Kamis, 01 Mei 2014

IMAN YANG MEMBALAS KESELAMATAN DARI TUHAN

Terry Crist dalam bukunya Awakened to Destiny mengajukan sebuah pertanyaan penting untuk direnungkan, “Apa yang membedakan orang yang berhasil (hero) dengan orang yang tidak menghasilkan apa-apa (zero)?” Tentu, jawabannya bukan sekedar permainan huruf dalam sebuah kata yakni huruf “H” dan “Z”. Edwin Louis Cole menjawabnya dengan bagus, bahwa seorang Hero adalah manusia yang pernah gagal tetapi tidak menyerah, yang selalu belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Tetapi tragisnya, Zero selalu memiliki cara menyerah, memakai topeng untuk menutupi kegagalannya, tidak mau belajar dari kegagalan itu dan lebih memilih terus berbaring alias tidak mau bangkit!

Zero atau lebih tepatnya kaum pecundang. Kleopas dan temannya ini dapat dikategorikan dalam kelompok ini ketika mereka begitu kecewa dengan kenyataan bahwa harapannya kepada Yesus tidak menjadi kenyataan. Yesus Sang Mesias itu kini sudah berakhir! Tadinya, mereka semula berharap dan percaya bahwa Yesus lebih dari pada seorang nabi, ya Dialah nabi besar itu yang diyakini sebagai penggenapan janji Allah dalam kitab Ulangan 18:15,18, tidak salah lagi, Dialah Sang Mesias itu. Mesias yang dilengkapi Allah sendiri dengan kekuatan yang akan meremukkan pemerintah yang lalim. Ia akan mentahirkan Yerusalem dari orang-orang kafir, dan membinasakan bangsa-bangsa yang tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi kepercayaan dan harapan itu kini runtuh sama sekali. Sang Mesias itu malah menderita dan mati dengan tragis! Kini tidak ada lagi yang dapat diharapkan dan diperjuangkan. Bahkan ketika muncul secercah harapan pun, kabar yang dibawa oleh perempuan-perempuan yang pagi-pagi buta mengunjungi makam Yesus (Luk.24:1-11) dan beberapa orang murid telah mencek kebenarannya, kemudian mereka mendapati memanglah benar bahwa kubur itu telah kosong. Hal itu pun tetap tidak membuat mereka tertarik, terhibur atau sedikit saja punya harapan.

Sepanjang jalan Yerusalem menuju Emaus yang diperkirakan berjarak lebih kurang 7 mil (11 Km) mereka asyik bertimpal kata, berbalas kalimat tentang kekecewaan dan kesedihan. Tak ada gambaran harapan dan keceriaan. Kekecewaan dan kesedihan itu begitu rupa menguasai mereka sehingga mereka tidak mengenali ada seseorang yang menyertai perjalanan mereka. Siapa orang itu? Apa yang menyebabkan mereka tidak mengenali sosok itu? Lukas 24:16, mengatakan “ada sesuatu yang menghalangi mata mereka,” tetapi sebenarnya Lukas mau berkata, “mata mereka tertahan dari mengenal Dia.” Apakah Tuhan sengaja menutup mata mereka? Atau ada sesuatu sebab lain sehingga mereka sulit mengenal Sang Guru yang sudah bangkit itu? Ketidaktahuan mereka tercermin dari pertanyaan Kleopas, “Di antara orang asing atau orang-orang musafir di Yerusalem, adakah saudara satu-satunya yang tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian yang penting pada hari belakangan ini?” Mungkin saja Kleopas dan temannya menyadari bahwa “orang asing” dalam perjalanan itu adalah seorang yang bermukim di Yerusalem. Dengan begitu, teguran Kleopas itu dapat dikalimatkan sebagai beritkut: “Adakah suadara begitu asing dan tidak tahu sama sekali dengan berita yang menjadi buah bibir penduduk Yerusalem tentang peristiwa tragis penyaliban Yesus?”

Yesus tetap berbuat seolah-olah tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh mereka. Lalu Kleopas dan temanya mulai menerangkannya peristiwa tragis itu (ay.19). Dari perkataan mereka ternyata bahwa sekurang-kurangnya mereka memandang Yesus, orang Nazaret itu sebatas nabi. Mereka mengatakan, “Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.” (Luk.24:19-20). Para pemuka Yahudi oleh mereka dipandang bertanggung jawab atas pembunuhan itu. Apa reaksi Yesus atas sikap mereka itu? Yesus menegur mereka dengan keras, “hai kamu orang bodoh”, kata-Nya. Kata “bodoh” (Yun. anoétos) lebih tepat diterjemahkan “bebal”. Bodoh mungkin disebabkan karena orang belum tahu. Tetapi bebal: berarti seseorang yang sudah tahu namun tidak mau mengerti. Itulah yang dikatakan Yesus kepada kedua murid ini.

Mereka bukan tidak tahu isi kitab suci, tetapi mereka tidak mau menerima dan memahami berita kitab suci  itu. Mengapa begitu? Karena hal itu tidak sesuai dengan angan-angan atau keinginan mereka. Yesus membeberkan berita kitab suci yang mengatakan bahwa Mesias harus menderita lebih dahulu sebelum Ia dimuliakan. Penderitaan dan kematian yang tragis inilah yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Bagi mereka mustahil Mesias bisa dikalahkan. Idealnya, Mesias itu bisa mengumpulkan masa, bisa memengaruhi mereka, punya kekuatan supra natural seperti tokoh-tokoh super hero, mampu membuat berbagai mujizat.  Yesus tidak hanya menegur dan mencela iman mereka dengan keras, namun Ia pun bersedia mengajar. Lalu kemudian Yesus sanggup mengobarkan kembali iman yang hampir padam itu.

Sesudah sampai di Emaus, Yesus membuat langkah-Nya seolah-olah akan berjalan terus. Hal ini sesuai dengan adat orang-orang beradab, sikap Yesus lebih dari sekedar adat biasa: Ia hanya mau datang kalau benar-benar Ia diundang dan tidak menyodor-nyodorkan atau memaksakan diri. Setelah diundang, mereka mengadakan perjamuan sederhana, pada saat itulah mujizat terjadi, “terbukalah mata mereka” artinya, tiba-tiba tahulah mereka siapa yang sedang berbicara dengan mereka: Yesus yang sudah bangkit itu!

Mujizat tidak harus diartikan dengan perbuatan spektakuler, aneh, dan tidak masuk akal. Dalam kisah ini kita belajar sebuah mujizat dalam nuansa yang lain, yakni “mata yang terbuka”. Ada banyak hal yang bisa menutup mata kita. Ya, mata yang tidak melihat karya Tuhan. Ketika tujuan hidup seseorang hanya pemenuhan pada keinginan, ambisi dan pementingan diri sendiri, seperti yang diperlihatkan oleh Kleopas dan temannya, maka mata kita akan tertutup untuk melihat Tuhan dan karya-Nya. Mujizat “mata yang terbuka” dapat terjadi jelas pertama-tama Tuhanlah yang mempunyai prakarsa untuk itu. Tuhan tidak pernah membiarkan setiap orang yang percaya kepada-Nya larut dalam ego, ambisi dan kesedihannya. Lihatlah, Kleopas dan temannya itu, tidak dibiarkan-Nya, Yesus mendatangi mereka. Namun, kisah itu pun mengajarkan kepada kita. Lihatlah, Yesus yang seolah-olah akan meneruskan perjalanan: Yesus yang datang menghampiri, Ia tidak pernah memaksakan agar diri-Nya diterima. Ia mau datang kalau Dia diundang. Seberapa tulus kita mengundang Yesus, mempersilahkan Dia bertahta dalam hidup kita. Jika itu terjadi, maka terjadi pula mujizat itu, “mata yang terbuka”.

Setelah Kelopas dan temannya terbuka matanya, mereka mengenali Yesus sebagai Dia yang disalibkan dan yang mati tetapi yang sungguh-sungguh hidup, maka lenyaplah Ia di antara mereka, seolah-olah untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Ia sekarang hidup dengan cara berada yang lain. Sekarang, perjumpaan yang telah membukakan mata mereka itu terus tembus sampai nurani iman mereka. Hati mereka berkobar-kobar (Yun.kaio = “terbakar”), kira-kira dapat digambarkan bahwa keadaan hati/iman mereka yang hampir padam, masih ada setitik nyala apai lalu perjumpaan itu ibarat bensin yang menyiram, langsung menyala lagi dan bahkan berkobar-kobar. Malam yang dingin dan mencekam itu ternyata tidak mampu menghalangi kobaran semangat mereka. Yerusalem yang mencekam dengan bau amis darah suci para nabi dan Mesias yang dibantai tidak mampu membendung api yanbg berkobar dalam diri mereka.  Kedua orang itu berjalan kembali ke Yerusalem untuk menceritakan pengalaman mereka kepada para murid yang lain.

Di Yerusalem mereka disambut dengan terikan gembira bahwa sungguh-sungguh benarlah apa yang dikatakan para malaikat menurut perempuan-perempuan itu, yakni bahwa Yesus sudah bangkit. Dia hidup! Tidaklah mengherankan dalam suasana penuh sukacita itu mereka meneriakkan dan percaya benar bahwa Yesus adalah Sang Kyrios. Dan gelar ini boleh dikatakan dalam arti yang paling dalam, sebab bukankah justeru karena kebangkitan-Nya itu menandakan bahwa Dia benar-benar Tuhan? Tuhan yang berkuasa atas hidup dan mati!

Para murid mengalami kebangkitan itu. Seolah tidak ada lagi kuasa yang dapat mereka takuti. Mereka bersaksi dalam pelbagai kesempatan. Para imam kepala, pembesar Yahudi dan tentara Romawi yang dulu membantai Sang Guru dan membuat mereka kocar-kacir, kini seolah tak dipandang! Petrus yang tiga kali menyangkal karena takut resiko, kini malah berani menyatakan siapa Yesus itu di hadapan mereka! Itulah dasyatnya kuasa kebangkitan yang telah mencelikkan mata mereka dan menghidupkan kembali semangat yang telah pudar. From Zero to Hero, itulah yang dialami para murid Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah mata kita juga telah tebuka? Lalu apa yang sedang kita kerjakan? Sudahkah membalas keselamatan yang dari Tuhan itu dengan kesaksian yang benar?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar