari sikap mereka setelah
Allah memanggil mereka. Sekali lagi, benar bahwa Allah mengasihi dan berkenan
pada seseorang bukan karena kebaikan orang tersebut, namun kita bisa belajar
dari sikap Yesus. Yesus adalah figur orang yang dikasihi dan diperkenan Allah. Sejak
penyataan Allah melalui peristiwa baptisan Yohanes itu, Ia menyerahkan diri dan
hidup-Nya dalam ketaatan mutlak kepada Sang Bapa. Jadi, kita tidak bisa
berspekulasi hidup semaunya karena Allah bebas menentukan. Satu-satunya jalan
pasti untuk dikasihi dan diperkenan Allah adalah meneladani sikap Yesus dan
mengikuti ajaran-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar