Paskah II, 2014
Ada hal yang teramat sulit
dipahami dalam kisah kebangkitan Yesus. Bukan hanya sosok Yesus sebagai manusia
yang pernah hidup lalu mati dan bangkit lagi. Namun juga, sikap para murid yang
tidak mudah begitu saja menerima berita kebangkitan itu. Sebelum kematian-Nya,
Yesus sudah berulang kali menegaskan bahwa diri-Nya harus melewati serangkaian
penderitaan dan mati di kayu salib namun pada hari ketiga Ia akan bangkit.
Sampai di sini, jika para murid tidak sepenuhnya percaya dapat kita maklumi.
Mengapa? Ya, mereka belum melihat bukti dari ucapan Yesus itu. Nah, sekarang
setelah beberapa hari dan berulang kali Yesus menampakan diri kepada para
murid, toh mereka tetap saja bergeming,
alih-alih antusias mereka dilingkupi pesimisme dan ketakutan. Setidaknya hal
ini tercermin ketika mereka terus mengurung diri, mengunci dalam sebuah
ruangan.
Yohanes 20:19-29 setidaknya
mencatat ada dua peristiwa Yesus menyapa para murid-Nya setelah Yesus bangkit
dan setelah penampakan-Nya kepada Maria Magdalena. Penampakan pertama terjadi
tanpa dihadiri Tomas sedangkan yang kedua kalinya Tomas ada bersama-sama dengan
murid yang lain. Kedua peristiwa penampakan ini terjadi dalam suasana yang
hampir sama. Para murid berada dalam sebuah ruangan terkunci. Inilah hal yang
aneh dan sulit dimengerti. Setelah mengetahui Yesus bangkit seharusnya mereka
merespon dengan tindakan positif: bersuka cita dan mengabarkan berita itu tetapi
mengapa kenyataannya mereka tetap mengurung diri dengan mengunci pintu. Apakah
mereka masih begitu takut dan trauma terhadap penguasa Yahudi? Ataukah mereka
masih belum yakin sepenuhnya bahwa Yesus yang mereka lihat itu adalah Yesus yang
sama sebelum Ia disalibkan. Semuanya serba mungkin!
Ada paradoks dalam diri
manusia berkaitan dengan keyakinan atau kepercayaan. Sebagian orang sangat
sulit untuk diyakinkan pada sebuah pokok kebenaran. Namun, banyak juga orang
gampang percaya. Lihatlah banyak orang menjadi korban iklan, korban pengobatan
alternatif, dan lain-lainnya. Mengapa mereka tertipu? Ya, itu tadi, terlalu
gampang percaya!
Kini, kita bicara kelompok manusia
yang sulit diyakinkan. Salah satu faktor manusia sulit diyakinkan adalah karena
manusia dilengkapi dengan nalar. Nalar atau akal budi membuat manusia berpikir
berulang-ulang memakai teori dan pengalaman empirisnya untuk bisa memutuskan
percaya. Setidaknya itulah gambaran yang diwakili oleh Tomas. Baginya tidak
mudah begitu saja menerima keyakinan dan percaya bahwa Yesus bangkit. Sebelum
dia sendiri melihat bukti konkrit wujud fisik Yesus, sekali-kali dia tidak akan
pernah percaya. Dalam batas tertentu sikap nalar seperti itu tidak keliru. Bukankah
akal budi juga Tuhan yang memberi, supaya manusia dapat berfikir tentang
kebenaran? Namun, betapa pun canggihnya daya nalar seseorang, toh harusnya kita menyadari ada
batasnya. Nalar adalah alat untuk mencari atau menggapai kebenaran. Nalar
adalah “jalan” kita berjumpa dengan Sang Kebenaran, ia bukanlah tujuan
kebenaran itu sendiri. Kelirulah kita jika menjadikan “jalan” itu sebagai
tujuan, karena jika demikian kita hanya berhenti di jalan itu dan tidak sampai pada
Sang Mahabenar itu sendiri.
Jika nalar yang menjadi tujuan
pemenuhan kebenaran maka semua yang dinyatakan kebenaran itu harus memuaskan dan
tunduk pada nalar. Padahal dalam bernalar kita sering terjebak untuk membuat
kesimpulan-kesimpulan awal sebelum proses pergumulan itu terjadi. Akibatnya, kita
mencari-cari argumen yang tampaknya masuk akal untuk mendukung kesimpulan awal
itu. Contoh, kesimpulan awal bahwa manusia hidup pasti akan mengalami kematian,
orang yang mati tidak mungkin hidup lagi, maka untuk mencari dan menguatkan
kesimpulan ini semua yang berkait dengan kebangkitan dianggap tahyul, tidak
masuk akal dan harus ditolak. Mungkin ada benarnya apa yang pernah disampaikan
Anthony de Mello bahwa sering kali manusia itu sudah punya prapaham, asumsi
atau kesimpulam lebih dulu sebelum percaya. de Mello berkisah:
Kata Sang Guru, “Engkau
mendengarkan bukan untuk menemukan, melainkan mencari sesuatu yang menguatkan
pikiranmu sendiri. Engkau berargumentasi bukan untuk mencari kebenaran,
melainkan untuk mempertahankan pendapatmu.”
Lalu Sang Guru bercerita
tentang seorang raja. Ketika sang raja melewati sebuah kota kecil, ia
terkagum-kagum melihat tanda tembakan jitu bertebaran di mana-mana. Di batang-batang
pohon, di dinding-dinding gudang, dan di pagar-pagar terlihat banyak gambar
lingkaran dengan lubang peluru percis di tengahnya. Sang raja ingin berkenalan
dengan jago tembak yang luar biasa itu. Ternyata, seorang anak berusia sepuluh
tahun. “Luar biasa”, kata raja itu terheran-heran. “Bagaimana kamu dapat
melakukannya?”
“Mudah sekali,” jawab si anak
itu. “Saya menembak dulu. Setelah itu baru saya menggambar lingkarannya.”
“Jadi, engkau menarik
kesimpulan dulu dan beru kemudian mencari premis-premisnya,” kata Sang Guru.
Untunglah dalam proses
bernalar, Tomas berjumpa dengan Yesus yang bangkit itu, Sang Kebenaran itu. Setelah
proses itu dilalui maka keyakinan iman Tomas begitu mantap. Tomas yang kini
melihat dan mendengar perkataan Yesus tidak jadi mencucukkan jarinya ke tangan
dan lambung Yesus sebagaimana yang diinginkannya. Ia justeru mengungkapkan
rumusan iman, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh.20:28).
Ungkapan ini menggemakan kembali apa yang dicatat diawal Injil Yohanes
(Yoh.1:1,18). Sejarah mencatat, Tomas kemudian mengabarkan berita Injil sampai
ke India.
Namun, pada pihak lain ada
banyak orang yang begitu mudahnya mengaku percaya tanpa pikir panjang. Akibatnya,
ketika mengalami kenyataan hidup yang sesungguhnya, pahit getirnya hidup ini,
dengan mudah pula menanggalkan imannya.
Dalam kisah penampakan Yesus
ini kita menelusuri proses perjalanan murid-murid Yesus yang tidak mudah begitu
saja percaya lalu segera mereka menjadi optimis dan menjadi saksi kebangkitan-Nya.
Sama seperti kebanyakan orang, termasuk kita, bukti tampaknya merupakan faktor
pendukung utama seseorang untuk percaya. Injil Yohanes banyak menyajikan itu.
Tanda-tanda (mujizat) yang menyertai pelayanan Yesus begitu banyak, mulai dari
air menjadi anggur, memberi makan banyak orang dengan dua ekor ikan dan lima
ketul roti, penyembuhan orang sakit, pengusiran setan, bahkan membangkitkan
orang mati. Banyak orang menjadi percaya kepada Yesus karena melihat
tanda-tanda yang dibuat Yesus. Kepercayaan seperti itu tidaklah memadai. Kita tidak
boleh berhenti pada kepercayaan karena tanda atau mujizat yang dibuat Yesus. Kita
harus maju lebih jauh lagi yakni menjadi percaya kepada firman dan pribadi
Yesus sendiri. Karena itulah Yesus menyatakan berbahagia mereka yang tidak
melihat, namun percaya. Ungkapan berbahagia ini kemudian memasukkan juga
orang-orang yang sampai beriman kepada Yesus meskipun tidak melihat
peristiwa-peristiwa mujizat yang dilakukan Yesus.
Pemulihan yang berulang kali
Yesus lakukan dengan menampakkan diri pada murid-murid ternyata membuahkan
hasil yang luar biasa. Kuasa Roh Kudus yang dihembuskan Yesus begitu dasyat
berpengaruh pada diri murid-murid Yesus. Hembusan Roh Kudus itu bagaikan nafas
kehidupan yang dulu Allah berikan kepada Adam, sehingga Adam menjadi manusia
yang hidup atau seperti hembusan Roh atas tulang-tulang kering rakyat Israel
yang telah mati dan kini bangkit kembali (Yeh. 37:9). Murid-murid yang tadinya
mengurung diri dicengkram ketakutan dan pesimisme kini mereka bangkit,
Yerusalem yang begitu mengerikan dan harus dihindari kini mereka hadapi. Bahkan
di pusat kekuasaan pembesar Yahudi yang dahulu menyiksa, menista dan membantai
Sang Guru, kini mereka tampil dengan penuh keyakinan. Petrus berkhotbah
memberitakan kesaksian tentang Yesus (Kis.2:14-40). Itulah dampak yang terjadi
ketika para murid berjumpa dengan Kristus yang bangkit. Kebangkitan itu bukan
teori tetapi pengalaman eksistensial sehingga benar-benar mengubah kehidupan
iman para murid.
Mestinya, kita yang mendengar berita kebangkitan dan
menjadi percaya mengalami pengalaman yang serupa juga dengan para murid. Percuma
kita percaya kepada Yesus yang bangkit kalau sampai saat ini kita masih “mengunci
diri”, melarikan diri dari masalah dan pergumulan. Tidak ada gunanya
mempertahankan doktrin Yesus yang bangkit kalau saja dalam kehidupan ini kita
lebih memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalah. Sia-sia mengimani Yesus
yang bangkit jika kita masih dikuasai oleh pesimisme. Tunjukkanlah, saksikanlah
pada dunia bahwa Yesusmu itu hidup di dalam dirimu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar