Selama tiga
hari, Martin Luther terpuruk dalam depresi berat karena besarnya masalah yang
sedang dihadapinya. Pada hari yang ketiga, istrinya turun dari tangga dengan
menggunakan pakaian perkabungan.
“Siapa yang
mati?” tanya Martin Luther kepada istrinya.
“Tuhan”,
jawabnya.
Luther
menegurnya dan berkata, “Apa yang kau katakana, Tuhan mati? Tuhan tidak pernah
mati”
“Baik”,
jawabnya. “Tapi melihat caramu bersikap, aku yakin Dia sudah mati”
Percakapan
singkat ini memperlihatkan bagaimana kondisi dan perasaan Martin Luther yang
sedang kacau balau karena persoalan yang berat, sehingga dengan mulutnya, ia
boleh menyatakan bahwa Tuhan itu tidak pernah mati tetapi sikap dan perilakunya
memperlihatkan bahwa Tuhan sudah mati. Sikap berkabung, mengurung diri, dan
mungkin juga bersikap negatif terhadap sekitar. Perasaan dan sikap yang sama diperlihatkan oleh para
murid Tuhan ketika mereka menyaksikan kematian Tuhan mereka pada hari Jumat.
Mereka merasa putus asa, sedih, kecewa dan semua perasaan negatif bergabung
menjadi satu.
Padahal Tuhan
Yesus sudah pernah berbicara kepada para murid mengenai jalan yang akan Ia
tempuh, bahwa Ia akan mengalami penderitaan, kematian dan bangkit (Matius 28:6).
Namun sayangnya, itu semua hanya menjadi sebuah percakapan antara guru dan
murid. Para murid tidak pernah berpikir bahwa Guru mereka akan benar-benar
mengalami semua yang disampaikan itu. Maka, ketika peristiwa itu benar-benar
terjadi, mereka tidak siap. Mereka terlarut dalam kepedihan, kedukaan dan kekecewaan
bahkan larut dalam ketakutan. Kuasa
maut begitu mencengkram hati dan nalar mereka. Para murid tidak dapat melihat
pengharapan di balik kematian Sang Guru. Apa yang sudah tiga kali dinyatakan
Yesus kepada para murid seolah ditelan bulat-bulat oleh kuasa maut itu.
Menjelang fajar menyingsing pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria
Magdalena dan Maria yang lain untuk menengok kubur. Kepergian mereka bukan
untuk merawat jasad Yesus dengan rempah-rempah dan meminyaki-Nya sebagaimana
lazimnya pada jaman itu. Bagaimana mungkin mereka akan bertemu dengan jasad
Yesus? Apalagi menyongsong dengan sukacita Yesus yang bangkit sesuai pesan-Nya
dulu. Tidak ada itu semua dalam benak mereka! Yang ada sikap pesimis bahwa kubur
itu telah ditutup batu besar dan diberi meterai serta dijaga oleh prajurit
Romawi. Mereka pergi ke kubur bukan untuk membuktikan dan menyambut kebangkitan
Yesus, mereka ke kebur itu hanyalah
sekedar untuk menengok! Apa yang terjadi kemudian?
“Maka terjadilah gempa bumi hebat
sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan
menggulingkannya lalu duduk di atasnya...malaikat itu berkata kepada
perempuan-perempuan itu: ‘Jangan kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus
yang disalib itu. Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti
yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia dibaringkan.” (Matius
28:2,5,6) Dapat dibayangkan bagaimana perasaan mereka ketika mendapat kabar
bahwa Guru dan Tuhan mereka itu bangkit. Mereka takut tetapi juga sekaligus
sukacita. Mereka berlari cepat-cepat,
seolah tidak sabar, untuk memberitakan kepada murid-murid yang lain. Namun, sebelum mereka
bertemu dengan para murid yang lain untuk memberitakan kabar gembira itu ternyata
Yesus menampakkan diri kepada mereka dan memberi salam, “Salam bagimu!” Mereka
mendekati-Nya dan memeluk kaki-Nya serta menyembah-Nya. Perintah yang sama yang
telah didengar Maria sekarang diucapkan sendiri oleh Yesus, “Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada
saudara-saudara-Ku supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan
melihat Aku.”
Perhatikan kata ini “jangan takut!” Rupanya kata ini menjadi pesan utama
berita malaikat dalam Injil. Bila kita cermati seputar kehidupan Yesus, dari kelahiran
sampai berita kebangkitan pesan itu terus disuarakan. Ketika malaikat Tuhan
memberitahu Maria bahwa ia akan mengandung Yesus, malaikat itu mengatakan, “Jangan
takut.”(Lukas 1:30). Pesan yang sama juga terjadi pada Yusuf ketika ia
mempertimbangkan untuk menceraikan Maria, lantaran sudah mengandung (Matius
1:20). “Jangan takut” juga disampaikan kepada para gembala oleh malaikat Tuhan
ketika memberitakan kelahiran Sang Juruselamat (Lukas 2:10). “Jangan takut!”
ditujukan Yesus kepada Yairus yang begitu cemas lantaran anaknya sakit dan
hampir mati (Markus 5:36). Dan, masih banyak lagi pesan “jangan takut”. Konon
ada 360 kali kata “jangan takut” dalam Alkitab dan ada orang yang mengaitkannya
dengan kalender Yahudi. Dalam kalender Yahudi satu tahun ada 360 hari, jadi
lengkaplah sudah bahwa setiap hari manusia selalu diperhadapkan kepada
ketakutan.
Kita dapat berkaca dari kelahiran sampai kematian Yesus pesan malaikat dan
Yesus sendiri “jangan takut!” Memang benar, setiap hari manusia selalu
diperhadapkan pada ketakutan, kehidupan manusia tidak lepas dari ketakutan.
Tentu ada banyak alasan yang masuk akal tentang ketakutan manusia. Manusia
takut dan pesimis mana kala ia berhadapan dengan sesuatu di luar kendalinya dan
kematian, siapa pun tahu, tidak ada yang bisa mengendalikannya. Kematian dapat
dan niscaya menghampiri siapa pun! Kematian adalah puncak dari ketakutan
manusia.
Di sinilah pesan utama kebangkitan: mematahkan sumber dari ketakutan itu,
yakni kuasa maut dan kematian. Kebangkitan adalah jawaban dari pesimisme dan
ketidak berdayaan manusia akibat kuasa dosa itu. Lihatlah apa yang terjadi
dengan para murid ketika kebangkitan itu bukan hanya sebuah gagasan idealis
atau hanya sebatas pesan Sang Guru tetapi sebuah pengalaman perjumpaan nyata
dengan Sang Penakluk maut itu. Kebangkitan itu menjadi nyata mengubah mereka
secara total. Lihatlah, para murid yang tadinya begitu rupa dikuasai aura
kematian. Dua Maria yang diliputi kesedihan, mereka pesimis, takut luar biasa. Petrus, semula ia begitu
berapi-api tetapi kemudian ia takut menghadapi resiko, akhirnya tiga kali ia
menyangkal Yesus. Petrus begitu rupa dikuasai ketakutan, ia tidak berdaya. Ya,
semua murid takut dan mengurung diri, lari dari kenyataan. Namun, itu semua
berubah ketika mereka mangalami perjumpaan dengan Tuhan. Tuhan yang bangkit!
Kini hidup mereka berubah. Sebuah pemahaman iman
yang lebih nyata bahwa Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang mati dan kalah tetapi
Tuhan yang bangkit dan menang. Kini,
mereka keluar dan menyaksikan kebangkitan itu. Maut yang dahulu ditakuti, kini
mereka berani menantangnya, mereka berani berhadapan dengan pelbagai resiko
ketika meneruskan pekerjaan Sang Guru dan Tuhan mereka.
Persoalan mulai muncul ketika berita ini
dikaitkan dengan kehidupan kita. Sebagai anak-anak Tuhan yang hidup pada zaman
sekarang, kita tahu bahwa Kristus bangkit pada hari ketiga setelah kematianNya.
Tetapi apa artinya? Apakah Ia sungguh-sungguh bangkit dalam hidup kita? Ataukah
Ia tetap mati? Ketika hidup kita tetap dikuasai oleh bayang-bayang kuasa kematian: pesimisme, ketaakutan, keserakahan,
nafsu,
amarah, kegeraman, kebencian, iri hati, dan semua yang negatif berarti Tuhan
tidak pernah bangkit. Kalau kita mengimani dan meyakini bahwa Tuhan
sudah bangkit dan
kita telah berjumpa dengan-Nya
maka seharusnya hidup kita berbeda. Kita akan hidup dalam kasih, pengampunan
dan sukacita serta
bebas dari kuasa ketakutan! Selamat Paskah, Selamat Hidup Baru dalam
kebangkitan-Nya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar