Terry Crist dalam bukunya Awakened to Destiny mengajukan sebuah
pertanyaan penting untuk direnungkan, “Apa yang membedakan orang yang berhasil
(hero) dengan orang yang tidak
menghasilkan apa-apa (zero)?” Tentu,
jawabannya bukan sekedar permainan huruf dalam sebuah kata yakni huruf “H” dan “Z”.
Edwin Louis Cole menjawabnya dengan bagus, bahwa seorang Hero adalah manusia yang pernah gagal tetapi tidak menyerah, yang
selalu belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalunya. Tetapi tragisnya, Zero selalu memiliki cara menyerah,
memakai topeng untuk menutupi kegagalannya, tidak mau belajar dari kegagalan
itu dan lebih memilih terus berbaring alias tidak mau bangkit!
Zero atau lebih tepatnya kaum pecundang. Kleopas dan temannya ini
dapat dikategorikan dalam kelompok ini ketika mereka begitu kecewa dengan
kenyataan bahwa harapannya kepada Yesus tidak menjadi kenyataan. Yesus Sang
Mesias itu kini sudah berakhir! Tadinya, mereka semula berharap dan percaya
bahwa Yesus lebih dari pada seorang nabi, ya Dialah nabi besar itu yang diyakini
sebagai penggenapan janji Allah dalam kitab Ulangan 18:15,18, tidak salah lagi,
Dialah Sang Mesias itu. Mesias yang dilengkapi Allah sendiri dengan kekuatan
yang akan meremukkan pemerintah yang lalim. Ia akan mentahirkan Yerusalem dari
orang-orang kafir, dan membinasakan bangsa-bangsa yang tidak percaya kepada
Tuhan. Tetapi kepercayaan dan harapan itu kini runtuh sama sekali. Sang Mesias
itu malah menderita dan mati dengan tragis! Kini tidak ada lagi yang dapat
diharapkan dan diperjuangkan. Bahkan ketika muncul secercah harapan pun, kabar
yang dibawa oleh perempuan-perempuan yang pagi-pagi buta mengunjungi makam
Yesus (Luk.24:1-11) dan beberapa orang murid telah mencek kebenarannya,
kemudian mereka mendapati memanglah benar bahwa kubur itu telah kosong. Hal itu
pun tetap tidak membuat mereka tertarik, terhibur atau sedikit saja punya
harapan.
Sepanjang jalan Yerusalem
menuju Emaus yang diperkirakan berjarak lebih kurang 7 mil (11 Km) mereka asyik
bertimpal kata, berbalas kalimat tentang kekecewaan dan kesedihan. Tak ada
gambaran harapan dan keceriaan. Kekecewaan dan kesedihan itu begitu rupa
menguasai mereka sehingga mereka tidak mengenali ada seseorang yang menyertai
perjalanan mereka. Siapa orang itu? Apa yang menyebabkan mereka tidak mengenali
sosok itu? Lukas 24:16, mengatakan “ada
sesuatu yang menghalangi mata mereka,” tetapi sebenarnya Lukas mau berkata,
“mata mereka tertahan dari mengenal Dia.”
Apakah Tuhan sengaja menutup mata mereka? Atau ada sesuatu sebab lain sehingga
mereka sulit mengenal Sang Guru yang sudah bangkit itu? Ketidaktahuan mereka
tercermin dari pertanyaan Kleopas, “Di
antara orang asing atau orang-orang musafir di Yerusalem, adakah saudara
satu-satunya yang tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian yang penting
pada hari belakangan ini?” Mungkin saja Kleopas dan temannya menyadari
bahwa “orang asing” dalam perjalanan itu adalah seorang yang bermukim di
Yerusalem. Dengan begitu, teguran Kleopas itu dapat dikalimatkan sebagai
beritkut: “Adakah suadara begitu asing dan tidak tahu sama sekali dengan berita
yang menjadi buah bibir penduduk Yerusalem tentang peristiwa tragis penyaliban Yesus?”
Yesus tetap berbuat
seolah-olah tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh mereka. Lalu Kleopas dan
temanya mulai menerangkannya peristiwa tragis itu (ay.19). Dari perkataan
mereka ternyata bahwa sekurang-kurangnya mereka memandang Yesus, orang Nazaret
itu sebatas nabi. Mereka mengatakan, “Dia
adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan
Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin
kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.”
(Luk.24:19-20). Para pemuka Yahudi oleh mereka dipandang bertanggung jawab
atas pembunuhan itu. Apa reaksi Yesus atas sikap mereka itu? Yesus menegur
mereka dengan keras, “hai kamu orang
bodoh”, kata-Nya. Kata “bodoh” (Yun. anoétos)
lebih tepat diterjemahkan “bebal”. Bodoh mungkin disebabkan karena orang belum
tahu. Tetapi bebal: berarti seseorang yang sudah tahu namun tidak mau mengerti.
Itulah yang dikatakan Yesus kepada kedua murid ini.
Mereka bukan tidak tahu isi
kitab suci, tetapi mereka tidak mau menerima dan memahami berita kitab
suci itu. Mengapa begitu? Karena hal itu
tidak sesuai dengan angan-angan atau keinginan mereka. Yesus membeberkan berita
kitab suci yang mengatakan bahwa Mesias harus menderita lebih dahulu sebelum Ia
dimuliakan. Penderitaan dan kematian yang tragis inilah yang tidak sesuai
dengan harapan mereka. Bagi mereka mustahil Mesias bisa dikalahkan. Idealnya,
Mesias itu bisa mengumpulkan masa, bisa memengaruhi mereka, punya kekuatan
supra natural seperti tokoh-tokoh super hero, mampu membuat berbagai mujizat. Yesus tidak hanya menegur dan mencela iman
mereka dengan keras, namun Ia pun bersedia mengajar. Lalu kemudian Yesus
sanggup mengobarkan kembali iman yang hampir padam itu.
Sesudah sampai di Emaus, Yesus
membuat langkah-Nya seolah-olah akan berjalan terus. Hal ini sesuai dengan adat
orang-orang beradab, sikap Yesus lebih dari sekedar adat biasa: Ia hanya mau
datang kalau benar-benar Ia diundang dan tidak menyodor-nyodorkan atau
memaksakan diri. Setelah diundang, mereka mengadakan perjamuan sederhana, pada
saat itulah mujizat terjadi, “terbukalah
mata mereka” artinya, tiba-tiba tahulah mereka siapa yang sedang berbicara
dengan mereka: Yesus yang sudah bangkit itu!
Mujizat tidak harus diartikan
dengan perbuatan spektakuler, aneh, dan tidak masuk akal. Dalam kisah ini kita
belajar sebuah mujizat dalam nuansa yang lain, yakni “mata yang terbuka”. Ada
banyak hal yang bisa menutup mata kita. Ya, mata yang tidak melihat karya
Tuhan. Ketika tujuan hidup seseorang hanya pemenuhan pada keinginan, ambisi dan
pementingan diri sendiri, seperti yang diperlihatkan oleh Kleopas dan temannya,
maka mata kita akan tertutup untuk melihat Tuhan dan karya-Nya. Mujizat “mata
yang terbuka” dapat terjadi jelas pertama-tama Tuhanlah yang mempunyai prakarsa
untuk itu. Tuhan tidak pernah membiarkan setiap orang yang percaya kepada-Nya
larut dalam ego, ambisi dan kesedihannya. Lihatlah, Kleopas dan temannya itu,
tidak dibiarkan-Nya, Yesus mendatangi mereka. Namun, kisah itu pun mengajarkan
kepada kita. Lihatlah, Yesus yang seolah-olah akan meneruskan perjalanan: Yesus
yang datang menghampiri, Ia tidak pernah memaksakan agar diri-Nya diterima. Ia
mau datang kalau Dia diundang. Seberapa tulus kita mengundang Yesus,
mempersilahkan Dia bertahta dalam hidup kita. Jika itu terjadi, maka terjadi
pula mujizat itu, “mata yang terbuka”.
Setelah Kelopas dan temannya
terbuka matanya, mereka mengenali Yesus sebagai Dia yang disalibkan dan yang
mati tetapi yang sungguh-sungguh hidup, maka lenyaplah Ia di antara mereka,
seolah-olah untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Ia sekarang hidup dengan cara
berada yang lain. Sekarang, perjumpaan yang telah membukakan mata mereka itu
terus tembus sampai nurani iman mereka. Hati mereka berkobar-kobar (Yun.kaio = “terbakar”), kira-kira dapat
digambarkan bahwa keadaan hati/iman mereka yang hampir padam, masih ada setitik
nyala apai lalu perjumpaan itu ibarat bensin yang menyiram, langsung menyala
lagi dan bahkan berkobar-kobar. Malam yang dingin dan mencekam itu ternyata
tidak mampu menghalangi kobaran semangat mereka. Yerusalem yang mencekam dengan
bau amis darah suci para nabi dan Mesias yang dibantai tidak mampu membendung
api yanbg berkobar dalam diri mereka.
Kedua orang itu berjalan kembali ke Yerusalem untuk menceritakan
pengalaman mereka kepada para murid yang lain.
Di Yerusalem mereka disambut
dengan terikan gembira bahwa sungguh-sungguh benarlah apa yang dikatakan para
malaikat menurut perempuan-perempuan itu, yakni bahwa Yesus sudah bangkit. Dia
hidup! Tidaklah mengherankan dalam suasana penuh sukacita itu mereka
meneriakkan dan percaya benar bahwa Yesus adalah Sang Kyrios. Dan gelar ini boleh dikatakan dalam arti yang paling dalam,
sebab bukankah justeru karena kebangkitan-Nya itu menandakan bahwa Dia
benar-benar Tuhan? Tuhan yang berkuasa atas hidup dan mati!
Para murid mengalami kebangkitan itu. Seolah tidak ada
lagi kuasa yang dapat mereka takuti. Mereka bersaksi dalam pelbagai kesempatan.
Para imam kepala, pembesar Yahudi dan tentara Romawi yang dulu membantai Sang
Guru dan membuat mereka kocar-kacir, kini seolah tak dipandang! Petrus yang
tiga kali menyangkal karena takut resiko, kini malah berani menyatakan siapa
Yesus itu di hadapan mereka! Itulah dasyatnya kuasa kebangkitan yang telah
mencelikkan mata mereka dan menghidupkan kembali semangat yang telah pudar. From Zero to Hero, itulah yang dialami para
murid Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah mata kita juga telah tebuka? Lalu
apa yang sedang kita kerjakan? Sudahkah membalas keselamatan yang dari Tuhan
itu dengan kesaksian yang benar?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar